Keke sampai di rumah tepat saat azan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Bujang menolak singgah dan langsung putar arah ke arah bukit tempat tinggalnya selama ini.
Ayah Keke menyambut anak gadisnya itu dengan raut cemas. Namun, dia melepaskan nafas lega saat anak gadisnya itu muncul di ambang pintu.
"Ke mana saja, Ke? Ayah sudah bilang pulangnya jam enam, ini sudah setengah tujuh. Mana temanmu itu?"
"Nggak tau, Yah. Mungkin udah kembali ke kota."
"Siapa dia? Wajahmu berubah setelah kembali menemui temanmu itu."
"Mantan pacar Keke, Yah."
"Sudah jadi mantan, kan?" tanya Pak Iwan sambil menutup pintu.
"Iya," jawab Keke lesu.
"Syukurlah, ayah tak menyukainya, nggak punya sopan santun, tamu tadi mengeluh karena sikapnya yang sombong."
Keke menjadi tertarik.
"Sombong?"
"Iya, masak datang dari jauh nggak niat menegur atau menyapa. Nanti saja ceritanya, kamu sholatlah dulu."
***
Delapan tahun yang lalu.
Wajah tenang dan gagah, kulit sawo matang dengan tubuh kekar, serta tatapan tajam yang mengisyaratkan tak ada rasa gentar.
Dia tengah berhadapan dengan dara berambut panjang dan berkulit hitam manis, bertubuh agak kurus dan memakai dress bewarna kuning gading.
Mereka tengah berada di sebuah warung tenda yang terletak di tepi jalan. Warung tempat isturahat yang hanya menyediakan jus dan minuman dingin.
"Maafkan saya, Bang," ucapnya, suaranya halus dan terkesan sopan." Saya telah mengecewakan Abang dengan membatalkan pinangan sepihak, saya benar-benar minta maaf telah membuat Abang kecewa, tapi, kekasih saya yang tak ada kabarnya selama ini, telah pulang dan menagih janji kami, saya serba salah, Bang. Dia telah berkorban banyak untuk saya."
Wanita itu menunduk dalam. Tak berani mengangkat wajahnya sendiri.
Bujang adalah laki-laki yang arif, dia kecewa, tentu saja, tapi lebih baik wanita di depannya berpaling sekarang dari pada setelah mereka menikah.
Memang, mereka baru saja bertunangan, bertunangan atas dasar perjodohan, tak ada cinta, layaknya perjodohan lainnya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa hati Bujang kecewa juga, ini menyangkut harga diri yang lebih berarti dari apa pun.
"Aku tak bisa mencegah apa pun yang kamu inginkan, termasuk membatalkan pertunangan ini, namun, seharusnya jika kau tak serius, dari awal hendaknya jangan anggukkan kepala, ini berkaitan dengan nama baik keluargaku."
"Maafkan saya, Bang." Wanita itu semakin menunduk.
"Sudahlah! Aku menghargai keputusanmu, mungkin kita memang tak berjodoh."
Wanita manis itu mengangkat wajahnya, matanya basah. Bujang tau pasti, wanita terlihat lemah saat mengeluarkan air mata, tapi pada dasarnya mereka makhluk yang cerdik, punya seribu akal agar terlihat menderita, padahal merekalah yang menyakiti.
"Kalau begitu, saya pamit."
Bujang mengangguk. Wanita itu langsung berlalu dengan sepedanya. Meninggalkan Bujang yang berpikir panjang. Apa yang akan dijawab pada ibunya, bahwa kali ini dia gagal lagi.
***
Perdebatan sempat terjadi pagi ini, saat ayah Keke bersikeras menyuruh Keke menemui Bujang. Sebenarnya Keke sedang tak ingin bertemu siapa-siapa. Kondisi hatinya belum baik. Tapi sang ayah, berhasil membuat Keke mengeluarkan motor dan pergi ke rumah Bujang.
Bujang sedikit heran kenapa gadis itu sudah muncul pagi begini, apa Pak Iwan ingin memesan perabot lagi?
Keke menggantungkan helm-nya di stang motor. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak ditiup angin.
"Lagi sibuk, Bang?"
"Tidak juga."
Bujang meletakkan mesin bor kayu itu.
"Ayah nyuruh saya ke sini."
"Mau pesan perabot lagi?"
"Nggak. Besok Keke wisuda, ayah mengundang Bang Bujang datang. Sekaligus bantu nyupir ke kota bawa rombongan," jawab Keke seadanya.
"Oh."
"Kok 'oh', Bang? Abang bisa nggak?" Keke setengah kesal dengan jawaban singkat laki-laki itu.
"Bisa," sahut Bujang, dia kembali menyalakan mesin bor-nya.
"Kita berangkat sehabis subuh, pakai mobil Pak Gino."
"Baik," jawab Bujang singkat, matanya fokus pada pahat, sedangkan mesin bor sudah di taruh setelah colokannya dicabut.
Keke rasanya kesal sekali. Pagi ini Bujang cuek luar biasa, dia merasa diabaikan. Pria itu tak tau saja, dia hampir jatuh dari motor karena jalan tanah yang licin.
"Bang,"
"Hm."
"Abang sama semua wanita begini juga ya?"
"Begini gimana?" Bujang meletakkan pahat, lalu menatap serius pada wajah Keke yang terlihat kesal.
"Cuek, tidak peduli. Dan ... Sombong." Keke merasa kesal minta ampun.
Bujang menatap lurus pada Keke, kemudian kembali memahat kayu di depannya.
"Apa penilaianmu begitu?"
"Iya,"
"Anggap saja begitu. Aku tak butuh dikatakan baik dan berubah menjadi orang lain demi mendapat pujian."
Bukannya mengerti, Keke semakin jengkel.
"Pantas saja Abang setua ini tak beristri, sikap itu sangat dibenci perempuan."
Keke berbalik, berjalan cepat ke arah motornya, lalu pergi tanpa permisi.
Sepeninggal Keke, Bujang hanya geleng-geleng kepala.
"Dasar bocah."
***
Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru.
"Masuk, Bang!"
Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.
Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke.
"Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan.
"Iya," sahut ibu Keke.
"Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang."
"Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal jepit dan sepatu kets.
"Tenang saja, Bujang bisa sampai dalam waktu satu jam setengah," hibur Pak Iwan. "Iya, kan, Jang?"
"Bisa, kalau ngebut."
"Assalamualaikum."
Mereka serentak melihat ke arah pintu masuk. Silvi, adiknya ibu Keke, wajahnya mirip tapi kulitnya agak gelap.
"Kok lama, Tan? Janjinya kan setengah enam pagi, ini udah jam enam," kata Keke pada Silvi yang kerepotan menggendong bayinya.
"Ini, Aulia susah dibangunkan."
"Kan bisa tidur lebih cepat," jawab Keke.
"Kau coba saja nanti, saat kau punya bayi, bisa tidak, bayimu disuruh tidur cepat," jawab Silvi tak kalah ketus.
"Sudah, ayo! Kita langsung berangkat." Ibu Keke menengahi. Keke dan Silvi masih mempertahankan raut kesal.
"Habiskan kopimu, Jang."
Bujang mengangguk.
Keke duduk paling depan di samping Bujang, ibunya, Pak Iwan dan Bayu duduk di tengah. Sedangkan Silvi dan dua anaknya duduk paling belakang.
"Nanti kalau kamu sudah kerja, belikan ayah mobil kayak gini ya, Ke."
"Ijazah saja belum Nerima, Yah."
"Ayah bilang, kan, nanti."
"Ayah kan punya banyak kebun sawit, kalau butuh kali, bisa kok beli mobil."
Ibu Keke menyikut sang suami, lalu berbisik, "jangan ajak dia bicara sekarang, dia masih marah saja bawaannya."
***
Prosesi wisuda berlangsung khidmat. Hanya dua orang yang dibolehkan masuk ke aula, ayah dan ibu Keke. Sedangkan yang lain melihat melalui monitor berlayar besar yang di pajang di kanan kiri lapangan.
Keke rasanya tak betah dengan sepatunya yang membuat kakinya sakit. Dia sendiri heran, kenapa wanita merasa cantik saat menggunakan sepatu tinggi tumit itu, padahal rasanya sangat tersiksa.
Acara prosesi selesai, Keke lulus dengan IPK 3,42. Cukup tinggi, walaupun tidak cumlaude. Keke tak begitu peduli dengan nilai itu, karena banyak seniornya yang menganggur padahal mendapatkan IPK tinggi.
"Pegang tangan Keke, Bu. Nanti ibu hilang." Keke mengeraskan suaranya, suara bising paduan suara itu cukup mengganggu baginya.
Ibunya menurut, dia memegang tangan Keke erat.
Keke tersentak, di sana, Kevin bersama ke dua orangtuanya tengah berfoto bahagia, bukan itu yang menganggu Keke, tapi gadis berambut panjang yang bergayut manja di lengan Kevin. Keke tau pasti, gadis itu bukan adik Kevin karena Kevin anak tunggal. Dia juga bukan Sofi, selingkuhan Kevin. Bisa dipastikan gadis itu pacar baru Kevin saat ini.
Keke mendadak muak. Jadi kemaren itu Kevin hanya bermain-main minta kembali, dan kenyataannya dia bisa memiliki pacar baru dengan gampang. Alangkah jahatnya laki-laki itu.
"Bu, Keke ke toilet dulu, ya, ibu ingatkan di mana posisi keluarga kita tadi?"
Keke berbicara tanpa melihat ibunya, dia merasa matanya mulai panas.
"Baik," sahut ibu Keke tanpa curiga.
Keke berjalan tergesa-gesa menghindari kerumunan orang-orang yang bersuka cita berfoto bersama.
Keke hapal betul di mana lokasi yang aman untuk melepas tangisnya. Ketika mulai sepi, Keke melepas sepatunya dan menjinjing benda itu di tangannya. Dia menyelinap ke lorong pemisah gedung rektorat dan gedung pustaka.
Sampailah Keke di sebuah gedung yang masih baru dan belum berfungsi, gedung itu paling jauh dan menghadap ke taman rumput yang asri.
Keke berjongkok, tangis yang ditahan itu akhirnya lepas. Berulangkali dia meyakinkan dirinya bahwa dia sudah Move on, dia sanggup sendiri tanpa Kevin. Tapi melihat Kevin begitu mudah menemukan penggantinya, dia cemburu. Hatinya sakit.