Situasinya selalu sama, dingin dan tidak pernah nyaman untuk Dante berada di sana berlama-lama. Bagi Dante, rumah itu masih saja sama. Dinding megah, lampu kristal, pilar menjulang—semua tetap berdiri angkuh, tapi baginya tak pernah menghadirkan arti pulang yang sungguh. Sejak dulu, tempat itu lebih mirip panggung sandiwara daripada rumah. Tempat menyimpan banyak luka dan trauma. Ia menghela napas panjang, menekan rasa muak yang membuncah.Terutama mendapati Papi lebih banyak berpihak pada putra kesayangannya. “Nolan, duduk.” Papi meminta, putranya itu yang pertama mengalah. Nolan berbalik dan duduk dekat Papi. Dante menatap satu persatu keluarganya, kemudian ia menatap Mami yang memintanya duduk juga. Dante pun duduk, memilih sofa lain yang berhadapan dengan posisi Papi serta Nolan