Sepuluh

1003 Kata
Keke tak mampu menyembunyikan raut kesalnya, wajah cantik itu tampak suram. Kenapa pria berotot kekar itu begitu cuek dengan motornya sendiri, bukankah dia orang yang sebenarnya punya banyak uang, kalau membangun mesjid saja bisa, masa membeli motor baru tidak mampu, buat apa uang yang begitu banyak kalau bukan untuk dibelanjakan, membeli motor bagus misalnya, atau malah mobil. Keke tak mengerti dengan jalan pikiran pria itu. Keke mengusap wajahnya lalu berjalan ke arah Bujang. Sangat kesal sebenarnya, tapi Keke memilih untuk tetap menahan diri. "Korslet lagi?" Keke melirik benda tua itu dengan miris. Catnya yang memudar, bahkan ada bagian yang sudah berkarat. Menandakan bahwa benda itu umurnya sudah sangat tua. "Habis minyak." Buang menggoyang motornya sedikit, setelah membuka jok motornya. "Huff." Keke melepaskan napasnya, dengan tujuan mengurangi perasaan dongkol di d**a. "Maaf, Ke. Motornya terpaksa didorong, jadi kita sama-sama jalan kaki." Bujang menatap Keke sekilas. "Ya gimana lagi, Bang? Nggak ada pilihan lain, kan? Lagi pula, kenapa nggak beli motor baru, sih, Bang? Atau yang bekas tapi yang kondisinya masih bagus." Akhirnya Keke meluapkan isi hatinya, walaupun Bujang sebenarnya termasuk orang asing, yang tak seharusnya Keke ikut campur urusan pribadi pria itu. "Ini banyak historinya, Ke. Banyak kisahnya, sayang kalau dijual cuma laku satu juta." Buang mulai mendorong motornya dan diikuti Keke. "Segitunya, Bang." Keke terang-terangan menyampaikan dengan nada geli bercampur sinis. Alasan yang tak masuk akal baginya. Apa artinya benda tua? tak ada, begitu pikir Keke. Bujang tak menyahut, mereka beriringan berjalan di jalan desa yang sudah sepi karena para hadirin telah pulang dengan motor mereka masing-masing. Zaman sekarang, ke warung dekat rumah saja, orang memakai motor saking malasnya berjalan kaki. "Ini kali ke-dua kita jalan kaki sambil mendorong motor yang mogok." Keke tersenyum, bukan senyum bahagia, ini lebih tepat dengan momen kesialan baginya. "Iya, dan akan menjadi beberapa kali lagi kalau sempat kita menikah, Ke." Entah kenapa ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Bujang. Keke tertegun sejenak, hatinya sedikit terganggu. Lalu ia berusaha menetralkan raut wajahnya. "Saya kalau menikah dengan Abang, tidak mau naik motor itu lagi." "Tanpa sadar, kau telah menunjukkan bahwa kebiasaanku sangat tidak kau sukai." "Kebiasaan mempertahankan motor tua dan rela berjalan kaki tanpa mau membeli motor baru, bukan kebiasaan yang harus dibanggakan," ujar Keke agak ketus. "Kau selalu berfikir dari sudut pandangmu, Ke. Tanpa peduli dengan pandangan orang lain. Motor ini milik almarhum ayahku, hanya ini kenangan yang begitu membekas, dengan motor ini kami pergi kesana kemari, dan kenangan itu harganya sangat mahal, tak bisa diganti dengan uang satu juta." "Tapi Abang kan bisa beli motor baru, tanpa menjual motor lama, ini namanya pelit pada diri sendiri." Bujang berhenti, dia mengusap keringatnya yang mengalir di pelipis. Bujang menatap serius pada Keke. "Menyesal aku tawari, Ke?" "Tidak." "Kalau begitu, ya sudah. Ayo jalan lagi. Masih ada satu kilo lagi, Ke." Keke menurut. "Besok ayah mengundang Abang ke rumah?" "Ada acara apa? Ada sunatan lagi?" "Bukan, adik saya yang laki-laki cuma Bayu, Kok. Ayah ingin melanjutkan perjodohan kita, Bang. Saya belum berubah pikiran tentang itu." Terjawab sudah apa yang difikirkan Bujang. Gadis itu memang tak bisa diterka apa maunya. "Ke," sapa Bujang, wanita cantik dengan wajah putih bersih itu menatap Bujang, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu. "Kau mengenalku, aku sudah tua, aku bahkan mungkin lebih cocok jadi pamanmu, jika kau ingin menikah, kau bisa saja memilih pemuda desa yang masih muda dan berpendidikan, memaksakan diri menikah denganku akan membuat kau menyesal di kemudian hari." "Saya tak lagi memikirkan usia, latar belakang, pendidikan, serta status sosial, Bang. Saya telah menyerahkan perkara jodoh pada ayah, kebahagiaan ayah adalah saya menerima dijodohkan dengan Abang. Maka dari itu, saya tak berniat membatalkan rencana." Keke berbalik, berniat berjalan ke arah simpang rumahnya. "Ke." Cekalan kuat menghentikan langkah Keke. Dia melihat wajah Bujang yang menegang. Laki-laki itu menampakkan ketegasan yang luar biasa. Keke mendongak, menantang mata yang seakan akan menenggelamkannya Keke pada bola mata sehitam arang milik Bujang. "Pernikahan bukan main-main, bukan sandiwara seperti kisahmu dengan Kevin." Keke mendekat, menyisakan jarak satu jengkal dari Bujang. Dia wanita dewasa, yang berhak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. "Saya dengan Kevin, tak pernah bersandiwara, perasaan saya pada dia sangat tulus, dia saja yang berkhianat," sanggah Keke. Bujang memejamkan matanya sekilas saat aroma mint yang keluar dari mulut Keke menyapu Indra penciumannya. Gadis ini terlalu nekad menantang laki-laki dewasa seperti dirinya. Sebelum setan mengambil alih, Bujang mundur beberapa langkah. "Dan kau tak memiliki rasa apa pun padaku, Ke." "Tapi Bang Bujang takkan mengkhianati saya seperti yang dilakukan Kevin pada saya, karena Abang pilihan ayah, ayah tak mungkin salah menilai. Dia tak mungkin memberikan laki-laki sembarangan pada saya." "Ke, berlfikirlah sekali lagi." "Kita akan menikah, Bang. Tak ada alasan lagi untuk saya berfikir." Keke menunggu reaksi Bujang beberapa detik. "Baiklah! Tapi ingat satu hal, takkan ada perceraian, aku takkan melepaskanmu, sampai nyawa dan raga berpisah. Besok aku akan datang jam sembilan pagi. Sampaikan pada ayahmu, besok aku datang melamarmu." Bujang tak menunggu jawaban Keke. Mereka berpisah di persimpangan jalan. *** Dia mengayuh sepeda ontanya menantang terik matahari yang membakar kulit. Sepeda itu seperti kelelahan sama seperti pemiliknya. Dua karung jagung yang digantung memakai keranjang di belakang, bahkan tidak berkurang sedikit saja. Tidak terjual di pasar tradisional. Pria itu berusia empat puluhan. Wajahnya kuyu, istrinya di rumah pasti sudah menunggu kedatangannya dan berharap adanya beberapa kilo beras yang dia bawa. Laki-laki itu berteduh di bawah pohon nangka yang rindang. Tak sendiri, seorang remaja tampan berseragam SMA juga istirahat di sana, mencari tempat berteduh dari panasnya matahari. "Dari mana, Pak?" sapanya lebih dulu, laki-laki tua itu menoleh, dia kenal, remaja berseragam SMA itu anak juragan kayu yang tinggal di bukit. "Dari pasar, mau jual jagung, tapi nggak laku." "Berapa kilo, Pak?" "Maksudmu, anak Muda?" "Berapa kilo semuanya, saya mau beli." "Kau sungguh-sungguh?" "Iya, berapa sekilo?" "Aku jualnya perkarung, bukan perkilo." "Segini cukup?" Pemuda tampan itu mengeluarkan pecahan uang lima puluh ribu. "Rumah bapak di mana? Biar saya jemput ke rumah, nggak usah diantar," tambahnya lagi. Pria yang berumur yang tak lain adalah Pak Iwan itu takjub dengan remaja di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN