Enam

1608 Kata
Selasa (13.56), 13 April 2021 ----------------------- Pagi ini Carissa disambut dengan kilatan lampu blitz begitu membuka mata. Dalam keadaan bingung, dia menggosok matanya untuk menjernihkan penglihatan. Dan ternyata yang Carissa dapati adalah sosok Fachmi di sampingnya dengan sebuah ponsel di tangan. “Sedang apa kau?”  tanya Carissa bingung. “Selamat pagi, istriku.” Fachmi mengabaikan pertanyaan Carissa dan memilih menyapa dengan nada datar andalannya. “Istri?” Carissa mengerutkan kening, tampak jelas belum sepenuhnya lepas dari alam mimpi. Tapi dua detik kemudian, matanya melebar ketika ingatan membanjiri otaknya. “AA—ehmpp!” Fachmi yang sudah menebak Carissa pasti akan berteriak langsung membekap mulut gadis itu seraya menindih tubuhnya. Ponsel yang semula ia pegang entah dilepas di mana. “Hhmmpp!” Carissa menggeliat namun dirinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri. Kedua tangannya dicekal salah satu tangan Fachmi sementara lelaki itu menindih tubuhnya. “Ckckck, itu kebiasaan buruk, Sayang. Aku baru tahu ternyata kau hobi berteriak.” “Hhmmpp!” “Morning kiss? Tentu saja. Asal kau berjanji tidak berteriak.” Mata Carissa semakin melebar, membuat Fachmi nyaris tidak bisa menahan tawanya. Tapi saat ini dia berhasil tetap mempertahankan raut datarnya. “Engghhh… mhhpp!” “Apa? Kali ini aku tidak mengerti.” Sengaja Fachmi mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka hanya terhalang tangan Fachmi yang masih membekap mulut Carissa. “Kau ingin bulan madu sekarang?” Carissa menggeleng-geleng, tapi kali ini berhenti menggeliat. Dia hanya menampilkan sorot mata memelas agar Fachmi melepaskannya. Melihat itu, sudut bibir Fachmi terangkat membentuk senyum mengejek. “Sudah kubilang, aku tidak akan meminta hakku sekarang. Jadi tidak perlu berteriak-teriak seolah kau korban yang hendak kuperkosa.” Perasaan kesal merasuki hati Carissa mendengar ejekan Fachmi. Dirinya bukan sengaja berteriak. Itu refleks karena Carissa merasa terancam. Bagaimanapun Fachmi adalah lelaki dewasa yang kini memiliki hak menyentuh dirinya secara intim. Sementara Carissa masih remaja yang belum siap ke tahap itu. Harusnya Fachmi mengerti keadaannya. “Aku akan melepasmu kalau kau berjanji tidak berteriak,” lanjut Fachmi. Tidak ada yang bisa Carissa lakukan selain mengangguk. Perlahan Fachmi melepas mulut Carissa lalu tangannya. Melihat gadis itu tenang, dia menjauhkan dirinya yang semula menindih tubuh Carissa lalu berbalik mencari ponselnya di antara selimut yang kusut. Saat itulah Carissa memiliki kesempatan untuk membalas Fachmi. Dengan cepat dia bangkit dari posisi berbaringnya lalu mengalungkan lengan di leher Fachmi dari belakang. “Hei, apa—argghh!” Refleks Fachmi berteriak saat Carissa menggigit sisi lehernya dengan keras. Benar-benar keras hingga Fachmi berpikir gigi gadis itu menancap di lehernya seperti vampir yang menghisap darah korban. Sebelum Fachmi menahan tubuhnya lagi, Carissa buru-buru melepaskan diri lalu berlari cepat ke arah kamar mandi. Tak lupa ia mengunci pintu kamar mandi lalu menyandarkan punggung di sana untuk meredakan debar jantungnya. “Rasakan itu,” gumam Carissa dengan senyum senang yang perlahan muncul. “Cih, ternyata kau berteriak lebih keras dari perempuan.” Setelahnya Carissa mandi dengan perasaan bangga pada dirinya sendiri. Tapi hanya sekejap. Detik berikutnya dia dihantui rasa takut. Sekarang bagaimana caranya keluar kamar mandi dan berhasil lolos dari Fachmi? Lelaki itu pasti sedang merencanakan hal buruk saat ini. *** Kali ini Carissa selamat karena begitu keluar dari kamar mandi bukan Fachmi yang menantinya dengan raut dingin yang biasa. Melainkan Tante—err, Mama Rena dan Mamanya sendiri yang tengah menunggu dengan beberapa gaun cantik, lengkap dengan sepatu dan aksesorisnya. Meski Carissa memiliki hobi seperti anak lelaki, tapi dia masih memiliki sisi feminin. Karena itu dia tidak bisa menyembunyikan binar di matanya melihat barang-barang yang dibawakan Mama dan Mama mertuanya. “Wah, ini cantik sekali.” Carissa memperhatikan gaun selutut tanpa lengan dengan sebuah hiasan bunga yang tampak dominan di sisi tubuh. “Kalau begitu pakai itu saja,” saran Destia sambil memilih sepatu yang sesuai. Carissa mengangguk lalu tanpa malu mengenakan gaun itu di hadapan Rena dan Destia. Carissa memang sudah biasa mencoba-coba gaun bersama mereka serta Ratna dan Jessie. “Tante Ratna, Jessie, dan Kanza di mana?” tanya Carissa setelah dia selesai memakai gaun dan Rena membantu merias wajahnya. “Mereka mengurus sarapan. Para lelaki tidak mungkin bisa diandalkan untuk urusan itu. Apalagi kalau mereka sedang bersama. Bisa-bisa semuanya kacau seperti pesta kemarin.” Carissa tersenyum mendengar penjelasan Rena. “Tapi menyenangkan.” Lalu senyumnya makin lebar saat teringat pesta lajang sebelum pernikahan Farrel beberapa bulan lalu. “Carissa masih heran kenapa tidak ada pesta lajang untuk Fachmi.” Destia dan Rena tertawa geli. “Para lelaki sudah berjanji tidak akan mengadakan pesta lajang untuk Fachmi asalkan Fachmi bersedia turut merayakan pesta lajang Farrel,” jelas Destia “Ah, pantas saja waktu itu Fachmi bersedia memakai pakaian itu.” Carissa juga tidak bisa menahan tawa geli mengingat bagaimana Fachmi duduk dengan tatapan seolah siap membunuh siapapun di hadapannya. Carissa sampai lari terbirit-b***t begitu mendapat tatapan itu. “Nah, sudah selesai,” ujar Rena lalu memandangi wajah Carissa dengan tatapan kagum. “Kau benar-benar cantik, Sayang. Mama yakin Fachmi tidak akan bisa lagi melirik wanita lain setelah ini.” Pipi Carissa merona malu. Tapi, benarkah? Apa dirinya bisa membuat Fachmi si tua m***m sekaligus pemain perempuan itu tidak melirik wanita lain selain dirinya? “Sekarang ayo ke restoran. Yang lain sudah menunggu,” Destia berkata begitu selesai merapikan kembali barang-barang yang ia dan Rena bawa. Restoran yang dimaksud merupakan bagian dari hotel dan hanya berjarak dua lantai dari suite bulan madu yang ditempati Carissa dan Fachmi. Tidak sulit mencari keluarga mereka. Bahkan tanpa mencari, mereka sudah tahu meja mana yang digunakan dari hebohnya suara mereka saat berbincang. Mendadak perasaan cemas menyelimuti hati Carissa saat ia melihat punggung Fachmi yang duduk membelakangi arah datangnya. Kira-kira apa yang akan Fachmi lakukan untuk membalasnya? Tapi dia tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan keluarga besarnya, kan? “Kakek dan Nenek tidak ikut menginap, ya?” tanya Carissa untuk meredakan perasaan cemasnya. “Tidak. Mereka langsung pulang semalam,” jelas Destia. Mengingat kedua orang tuanya selalu berhasil membuat perasaan Destia menghangat. Dia masih tidak bisa melupakan apa yang sudah Mama dan Papanya lewati dan bagaimana perjuangan sang Papa untuk bisa kembali mendampingi Mamanya. “Tapi Kak Diaz belum pulang, kan?” “Itu mereka,” tunjuk Rena. Carissa melambai ke arah Diaz yang sedang memangku salah satu putrinya. Kebetulan Diaz duduk di antara istri dan Papa Carissa dan kursi di sebelah Papanya kosong. Tempat itu juga berseberangan dengan tempat Fachmi. Jadi Carissa sekali lagi memiliki alasan untuk menjaga jarak aman dari Fachmi. “Carissa, kenapa duduk di situ?” tegur Alan. “Itu tempat Mamamu. Sana duduk di sebelah Fachmi.” “Papa, cuma tempat duduk saja.” Dengan manja Carissa merangkul lengan Papanya. “Lagipula Carissa masih ingin lebih lama bersama Papa. Sebentar lagi kan kita jarang bertemu.” Juan dan Farrel yang duduk di dekat Fachmi terbahak. “Itu hanya alasan, Om. Carissa malu berada dekat Fachmi setelah membuat tanda di leher Fachmi,” jelas Juan seraya menunjuk sisi leher Fachmi yang kini sudah berubah merah keunguan. Seketika wajah Carissa memerah. Rasanya dia ingin kembali ke kamar lalu bersembunyi di balik selimut. “Astaga, Carissa. Ternyata kau lebih ganas dari Tantemu,” celetuk Freddy yang langsung mendapat hadiah cubitan di lengannya dari Ratna. “Lihat, wajah Carissa merah sekali seperti terbakar,” Farrel tergelak sambil menunjuk wajah Carissa. Gadis itu menunduk, sementara kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Dia tahu mereka semua hanya sedang menggodanya. Tapi desakan ingin menangis ini muncul begitu saja. Carissa sungguh malu, hingga dia tidak sanggup mendongak membalas tatapan keluarga besarnya. Siapapun tolong, keluarkan aku dari situasi ini, mohon Carissa dalam hati. Mendadak Fachmi berdiri, membuat seluruh perhatian yang semula fokus pada Carissa ganti mengarah padanya. “Tiba-tiba aku ingin menikmati sarapan bersama istriku saja di kamar. Ayo, Carissa!” Carissa mendongak menatap Fachmi dengan ekspresi kaget. Tapi kemudian dia segera berdiri menghampiri lelaki itu. Carissa pikir terjebak bersama Fachmi jauh lebih baik daripada berada di antara keluarga besarnya yang tengah bernafsu menggoda dirinya. Terutama Farrel dan Juan yang tidak akan berhenti sampai Carissa benar-benar menangis. Begitu Carissa berdiri di sebelahnya, Fachmi menggenggam lembut tangan gadis itu yang terasa sangat dingin. “Maaf tidak bisa mengantar kepergian kalian.” “Tidak apa-apa, Sayang. Jangan khawatirkan kami di sini. Kalian nikmati waktu saja,” Rena berkata lembut. Dia mengerti mengapa Fachmi mendadak ingin sarapan di kamar. Putranya itu berusaha melindungi Carissa dari olok-olok keluarga mereka. “Biar Mama yang akan memesankan sarapan kalian,” usul Destia. “Kalian langsung kembali ke kamar saja.” Fachmi hanya mengangguk singkat sebagai tanggapan lalu berbalik meninggalkan keluarga besarnya. Sementara Carissa yang tangannya masih Fachmi genggang hanya menurut saja ke arah mana Fachmi melangkah. Tiba di kamar, mendadak Fachmi mendorong Carissa hingga punggung gadis itu menempel di pintu. Mata Carissa membelalak, ngeri membayangkan apa yang akan Fachmi lakukan padanya. “Ka—kau, mau apa?” tanya Carissa terbata. “Kau tidak berpikir aku akan melupakan begitu saja perbuatanmu menggigit leherku, kan?” “Engh, itu—aku tidak sengaja. Kau tidak bermaksud memukulku, kan?” “Aku sedang mempertimbangkannya. Dan aku juga kesal karena kau tidak memenuhi kesepakatan kita.” “Kesepakatan apa?” Carissa pura-pura lupa padahal dia ingat betul apa yang dimaksud Fachmi. “Kau harus memanggilku ‘Suamiku’.” Carissa meringis. “Aku—” Cup. Carissa terbelalak. “Kau mencuri ciuman pertamaku!” “Itu bukan ciuman, Sayang. Yang seperti ini baru namanya ciuman.” Fachmi kembali membungkam mulut Carissa dengan bibirnya. Awalnya lembut, semakin lama kian kasar dan dalam. Awalnya hanya permainan bibir, lalu berubah menjadi permainan lidah yang mengundang gairah. Dengan lihainya Fachmi mengajari Carissa, membuat dia yang semula berusaha menolak jadi penasaran dan akhirnya turut berpartisipasi. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN