SABTU malam. Seperti biasanya, kegiatan Tara di rumah hanyalah tidur-tiduran di tempat tidur sambil menonton film yang terputar di lcd tv yang tergantung di dinding kamarnya. Sesekali tangan Tara terulur ke toples berisikan kripik singkong balado kesukaannya dengan mata yang berfokus ke layar televisi. Namun malam itu sedikit berbeda, karena kegiatan santainya itu harus diganggu oleh getaran ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
Biasanya Tara sangat malas menggubris gadget kesayangannya itu saat ia sedang melakukan kegiatan movie marathon seperti saat ini, tetapi ada rasa dalam diri Tara untuk terus membuka ponselnya setiap kali benda berwarna silver itu bergetar.
Dengan mata yang masih fokus dengan adegan dimana Lily Collins dan Sam Claflin sedang berpelukan erat di bandara, salah satu adegan dalam film Love, Rosie yang selalu membuat Tara gregetan meskipun sudah berulang kali menontonnya, Tara meraih ponselnya, berusaha untuk tidak terlalu excited untuk langsung mengecek pesan Line yang muncul di notifikasi, namun rupanya Tara gagal karena tangan dan matanya langsung berfokus pada pesan yang dikirim oleh Alvan.
Iya, jadi orang yang berhasil mengganggu movie marathon Tara malam ini adalah Alvan. Dan hebatnya, sejauh ini hanya Alvan yang bisa membuat Tara merusak prinsipnya sendiri soal ‘Unavailable every Saturday-night’ ketika menyangkut soal ponsel. Iya, jadi setiap Sabtu malam atau bisa juga disebut malam minggu, Tara akan sangat late respon jika dihubungi. Karena setiap malam itu merupakan me timenya. Masa bodo kalau Tara dibilang jones atau apapun itu karena lebih memilih malam mingguan dengan film. Bukankah akan lebih kelihatan jones kalau pada malam minggu seseorang merespon chat dengan sangat cepat? Ya untuk orang LDR sih wajar, itu berarti mereka sedang date—anggap saja begitu.
Alvan S Permana: Sumpah Tar sumpek banget gue ngeliat bioskop secrowded ini
Alvan S Permana: Nyesel bgt sumpah
Tara terkekeh ketika selintas bayangan Alvan yang sedang memasang wajah bete karena suasana bioskop yang pasti sangat ramai di malam minggu ini. Selain karena tidak hanya anak muda tapi orang-orang yang sudah dewasa pun memilih menghabiskan malam weekend dengan menonton film, film-film yang now showing saat ini juga memang banyak peminatnya. Oh, Tara saja malas membayangkan secrowded apa suasana bioskop saat ini, mengingat saat ia menonton sepulang sekolah waktu itu saja keadaan bioskop juga sangat ramai padahal masih masuk jam kerja.
Tara Andini: Mampus.
Tara Andini: Mamam tuh modus.
Tara Andini: Gue doain dapet tiketnya jauh-jauhan jadi makin gagal modusnya. Wkwk
Ketika mengetik wkwk Tara memang tidak tertawa, tetapi bibirnya berkedut tersenyum. Tara benar-benar membayangkan kalau kata-katanya terkabul pasti akan sangat lucu mengingat sore tadi Alvan memberitau Tara soal rencananya nonton dengan Alea yang Tara ketahui sebagai gebetan baru Alvan dan rencana cowok itu untuk bisa modus di dalam bioskop sambil nonton film AADC 2.
Alvan S Permana: Ya anjir loo
Alvan S Permana: Makanya nih, kalo gue batalin jg gaenak mana si Alea emang pengen bgt nonton ini film.
Alvan S Permana: Lu tadi abis solat magrib doain date gue sama Alea gagal ye, Tar? Ngaku lo!
Tara terbahak. Kurang kerjaan banget dia mendoakan hal itu, lagipula apa untungnya? Memangnya Tara sedang naksir Alvan? Kenal juga baru.
Eh? Tapi Tara jadi bingung sendiri. Seperti katanya, dia baru kenal dengan Alvan. Meskipun Tara sudah lebih dulu mengetahui Alvan karena statusnya sebagai cowok most wanted di sekolah dan juga mantannya Ify yang notabennya teman dekatnya. Meskipun pertemuan pertama Tara dengan Alvan meninggalkan kesan kurang baik karena sikap bossy Alvan, tetapi lihat sekarang? Bahkan mereka chatting dengan sangat akrabnya.
Well, Tara tidak bisa bohong kalau ia sangat klop dengan Alvan. Bukan, bukan karena mereka memiliki banyak kesamaan—bahkan Tara terlalu berbeda dengan Alvan. Mulai dari sifat sampai interest masing-masing, mereka sangat berbeda. Tetapi kalau diibaratkan, mereka itu bagaikan kubu magnet yang berbeda namun saling tarik menarik. Intinya Tara sangat nyaman mengobrol dengan Alvan. Dan tanpa Tara ketahui Alvan juga merasakan hal yang sama terhadapnya.
Iya hanya itu. Selebihnya? Entahlah, Tara masih menganggap kenyamanan mereka hanya sebagai jembatan mereka untuk berteman. Iya, begitu. Untuk saat ini.
Tara Andini: Najis
Tara Andini: Udah ah enjoy your movie date ya, Van! Gue mau lanjut nonton and plis don’t disturb me even you’re bored as hell in that crowded cinemas. Just stay focus with Cinta and Rangga
Tara Andini: And Alea
Tara sudah akan meletakkan kembali ponselnya sebelum satu balasan dari Alvan masuk ke layar notifikasinya.
Alvan S Permana: Kampret!
Tara terbahak, memutuskan hanya membaca pesan terakhir dari Alvan itu karena kalau ia balas pasti ujung-ujungnya mereka akan terus berbalas pesan. Hal itu terjadi jika mereka chatting in the middle of night. Baik Tara dan Alvan bahkan hampir lebih dari lima kali mengirim ‘tidur lo’ atau ‘gue tidur duluan ye’ namun akhir-akhirnya mereka malah melanjutkan chat mereka sampai pukul tiga pagi.
Dan malam ini, Tara memutuskan untuk tidak melakukannya mengingat saat ini Alvan sedang date dengan Alea dan Tara membayangkan jika dia ada di posisi Alea, teman ngedatenya lebih asyik main hp dan mengacuhkannya, itu akan sangat menyakitkan. Maka Tara, meskipun tidak yakin kalau Alvan hanya chatting dengannya saja setidaknya meminimalisir kemungkinan Alvan mengacuhkan Alea.
Tara pun memilih kembali memfokuskan diri ke layar tv dan tidak lagi melirik ke arah ponselnya, menghabiskan sisa malam minggunya dengan movie marathon. Namun satu bunyi notifikasi yang masuk ke ponselnya membuat Tara melirik kembali layar ponselnya yang menyala. Semula Tara kira itu dari Alvan yang mengirimkan pesan lanjutan. Namun suara decakan lah yang terdengar ketika Tara melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan.
Giovani Wardana: Sayang
Giovani Wardana: Lagi apa?
***
Alvan memasukkan ponselnya ke saku celananya. Sumpah, Alvan benar-benar bete sekali saat ini. Sudah hampir lima belas menit Alvan berdiri di tengah-tengah lingkaran antrian pembelian tiket yang sudah mirip antrian wahana dufan di hari weekend, panjang banget!
Alvan melirik Alea yang ada di luar barisan sambil memainkan ponselnya, dari gerak-geriknya sepertinya cewek itu sedang curhat di snapchat . Alvan mendengus. Ini Alea apa tidak bisa lihat kalau wajah Alvan sudah sangat keruh. Disuruh mamanya menemani belanja saja Alvan kalau bukan karena ancaman semua game konsolnya akan disita tentu saja Alvan tidak mau. Lah ini, disuruh ngantri hanya untuk nonton film drama romantis Indonesia yang dia sudah tonton pula. Kalau bukan karena Alea adalah gebetannya dan malam ini Alvan memang sedang dalam misi pdkt sih malas sekali Alvan harus repot-repot antri.
Alvan menyesal kenapa dia tidak memanfaatkan fitur m-tix saja untuk beli tiket online daripada harus repot-repot mengantri sebanyak ini, lagipula Alvan juga yakin tempat duduk yang tersedia pasti sudah tidak strategis lagi dan bisa saja kata-kata Tara tadi soal duduk terpisah benar-benar terjadi. Alvan jadi ingat Tara lagi. Gadis itu hanya menread chatnya, padahal Alvan ingin lebih lama mengobrol dengan Tara untuk mengalihkan rasa bosan dan betenya.
Alvan kemudian menekan tombol lock pada ponselnya, menggeser layarnya yang langsung menunjukkan percakapan terakhirnya dengan Tara.
“Van! Apa kita batal nonton aja, ya?”
Alvan terperanjat saat mendengar suara tiba-tiba Alea yang muncul di sebelah kirinya. Meskipun Alea berbicara dengan suara santai, fokus Alvan yang sedang terarah pada layar ponsel membuat cowok itu terkejut. Alvan buru-buru menekan tombol locknya lagi membuat layar ponselnya itu kembali gelap.
Alvan menatap wajah Alea. “Hah?”
Alea tersenyum miris, merasa tidak enak membuat Alvan harus mengantri sepanjang dan selama ini karena dirinya. “Kita gak usah nonton aja, soalnya gak enak gue sama lo ngantri lama banget.”
Alvan berdecak dalam hati, merasa dongkol. Kalau memang merasa tidak enak seharusnya Alea membatalkan sejak mereka melihat keadaan bioskop yang penuh itu sebelum Alvan mengantri selama lima belas yang kini sudah menjadi dua puluh menit.
“Gak apa-apa Le, ini tinggal empat orang lagi, nanggung,” ucap Alvan santai, berusaha tidak memperlihatkan wajah betenya. Beruntung Alvan ini orangnya lumayan jago mengatur ekspresi, jadi walaupun sebenarnya Alvan sedang sangat bete, dia bisa terlihat tetap ceria.
“Maaf ya Van sekali lagi.”
“Iya Le, gak apa-apa.” Pala lu Van gak apa-apa.
***
Minggu siang, Tara yang baru selesai mandi setelah sejak pagi sibuk membersihkan kamarnya turun ke lantai bawah untuk mengambil snack di lemari dapur ketika mendengar suara motor di parkir. Kebetulan dapur Tara memang bersebelahan dengan dinding garasi jadi suara motor atau mobil yang sedang parkir di dalam sana akan langsung terdengar ke dapur.
Tara mengernyit. Papa dan Mamanya sedang pergi ke undangan pernikahan anak teman kantornya Papa, Dimas sedang ada di kamarnya entah melakukan apa yang Tara yakin tidak jauh-jauh dari main ps.
Suara kunci yang dibuka dari luar terdengar saat Tara mengintip ke pintu utama. Beberapa detik kemudian pintu rumah Tara terbuka dan menunjukkan Teh Ulan, asisten rumah tangganya muncul dengan membawa kantung belanjaan di tangan kirinya.
“Loh Teh Ulan, kok tumben jam segini udah balik?” tanya Tara saat asisten rumah tangganya itu memindahkan kunci dari lubang bagian luar ke lubang bagian dalam.
“Iya nih mbak Tara, soalnya tadi teteh gak jadi ke mall tapi ke pasar kaget gitu, ternyata bajunya lebih murah-murah dan bagus,” jelas wanita berusia kisaran dua puluh dua tersebut.
Tara manggut-manggut.
Orang tua Tara memang selalu memberikan waktu free untuk para pekerja di rumahnya setiap hari Minggu. Mulai dari pukul delapan sampai delapan malam. Mereka di bebaskan untuk pergi jalan-jalan atau kemanapun untuk refreshing. Dan saat mereka pergi, Tara dan Dimas diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah mereka sendiri. Contohnya bersih-bersih kamar sampai cuci piring bekas makan mereka masing-masing. Orang tua Tara sengaja menerapkan cara seperti itu agar baik Dimas dan Tara terbiasa dengan pekerjaan rumah dan tidak kesulitan nantinya kalau sewaktu-waktu mereka tidak sanggup lagi membayar seorang asisten rumah tangga. Kan nasib orang tidak ada yang tau, siapa tau dalam hitungan detik ekonomi keluarga mereka turun maka orang tua Tara sudah menyiapkan anak-anaknya untuk menjalani hidup. Intinya agar mereka tidak manja dan terlalu mengandalkan tenaga Teh Ulan sebagai asisten rumah tangga.
Tara menatap bingung Teh Ulan yang tidak langsung menutup pintu di belakangnya dan mata Tara langsung terbelalak saat melihat sesosok yang sangat malas ia temui kini sedang melepas sepatunya di depan pintu yang menjadi alasan Teh Ulan tidak langsung menutup pintu.
“Gio? Lo ngapain anjir hari Minggu pake seragam sekolah?”
Cowok yang mengenakan seragam putih abu-abut yang disebut Tara dengan nama Gio itu memasang cengiran lebar sambil masuk ke dalam rumah Tara tanpa canggung sama sekali karena memang dia sudah cukup sering ke rumah itu sejak ia kelas tujuh dulu.
“kok ngapain? Gue mau nunjukin lo nih, gue udah SMA sekarang! Udah waktunya buat lo mempertimbangkan gue, Tar!”
Tara memutar bola matanya. “Najis, dasar gila,” ucapnya ketus.
Gio terkekeh. Sikap judes Tara sama sekali tidak berpengaruh padanya, malah Gio semakin gemas melihat sikap cewek yang sudah ia taksir sejak ia pertama kali menginjakan kakinya di rumah itu.
“Btw Tar, kok line gue diread doang sih semalem? Gak tau gue kangen sama lo ap—anjir!”
Ucapan Gio terputus saat sebuah keplakan melayang ke kepalanya. Bukan Tara tentu saja, namun Dimas yang entah muncul darimana lah yang sudah melayangkan keplakan tersebut. “Tar, Tar, Tar. Enak banget lu manggil kakak gue begitu. Panggil, kak Tara!”
Gio mengerucutkan bibir. “Yaelah Dim, gue kan gak mau jadi adeknya kakak lo tapi maunya jadi cowok—anjing, Dimas! Geplakin pala gue mulu lo, tai.”
Dimas menatap sahabatnya sejak SMP itu dengan galak. Sejak pertama kali membawa Gio ke rumahnya, sahabatnya itu mengaku langsung naksir berat dengan kakaknya. Awalnya Dimas hanya menanggapi ucapan sahabatnya itu hanyalah bercandaan sih santai-santai saja, sampai sekarang mereka sudah naik kelas menjadi anak SMA, rupanya Gio semakin gencar melakukan aksi pdkt pada kakaknya, meskipun sudah ditolak Tara puluhan kali dan melihat reaksi kakaknya yang terlihat sama sekali tidak tertarik dengan Gio membuat Dimas mulai menjaga kakaknya kalau sahabatnya itu sudah mulai bertingkah seperti sekarang.
“Like seriously Yo, kakak gue ogah sama lo. Udahan kenapa, di sekolah kita banyak yang lebih cakep,” ucap Dimas saat melihat Gio sedang mengekori langkah Tara yang berlalu menuju lantai atas dengan tatapan memujanya.
“Gue maunya Cuma kakak lo, Dim.”
Selalu seperti itu jawaban Gio. Entah sampai kapan cowok itu mau menyerah mengejar cinta kakaknya, Dimas akhirnya hanya bisa menggeleng-geleng sambil berjalan menuju kamarnya yang langsung diekori oleh Gio. Tapi Dimas langsung menarik kerah belakang sahabatnya itu sebelum sempat Gio berbelok ke arah kiri dari tangga, yang tepatnya menuju ke kamar Tara. “Jangan modusin kakak gue mulu, anjir!”
Dan Gio hanya bisa mengerucutkan bibirnya sambil diseret oleh Dimas menuju kamar cowok itu, pasrah.