Reema Kanaya

1577 Kata
Pagi itu, langit masih menyisakan bias biru gelap ketika Reema membuka matanya. Bunyi alarm dari ponsel di meja kecil samping kasur kayunya seperti menggema lebih keras dari biasanya. Hari ini hari pertamanya. Hari penting yang selama berminggu-minggu hanya ia bayangkan dengan jantung berdebar dan rasa tak percaya diri yang datang dan pergi seperti gelombang pasang. Ia bangkit perlahan, mematikan alarm ponsel lalu merentangkan tangan dan menggerakkan lehernya dari rasa kaku, barulah ia menggulung rambut panjang sepunggungnya asal. Bangun lalu berjalan bertelanjang kaki ke dapur kecil di rumahnya yang sederhana. Kompor dinyalakan, nasi dihangatkan, telur didadar. Tangan Reema cekatan bersamaan pikiran jauh melayang. Sambil menyiapkan sarapan untuk adik semata wayangnya, Adnan, yang baru berusia enam belas tahun, duduk dibangku sekolah menengah atas, kelas sepuluh dan Ayahnya yang masih terbaring karena komplikasi dan kanker paru-paru, Reema mencoba menyusun ulang kalimat perkenalan yang akan ia sampaikan nanti. “Hm... mmm!” dia berdehem pelan, merasa terlalu serak lebih dulu minum, barulah ia bicara... “Selamat pagi, saya Reema Kanaya. Sekretaris baru Bapak Anvaya Dante Sadajiwa...” Lalu dia berhenti, lebih dulu membalikkan telur... “apaan sih terlalu kaku?!” gumamnya pelan. Ia terus berlatih, mulutnya bermonolog berupaya menemukan percaya dirinya sambil tangan terus cekatan menyiapkan teh hangat ke dalam dua gelas. Tidak ada susuu atau jus. Ia benar-benar harus makin mengirit, mengingat gajian masih sebulan ke depan. Sisa tabungan yang dimiliki dari gaji terakhir di tempat kerja lamanya, harus cukup untuk bertahan hidup. “Ka, aku berangkat—“ “Sarapan dulu, uang jajanmu nggak banyak. Perutmu harus terisi sebelum pergi ke sekolah biar konsen di kelas. Ayo, ini sudah siap!” Tidak ada meja makan di rumahnya, jadi Adnan segera mendekat dan mengambil makanannya sendiri lalu dia bawa ke ruang tengah. Reema lanjut menyiapkan sepiring makanan untuk ayahnya saat suara televisi yang menyala di ruang tengah tiba-tiba menyedot perhatiannya. Ia menunda, pilih melihat dari batas dapur dan ruang tengah. Acara gosip pagi itu menampilkan sorotan kamera pada pria berjas abu muda, berdiri berdampingan dengan seorang perempuan muda bergaun putih ketat. Di bagian bawah layar, tulisan mencolok muncul. Anvaya Dante Sadajiwa kembali digosipkan dekat dengan putri Ketua Partai Biru. Reema mematung. Itu dia! Si calon atasannya. Pria yang namanya ia cari sejak dinyatakan lolos serangkai seleksi. Dia membaca semua artikel bisnis hingga gosip selebriti yang menyebutkan namanya. Usianya sudah matang di atas kepala tiga, memiliki perbedaan usia hampir sepuluh tahun dengannya, namun sudah menduduki jabatan tertinggi di Sadajiwa Konstruksi, perusahaan raksasa yang merancang gedung-gedung ikonik di Jakarta. Tampan, gagah, kaya, disegani, dan... terlalu jauh dari dunia Reema yang sederhana. “Ka, Bapak manggil...” Ucapan Adnan menarik Reema pada dunia nyata. “Oh iya,” cepat ia perlu memastikan ayahnya makan, minum obat dan selesai itu Adnan sudah berangkat sekolah. Ada bekas piring makannya yang sudah tercuci, satu yang Reema syukuri jika adiknya tak pernah menyulitkan. Mengerti kondisi keluarganya. Reema bergegas kembali ke kamarnya. Beberapa saat kemudian selesai mandi dan bersiap, dia sempat berhenti lama depan cermin kecil yang menempel pada lemari kayu tua, ia memandang dirinya sendiri. Kemeja putih dan rok pensil abu-abu masih layak. Rambut dia ikat rapi, wajah diberi sedikit bedak dan lipstik nude. Tidak banyak make up yang dimiliki, tapi dia memaksa harus tampil segar. Hatinya masih berdebar. Ia belum bisa benar-benar percaya bahwa dari ratusan pelamar, dia yang terpilih. Menjadi sekretaris dari seorang yang terkenal pewaris perusahaan. Mungkin karena nilai akademisnya memenuhi standar. Mungkin karena penampilannya dan komunikasi lancar saat wawancara. Mungkin karena keberuntungan. Atau mungkin... karena hidup sedang memberinya satu kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Reema menarik napas panjang, “kamu bisa, Reema! Jangan mengecewakan! Buat dirimu sendiri, Bapak dan Adnan!” bisiknya sebelum melangkah keluar rumah. Menjadi anak sulung, tanpa seorang Ibu membuat ia harus merangkap mengurus keluarga, juga tulang punggung apalagi setelah Bapak sakit-sakitan dan sepenuhnya menganggur. *** Reema tiba depan gedung megah, kantor barunya. Bangunannya menjulang, seluruh permukaannya terbalut kaca bening yang memantulkan cahaya pagi. Reema berdiri sejenak di depan lobi, menarik napas panjang sambil menguatkan hatinya. Tak ada kemacetan ekstrem, tak ada hujan mendadak, dan Trans Jakarta yang tadi dinaiki justru lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ia sempat beli sebotol air mineral di minimarket dekat kantor. Di meja resepsionis, ia memperkenalkan diri. Seorang staf HR segera menyambutnya dan mengantar Reema ke lantai dua puluh tiga, lantai eksekutif tempat sang CEO berkantor. Begitu pintu lift terbuka, aroma kayu mahal dan kopi premium menyambutnya. Interior ruangan terasa hening dan efisien, seperti atmosfir museum modern. Di sana, seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi sudah menunggunya. “Ibu Lastri,” wanita itu memperkenalkan diri sambil tersenyum tipis. “Saya asisten manajer operasional. Hari ini saya akan bantu kamu adaptasi dengan tugas-tugas sebagai sekretaris Pak Dante.” Reema mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu.” Tanpa basa-basi, Ibu Lastri mengajaknya duduk di ruang kecil yang sudah disiapkan untuk Reema, tepat di luar pintu utama kantor pribadi sang atasan. “Catat, ya. Pagi hari, Pak Dante suka kopi hitam—single origin dari Aceh Gayo, tanpa gula, diseduh manual. Jangan tawarkan kopi mesin, beliau paling benci itu,” ucap Lastri sambil menyerahkan berkas pegangan berisi panduan internal. Reema mencatat cepat walau sempat tertegun merasa mulai ada bayangan mengenai bosnya. “Kedua, Pak Dante alergi seafood, terutama udang. Jangan sampai kamu siapkan makanan rapat yang mengandung itu. Pernah kejadian sekali, dan... ya, kita hampir kehilangan kontrak besar gara-gara dia kolaps.” Reema semakin cepat mencatat. Tangannya hampir gemetar, tapi ia mencoba tersenyum. “Beliau perfeksionis, sangat memperhatikan detail. Bahkan typo di email bisa jadi bahan evaluasi. Makanan? Jangan coba tawarkan sembarangan. Dia terbilang picky eater—hanya makan dari beberapa resto yang sudah disetujui. Nanti saya beri daftarnya.” Reema diam-diam menelan ludah. “Dan, yang paling penting, kamu harus standby kapan pun dia butuh. Bahkan kalau itu jam tujuh pagi, atau malam hari setelah jam kantor. Tapi tenang... ada kompensasi dan bonus bulanan khusus untuk posisi ini.” Reema sempat terdiam. Bukan karena ragu, tapi karena kini ia benar-benar tahu bahwa tugas ini bukan sekadar mengetik dan menjadwalkan rapat. Ini... seperti menjadi bayangan dari seorang pria yang kompleks dan sangat menuntut. Namun, di balik itu semua, ia juga tahu, inilah pekerjaan yang bisa mengubah hidupnya. Untuk ayahnya. Untuk Adnan. Untuk rumah mereka yang selama ini hanya bertahan karena semangat, bukan uang. Ia menutup bukunya, menatap Ibu Lastri dengan tekad yang perlahan menguat. “Saya siap, Bu.” Lastri mengangguk singkat. “Bagus. Karena jam sembilan, Pak Dante akan datang. Beliau selalu tepat waktu. Dan kamu harus sudah berdiri di depan pintu, sambut beliau.” Waktu di layar komputer menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh dua menit. Artinya delapan belas menit lagi, Reema akan melihat pria yang pagi tadi wajahnya terpampang di televisi atau artikel yang ia cari tahu secara langsung, nyata, dan berdiri tepat di hadapannya. “Oh ya ampun, kenapa aku makin berdebar-debar takut ya?!” Reema membatin. *** Pukul sembilan tepat, lift utama berbunyi lembut, pintunya terbuka perlahan. Reema berdiri tegak tepat depan pintu kantor eksekutif, kedua tangannya ia lipat rapi di depan perut. Detak jantungnya terasa kencang sekali. Tumit sepatu kecilnya nyaris bergetar, namun ia berusaha tampak tenang. Dan di sanalah, Anvaya Dante Sadajiwa yang ditunggu-tunggu. Tinggi, tegap, berpakaian sempurna dalam setelan hitam armani dengan dasi perak tipis. Wajahnya bersih, rahang tegas, dan sepasang mata gelap yang memancarkan ketelitian dan ketegasan yang hampir tidak menyisakan ruang untuk kehangatan. Langkah kakinya tenang, nyaris tanpa suara. Begitu mendekat, pandangannya langsung tertuju ke Reema—menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bukan dengan cara yang melecehkan, tapi seperti sedang menilai efisiensi suatu barang baru. Dominan sekali. Jantung Reema langsung berdebar lebih kuat. Reema langsung sedikit menunduk dan berkata, “Selamat pagi, Pak Dante. Saya Reema Kanaya, sekretaris baru Anda.” Pria itu berhenti di hadapannya. Beberapa detik, ia hanya diam. Lalu, tanpa senyum, ia buka suara yang terdengar dingin dan buat gugup. “Kita lihat berapa lama kamu akan bertahan. Satu-dua hari atau mungkin kurang dari dua puluh empat jam seperti yang terakhir...” Reema nyaris membeku. Ia menelan ludah, tapi tetap menjaga kontak mata secukupnya. Tatapannya tak berani terlalu lama, namun tak ingin terlihat ciut juga. Dante kemudian melanjutkan, nadanya datar namun tajam pada Ibu Lastari yang mendampingi Reema. “Beritahu dia segalanya, jangan ada kesalahan bodoh seperti sekretaris terakhir...” Ibu Lestari memberi anggukan, tersenyum percaya diri “kesalahan yang sama, tidak akan terulang.” Ia sedikit mendekat, jeli menatap setiap jengkal wajah Reema, lalu suara bassnya terdengar lebih jelas, “silakan mengundurkan diri jika kamu tidak yakin...” Reema memberanikan diri untuk mengangkat wajah kemudian membalas tatapan mata sehitam langit malam itu, “saya berada di sini setelah melewati berbagai seleksi yang perusahaan Pak Dante siapkan, saya berusaha keras untuk itu... Menyerah sebelum memulai, sama dengan meragukan kemampuan diri saya sendiri dan orang-orang kepercayaan Pak Dante yang memercayakan pilihannya pada saya antara banyak kandidat lainnya.” Ekspresi Dante tak terbaca, tetapi satu alisnya naik mungkin terkejut. Reema memberi senyum terbaiknya, kemudian membungkuk “saya akan mengusahakan yang terbaik dari kemampuan saya untuk membantu Pak Dante...” Dante tidak menjawab selain meneruskan langkah, meninggalkan Reema yang menegakkan punggungnya. Bertemu tatap dengan Ibu Lastari yang tersenyum. Setelah sendiri, ia menarik napas dalam sambil mengelap tangannya yang basah. “Arogan banget... Fiyuhh... tenang Reema. Sabar! Bisa bertahan!” gumamnya. Sepertinya tidak akan mudah bekerja dengan atasan barunya ini, tapi Reema tidak akan menyerah. Gajinya dari perusahaan ini lebih besar dari tempat sebelumnya, Reema butuh itu. Dari sinilah pertemuan yang mengawali segalanya antara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN