Setelah makan siang, mereka kembali ke kantor dalam diam. Dalam mobil, Reema mencatat poin penting hasil kunjungan proyek, lalu menyusunnya menjadi laporan tertulis yang rapi dan padat. Begitu tiba di kantor, ia langsung menuju mejanya dan menyelesaikan dokumen sebelum menyerahkannya pada Dante di ruang kerja.
Ia mengetuk pelan, “masuk!”
Reema melangkah masuk, membawa map berisi laporan. Dante sedang duduk di balik meja besar, lengan kanan menyangga kepala. Di tangan kirinya masih menggenggam ponsel, terlihat plester yang Reema tempelkan masih ada di sana. Suaranya terdengar berat, baru saja mengakhiri percakapan dengan Mami Hestia.
“Saya sudah membaca dokumen yang terlewat itu.. yang tadi kamu bilang.”
Reema mengangguk pelan, lalu meletakkan map di atas mejanya. “Ini laporan proyek tadi siang. Saya sertakan catatan tambahan dan estimasi pengeluaran untuk tiga bulan ke depan seperti yang Pak Dante minta...”
Dante membukanya cepat, membaca sekilas, lalu mengangguk tanpa komentar. Reema makin teliti, memudahkan pekerjaannya sekali.
“Saya permisi dulu, Pak,” ucap Reema, sedikit membungkuk.
Tapi baru ia berbalik, suara Dante menghentikannya, “Reema.”
Ia menoleh, "iya, Pak?"
“Saya lupa bilang, pesankan buket bunga. Gunakan florist yang biasa, minta rangkaian premium. Pastikan kirim besok pagi.”
Reema mengeluarkan tablet digitalnya, bersiap mencatat, “untuk nama penerima? Apa Nona Jesika—“
“Bukan dia...” Dante menyebutkan sebuah nama asing yang belum pernah Reema dengar sebelumnya. Nama baru lagi.
“Alamatnya saya kirim nanti lewat pesan,” tambah Dante, lalu kembali sibuk melihat layar ponselnya. Reema mencatat dengan rapi. Tapi pikirannya mengembara. Ini bukan pertama kali. Bahkan mungkin yang kelima atau keenam selama beberapa bulan terakhir. Nama penerima selalu berganti. Selalu perempuan dan biasanya karier wanita ini atau nama keluarganya tampak serasi dengan latar Dante. Setara, ada perancang busana, hingga dokter, pernah juga Jaksa, anak pemilik partai dan pengusaha muda. Namun, semuanya hanya muncul sekali, lalu tak pernah terdengar lagi. Ia tidak pernah bertanya. Tidak pernah berkomentar. Karena tahu batasannya sebagai sekretaris untuk tidak ikut campur mengenai privasi bosnya. Ya, walau ia penasaran dari sekian perempuan cantik yang dapat kiriman bunga, mana yang spesial dihati bosnya?
Pastinya perempuan itu cantik dan luar biasa, bisa mengetuk sikap dingin seperti Dante. Pikirnya.
“Bunga... jenis tertentu, Pak?” tanyanya tetap profesional.
“Putih dan ungu. Campurkan sedikit peony kalau ada.”
Reema mencatat lagi. “Disertai kartu ucapan?”
Dante menatapnya. Lama, “cukup nama saya. Tidak perlu tulisan lain.”
Reema mengangguk pelan. “Baik.”
Ia berbalik dan melangkah ke pintu. Segera memesankan bunga dan mengurus pembayarannya dengan kartu yang Dante berikan. Untuk keperluannya, termasuk hadiah, bunga atau reservasi hotel atau resto baik untuk pekerjaan atau urusan pribadi Dante. Reema mengurus semua itu.
Ia menghela napas dalam-dalam, teringat dua minggu lalu baru saja memesan tas branded dengan harga puluhan juta. Ia pikir untuk hadiah Mami atau kembarannya, tapi nama dan alamat yang diberikan jelas perempuan lain. Dante seroyal itu pada teman perempuannya.
Tidak lama ponsel berdering, Reema melihat nama Adnan tertera di sana. Ia mengerutkan kening, sebab adiknya tidak pernah menelepon di jam-jam kerja kecuali mendesak. Reema segera menjawab, suara adiknya agak gemetar..
“Adnan, katakan ada apa?”
“Bapak menggigil, badannya panas banget, Ka...”
Reema langsung duduk tegang, “kamu sudah di rumah?”
Adnan bercerita mengenai ia memang pulang cepat, lalu melihat Bapak berbaring lemah sambil menggigil. “Temui Pakde Guntur. Kamu kasih obat bapak dulu...” Reema memberi instruksi obat apa yang harus diberikan dan takaran yang diingat. Cukup tenang saat meminta adiknya tidak gugup.
“Kalau setengah jam obatnya enggak ada reaksi, kamu cari taksi dan bawa Bapak ke rumah sakit. Minta tolong Pakde Guntur temani... Mbak coba minta izin pulang tepat waktu, enggak lembur...”
Adnan mengiyakan, lalu Reema menutup telepon. Dia baru berdiri dan siap meminta izin pada Dante pulang cepat tepat pintu terbuka dan Dante muncul, “Re, siapkan ruang meeting. Kita bertemu tim teknis, membahas mengenai tinjauan lapangan hari ini... Hubungi juga Ibra... dia harus ikut meeting nanti.”
“Baik, Pak... Jam berapa, Pak?”
“Jam setengah empat saja. Saya keluar dulu, kamu tetap tunggu di sini.” Katanya kemudian segera berlalu, Reema jadi urung meminta izin. Segera melakukan perintah sang bos. Terpaksa tidak jadi meminta izin pulang cepat. Biasanya jika meeting mulai sore, selesainya bisa melebihi dari jam pulang kantor.
Reema menghela napas dalam, segera mengirim pesan pada adiknya jika ia tidak bisa pulang cepat. Percaya Adnan dan Pakde bisa mengurus Bapak. Dia minta dikirimkan kabarnya.
***
[Kak, Aku ditemani Pakde bawa Bapak ke rumah sakit Mitra Kasih...]
Pesan itu Reema baca satu jam lalu, bahkan meeting belum selesai. Sedang tegang-tegangnya karena Dante tampak tidak puas dengan penjelasan tim teknis. Reema menoleh ke kaca ruang meeting, sudah gelap di luar. Tanda sudah semakin larut, sempat ada istirahat saat Magrib kemudian dilanjut.
Semua tampak lelah kecuali Dante, masih sangat bersemangat. Sekitar jam tujuh lewat lima belas barulah meeting selesai. Namun, bukan berarti Reema bisa pamit untuk langsung pulang. Evaluasi terjadi antara Dante dan Ibra, Reema masih menunggu sambil tersambung dengan kabar adiknya.
[Bapak masih di IGD. Belum dapat kamar, Ka... dokter sudah datang memeriksa tadi. Pakde masih tunggu, tapi aku enggak enak... minta Pakde pulang saja ya? aku nggak apa-apa sendirian. Kakak masih lama?]
Reema menghela napas dalam-dalam, adiknya bahkan sedang ada ujian semester sekolah. Pasti dengan kondisi Bapak, buatnya tidak bisa belajar dan fokus.
Reema baru akan membalas, saat Ibra berjalan keluar ruangan lebih dulu.
“Duluan, Reema...”
Reema berdiri, memberi anggukan “hati-hati, Pak Ibra...”
Setelah Ibra berlalu, Reema masih menatap pintu dan kemudian mengetuk-ngetuk mejanya dengan jari. Dante tidak ada keluar, jadi Reema putuskan untuk menghampiri. Dia mengetuk pintu, lalu masuk.
Dapati Dante sedang bersandar dengan memejamkan mata, memijat pelipisnya. Kelihatan lelahnya baru sekarang. Reema sudah berhenti dekatnya, tetapi tidak berani membuka sepatah kata padahal ia butuh cepat memastikan kondisi ayahnya. Pandangannya menyapu meja, ada botol Wine yang dibuka dan dua gelas, pasti satunya tadi bekas Pak Ibra.
“Pak Dante... apa masih memerlukan saya?” tanya Reema pada akhirnya.
Dante diam, kemudian mengangkat kepala masih sambil bersandar. Matanya menatap penampilan Reema.
“Apa saya sudah bisa pulang, Pak—“
“Saya lapar, Re...” ucapnya. Reema terdiam menautkan tatapan mata mereka.
“Oh, oke... Saya pesankan Pak Dante makan malam? Atau mau reservasi?”
Dante tidak menjawab, dia justru akhirnya menegakkan duduknya dan berdiri.
“Pak Dante..”
Dante kemudian melangkah mendekat, Reema menatap botol Wine yang sudah tanda setengahnya.
“Kamu pikir saya mabuk? Toleransi saya terhadap alkohol cukup tinggi... Wine enggak akan buat saya mabuk... kamu kelihatan gugup sekali.” Katanya dan berhenti di hadapan Reema.
Reema tetap berdiri tegak, meski harus mendongak dan pandangan mata mereka bertemu. Dante menarik napas dalam-dalam, “kamu bisa pulang.”
Kening Reema mengernyit, tadi Dante bilang lapar... tapi malah kini memintanya pulang.
“Saya akan pesankan makanan, atau reservasi resto... Pak Dante mau—“
Langkah Dante agak bergoyang, Reema pikir akan jatuh sehingga refleks mendekat dan memegangi lengannya walau tubuh Dante lebih tinggi dan besar darinya. Dante memejamkan mata, “bapak yakin enggak mabuk?”
“Saya yakin, cuman entah mengapa rasanya pusing sekali...”
“Pak Dante duduk ya...” ucapnya. Lalu membiarkan saat tangan itu merangkulnya, Reema menoleh mendapati ujung tangan Dante yang berada dibahunya. Lalu segera memapah tubuh itu hingga duduk di sofa. Reema sigap mengambilkan air putih, kemudian ia meminta Dante meminumnya.
“Habiskan, Pak...”
“Saya pusing, bukan haus.”
“Iya, tahu... habiskan airnya dulu!” kata Reema meminta, Dante menjengkelkan sekali. Dante mendesah, tetap minum. Reema sampai lupa tujuannya untuk pamit pulang.
Setelah menyimpan gelas, ia segera mendekat sampai Dante terdiam mendapati jarak dekat. Reema membungkuk di hadapannya, tangannya terulur menyentuh kening lalu leher Dante. Sentuhan untuk memeriksa, tapi Dante merasakan sesuatu yang buatnya tidak berpaling dari jarak dekat itu. Ia menghirup dalam, parfum gadis itu bukan parfum mahal tapi tidak mengganggu sama sekali. Wangi vanila yang kuat.
Reema menjauh, “Pak Dante agak hangat. Sudah tahu pusing, kenapa Pak Dante minum Wine segala? Makin pusing.”
“Saya makin pusing dengar kamu mengoceh, Re...”
Remma menarik diri, kemudian segera mengambil ponsel yang sebelumnya ia letakkan di meja.
“Saya akan tanya ada sopir kantor atau tidak, Pak Dante tidak bisa pulang sendiri... menyetir terlalu berbahaya.” Katanya dan menjauh, segera melakukan pengaturan.
Dante bersandar, melipat tangan kemudian memerhatikan wanita itu. Dari ujung kepala hingga kaki, kemudian berlama pada wajahnya. Bukan tipe yang wajahnya cantik sekali, apalagi tubuh sintal dengan lekuk-lekuk menggoda seperti para mantan atau sekedar teman satu malamnya... Reema memiliki tubuh ramping, yang tetap pas. Ya, dia tetap menarik dengan penampilan ala kadarnya.
Brengsek apa yang aku pikirkan?! Batin Dante. Kemudian dia menghela napas dalam, karena kepalanya pusing jadi melantur ke mana-mana atau memang karena dia sudah lama tidak melampiaskan kebutuhan biologisnya sampai sekretarisnya begitu menarik dimatanya.
“Pak Dante...” panggilan itu mengembalikan kewarasan Dante. “Sopir akan antar Pak Dante pulang, ada barang-barang yang mau dibawa? Biar saya bantu rapikan....”
Dante mengangguk, bersikap tenang dan entah mengapa saat akan meninggalkan ruangan saat ia sebenarnya bisa berjalan cukup tegap meski sedang pusing, ia biarkan sekretarisnya jadi tumpuan tangannya dan memapah. Reema sempat ambil tasnya juga. Sepanjang di lift, Reema tidak sadar jika mata bosnya memandanginya lebih lekat. Terkhusus sisi wajah dan lehernya.
Suara dering ponsel terdengar, jelas itu berasal dari ponsel yang digenggam Reema. Dante sempat melihat nama si penelepon.
Adnan...
“Kenapa tidak diangkat?”
“Oh...” Reema menoleh sambil mendongak, dari jarak dekat, Dante bisa melihat netra mata yang umum... cokelat. Tapi ada binar yang membuatnya begitu terlihat jernih. “Ini, telepon dari adik saya... Nanti saya bisa hubungi balik, Pak.”
Dante terdiam, “saya pikir dari kekasihmu...”
Reema terlalu polos dan jujur saat menjawab, “saya sedang tidak ada hubungan seperti itu, saat ini fokus pada pekerjaan dan keluarga Pak...”
Dante tidak mengatakan apa-apa lagi, saat sudah dilobi, ia menarik diri “sudah, saya bisa jalan sendiri...”
Reema mengangguk, tetap menyamai langkah dan membawakan tas milik bosnya.
"Pak Dante ternyata bisa demam juga ya,"
Dante mendelik, "saya manusia, Remma... kamu pikir saya apa?"
Reema tersenyum, menahan jawaban jika bosnya selama ini seperti bukan manusia.
Dia temani sampai Dante masuk mobilnya. Remma menunggu hingga mobil tersebut berlalu, barulah ia mencari ojek online menuju rumah sakit tempat Bapak dirawat. Ia juga mengabari Adnan.
"Kakak ke rumah sakit sekarang, Ad... Gimana keadaan Bapak?!"