Dante tahu hari berikutnya Reema ingin kembali izin pulang cepat, tapi tidak melakukannya dan tetap tinggal lembur bersamanya. Apalagi akhir bulan, mereka dikejar banyak deadline. Sekitar jam tujuh lewat empat puluh lima menit ketika Dante yang kebetulan sedang menyetir mobilnya dapati wanita itu masih berjalan di trotoar dengan langkah yang cepat. Jelas terburu-buru. Sepertinya menuju halte Trans Jakarta terdekat tapi itu masih sekitar satu kilometer lebih dari sana.
Awalnya Dante melajukan mobilnya begitu saja. Tapi, kakinya malah menginjak rem dan memastikan aman untuk mundur dan merapat kesisi jalan.
Reema menoleh saat mendapati mobil bosnya berhenti, kemudian pintu kacanya menurun. Reema mengerutkan kening bingung walau tetap merapat, berpikir bosnya butuh bantuannya.
“Pak Dante—“ sapanya tidak selesai, sudah didahului perintahnya yang dominan.
“Cepat masuk!”
“Hah? Ma-masuk ke mobil maksudnya Pak?”
Dante hanya tetap memandangnya datar, tidak memberi anggukan atau menjawab tetapi Reema memahami untuk segera terburu-buru membuka pintu mobil dan masuk.
Apa jangan-jangan Pak Dante masih butuh diriku, dan mau ajak balik ke kantor? Pikir Reema saat sambil memasang sabuk pengamannya.
Mobil mulai melaju, “rumah sakit mana?” tanya itu bersamaan suara datar Dante seperti biasa.
Reema mengerjap pelan, “Pak Dante mau antar saya ke rumah sakit?”
“Saya tidak suka mengulang kalimat yang sama, kamu harusnya pasang pendengaran dengan baik! Apa ada masalah dengan pendengaran kamu sekarang?!"
Seketika ia diliputi tegang, menunduk dan meminta maaf.
“Pak, saya bisa turun di halte TJ depan untuk lanjut ke rumah sakit... Saya tidak mau merepotkan Pak Dante...” katanya dengan sungkan, duduknya rapat dan walau mobil itu sangat nyaman, Reema tetap saja berpikir lebih tenang jika menggunakan transportasi lain dibanding menerima bantuan bosnya. Apalagi dengan tampang dinginnya!
“Kamu menolak niat baik saya?” dengan nada tersinggung.
“Hah?” Wajar bila Reema benar-benar terkejut dengan tingkah bosnya.
“Hah-hah... kamu itu ya!” decak Dante dapati respons sekretarisnya. Kesal dapati respons keterkejutan Reema.
“Ini Pak Dante, benaran mau antar saya—“
Mobil Dante seketika berhenti, menginjak rem yang buat Reema sedikit tersentak.
Sekarang apa lagi ya Tuhan?! Batin Reema. Benar-benar sulit mengerti bosnya ini.
Mobil berhenti dekat halte Trans Jakarta yang tadi Reema tuju.
“Turun... Karena kamu banyak tanya, saya berubah pikiran!” Katanya lagi yang langsung membuat Reema melongo.
Dante tetap menatap ke depan. Reema menarik napas dalam, kemudian melepas seatbelt.
“Sudah diantar sampai halte ini pun, saya berterima kasih sekali...” ucapnya menatap bosnya. Dante akhirnya menoleh hingga tatapan mata mereka beradu satu sama lain.
“Bisa pesan taksi online kalau memang terburu-buru, kenapa masih maksa jalan naik TJ?” ternyata tidak bisa menahan diri untuk mempertanyakannya.
“Saya enggak terburu-buru Pak, lebih hemat juga...” katanya dengan jujur, kemudian membuka pintu dan mengucapkan pamit sambil berterima kasih, “Pak Dante hati-hati menyetirnya...”
Dante tidak menjawab selain menatap Reema yang akhirnya turun dari mobil. Menutup pintu lalu kemudian berbalik menuju halte. Mobil Dante masih diam di tempat, sesaat sorot matanya menatap langkah cepat gadis itu yang terlihat hingga menempelkan tiket lalu masuk. Reema mengantre bersama masih banyak penumpang lainnya. Seumur-umur Dante tidak pernah melakukannya, mengantre lalu naik kendaraan umum seperti Trans Jakarta.
Dante melajukan mobilnya, sambil mempertanyakan sikap yang bukan ia sekali. Sikap peduli hingga tadi berniat mengantar Reema ke rumah sakit. Ya, walau berakhir kesal dan menurunkannya di halte.
***
Beberapa harinya, kantor terasa sedikit berbeda. Dante melangkah masuk ruangannya dengan langkah panjang dan pasti seperti biasa. Tapi pandangannya segera jatuh ke meja di depan ruangannya yang masih kosong. Tak ada Reema yang biasanya berdiri menyapanya kemudian menyusulnya masuk ruangan dengan secangkir kopi.
Kemudian Office Boy membawakan kopi. Kopi pagi ini jelas bukan buatan Reema.
Dante meletakkan gelas porselen putih itu di meja tanpa menyentuh isinya setelah satu tegukan. Tidak cocok dilidahnya, terlalu encer.
Bahkan ini pun tidak ada yang bisa siapkan dengan benar? pikirnya kesal. Reema terbilang hanya sekali melakukan kesalahan dalam membuat kopi, selanjutnya ia segera perbaiki dan rasanya konsisten seterusnya. Sesuai lidah Dante.
Agenda sedikit berantakan. Dokumen yang biasanya disusun dengan sistematis, kali ini tumpang tindih. Satu pertemuan hampir terlewat jika ia tak mengecek ulang. Ia pikir Reema terlambat, tapi sampai menjelang siang, kekesalannya memuncak. Hingga akhirnya, saat ia hanya berdua dengan Hans, pria tinggi tegap yang sudah bertahun-tahun menjadi tangan kanannya itu, Dante melepaskan dasi, menyandarkan punggung ke kursi dan membuka pembicaraan.
“Ada laporan, ke mana Reema?” tanyanya tanpa menatap langsung. Reema juga tidak mengirimkan pesan padanya.
Hans, yang sedang mengecek jadwal selanjutnya, berhenti sejenak. “Reema ajukan cuti, Pak. Semalam. Alasan pribadi.”
Dante mengangguk pelan, mungkin ada hubungan dengan kesehatan ayahnya. Diam sesaat. Lalu tanpa mengubah nada suaranya, bertanya, “berapa hari?”
“Hanya hari ini saja, Pak...”
Terdiam lagi, kemudian ia bertanya lagi, “Hans, apa kamu tahu soal keluarganya?”
Hans menoleh. Sedikit heran dengar pertanyaan berikutnya, “tidak, Pak. Sejauh yang saya tahu, dia cukup tertutup. Profesional. Pulang tepat, kerja rapi. Kami juga jarang bicara, selain pekerjaan menyangkut Pak Dante.”
Dante mengernyit kecil, lalu menatap Hans lebih lama dari biasanya.
“Cari tahu, Hans.”
Hans terdiam sejenak. Bingung. “Maksud Bapak, tentang...?”
“Kehidupan Reema...” pintanya yang bahkan terdengar aneh ditelinganya sendiri.
Hans menegakkan tubuhnya, nyaris tak percaya. “Bapak yakin? Ini bukan biasanya Pak Dante lakukan...”
Tatapan Dante tajam tapi tetap datar. “Saya hanya tidak suka merasa... tidak tahu menahu tentang orang yang tiap hari bekerja untuk saya.”
“Baik, Pak... saya akan mencari tahu.” Hans mengangguk pelan, masuk diakal alasannya. Tapi ia tahu, bukan sekadar itu. Ia bekerja cukup lama dengan Dante untuk memahami keasingannya yang tidak biasa. Hans bekerja bukan untuk mempertanyakan perintah bosnya, tugasnya melakukan perintah yang dimintai bosnya.
Ternyata tidak cukup sampai di situ, Dante mendapat telepon dan dimintai Papi naik ke lantai ruangannya berada. Dante melangkah dengan tampang angkuhnya, sama sekali tidak terlalu menunjukkan hormat pada Papi.
“Duduk...” perintah Papi mengedikkan duduk pada sofa.
Dante duduk, “aku tidak punya waktu, Pap. Katakan dengan cepat.”
Papi minum lebih dulu, kemudian meletakan cangkir berisi tehnya. Ia tatap putra sulungnya, “Papi sudah bicara dengan Nolan...”
Saat satu nama itu disebut, duduk Dante menegak kaku dan memberi tatapan lekat pada ayahnya. Nolan Sadajiwa... adik laki-lakinya yang berbeda ibu, putra dari istri muda papinya. Perempuan yang tetap sama dimata Dante, perusak kebahagiaan keluarganya walau akhirnya Mami menerimanya termasuk anak itu. Dua orang yang Dante pikir sudah memberinya sedikit kelonggaran saat memutuskan kepergian dan menetap di Luksemburg. Tapi, kini ia mendengarnya kembali.
“Setelah kontrak kerjanya selesai di sana, termasuk pendidikannya... Nolan setuju untuk bergabung bersama kita di sini. Membantumu—“
“Aku tidak butuh bantuannya, carikan posisi lain saja!” Kata Dante. Meski tidak membenci, tapi ia menghindari interaksi dekat dengan adik laki-lakinya. “Kapan itu?”
“Masih tahun depan.”
“Bagaimana dengan Mami atau istrimu yang lain? Dia membiarkan putranya kembali ke sini? Ah, tentu saja... dia pasti memikirkan bagian anaknya—“
“Dante!” tegur Papi dengan nada tegas, “jaga bicaramu, Elana juga ibumu. Kamu harus menghormatinya sama seperti pada Mami!”
Sudut bibir Dante tertarik, ingin mencemooh ucapan papinya, “Elana ibunya Nolan. Selain Mami, tidak ada yang perlu kuhormati sama.”
Ardhani Nadav Sadajiwa hanya mampu menghela napas dalam, menekan putra pertamanya tidak akan berhasil selain menimbulkan perdebatan.
Dante kemudian berdiri, “aku belum selesai, Dante!" cegahnya agar sang putra tetap berada di sana.
Dante tetap tidak mau duduk, “membicarakan anak kesayanganmu dan istrimu itu, membuatku tidak pernah nyaman. Papi tahu, tetapi tetap saja terus melibatkanku.”
“Kamu putra pertamaku, Nolan adikmu... jelas aku akan melibatkanmu. Bersikaplah selayaknya seorang kakak tertua untuk adik-adikmu, Nolan! Kalian bukan anak-anak lagi. Kompaklah, keadaan Sadajiwa dimasa depan nanti ada ditanganmu dan adik-adikmu!"