Bab 2 – Bayangan Malam Itu

1074 Kata
Pagi itu, cahaya matahari menyusup pelan melalui tirai jendela kamar Alya. Suasana rumah besar itu tampak biasa—tenang, rapi, dan cerah. Namun di dalam diri Alya, badai belum reda. Ia duduk di tepi ranjang, tangan gemetar memegang secangkir teh hangat. Setiap hirupan terasa pahit, bukan karena rasanya, tapi karena pikiran yang terus memutar malam kemarin. Gelap. Hujan. Tatapan Arga. Detik itu terasa terlalu lama. Terlalu nyata. Bima muncul di pintu kamar, wajahnya rapi seperti biasa, senyum datar yang sudah sering Alya lihat sejak pernikahan mereka. “Pagi, sayang. Tidur nyenyak?” Alya mengangguk pelan, meski hatinya menolak. Ia tidak bisa berkata jujur tentang apa yang terjadi semalam. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan, terbakar oleh rasa bersalah. “Sarapan sudah siap di ruang makan,” Bima menambahkan, lalu berlalu tanpa menunggu jawaban panjang. Setiap langkahnya, Alya merasakan bayangan malam itu kembali menghantui. Ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir rasional: Ini hanya satu kesalahan. Tidak ada yang tahu. Tapi rasanya terlalu besar untuk dilupakan begitu saja. Di dapur, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Nadira tampak sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak tetangga dan beberapa kerabat yang menginap. Senyum manisnya terlihat hangat, namun Alya merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini—entah karena hatinya yang kacau atau karena rahasia yang masih menempel di pikirannya. Alya menata gelas dan piring dengan tangan gemetar. Suara Arga terdengar dari luar dapur, seolah mengintip setiap gerak-geriknya. Jantung Alya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena satu hal: Arga hadir lagi, tanpa diminta, di tempat yang sama. “Pagi,” ucapnya, santai tapi menimbulkan rasa aneh di d**a Alya. Ia ingin menatap Arga, namun cepat-cepat menunduk. Arga mencondongkan tubuh sedikit, seakan ingin memeriksa wajahnya. “Tidur nyenyak?” tanyanya lagi. Nada suaranya berbeda dari Bima—lebih lembut, hangat, dan menggoda. Alya hanya mengangguk, menyapu pandangan ke arah meja. Ia tahu, percakapan itu terlalu sederhana untuk masalah sebesar malam kemarin. Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuatnya terguncang. Sepanjang pagi, Alya mencoba menutupi kegugupannya dengan sibuk menata piring, mengaduk teh, dan sesekali tersenyum pada Nadira yang menanyakan kabarnya. Namun pikirannya terus kembali pada satu momen: gelap itu, Arga, dan sentuhan yang terlalu lama, dan membuat Alya merasa nyaman. Setiap kali Bima mendekat, Alya merasa bersalah. Setiap kali Arga menatapnya, hatinya ikut berdebar. Ia mulai menyadari sesuatu yang menakutkan—bahwa malam itu bukan sekadar kesalahan tunggal. Ada sesuatu yang telah terbangun di antara mereka. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, tidak bisa ia hapus. Siang menjelang, tamu mulai berdatangan lagi, dan rumah kembali dipenuhi suara tawa. Alya mencoba tersenyum, mencoba menjadi istri yang setia, menahan rahasia yang membakar hatinya. Tapi saat ia lewat di ruang tengah, Arga menatapnya sekilas, senyum tipis di bibirnya, lalu berlalu tanpa bicara. Rasa panas di pipi Alya tidak hilang. Ia tahu, Arga tahu. Ia tahu malam itu akan menjadi sesuatu yang membayangi hari-hari berikutnya. Dan Alya menyadari, rahasia ini tidak akan lenyap sendirinya. Malam akan datang lagi. Dan ketika gelap menyelimuti rumah ini, Alya tahu—mereka berdua akan dipertemukan lagi. Tak ada jalan untuk melarikan diri. Tak ada cara untuk melupakan. Rahasia itu sudah hidup di antara mereka, dan badai yang lebih besar baru saja dimulai. Sore menjelang, cahaya matahari memudar menjadi jingga lembut. Alya duduk di sofa ruang tengah, gelas teh yang sudah dingin masih di tangannya. Suasana di rumah tampak tenang, namun hatinya tidak. Setiap suara langkah, setiap tawa tamu, bahkan hembusan angin dari jendela membuatnya teringat malam itu. Ia menutup mata sejenak, membayangkan Arga yang berdiri di dapur dengan senyum tipisnya. Sentuhan tangan mereka yang singkat namun begitu membekas, tatapan yang terlalu lama, dan hawa hangat yang menyelimuti mereka dalam gelap—semua itu terus berulang di pikirannya. Rasanya, setiap detik malam itu ingin menempel selamanya. Alya meneguk teh sekali lagi, tapi rasanya pahit, seolah rasa bersalah bercampur dengan kenikmatan yang tak seharusnya ia rasakan. Ia tahu, ia harus melupakan semuanya, tapi bayangan Arga terlalu kuat untuk dihapus. Bahkan ketika ia mencoba tersenyum di hadapan Bima, hatinya tetap gelisah. “Kenapa hatimu terasa begitu berat?” pikirnya sendiri, menggenggam erat gelas yang bergetar di tangannya. Tiba-tiba, suara langkah pelayan yang membawa makanan ringan membuatnya tersentak. Tapi lebih dari itu, langkah itu mengingatkannya pada satu hal: Arga selalu tahu di mana Alya berada. Ia selalu muncul di saat Alya paling rentan, tanpa peringatan. Dan Alya menyadari sesuatu yang menakutkan: rahasia malam itu bukan lagi hanya kenangan sesaat. Rahasia itu hidup di antara mereka. Setiap tatapan Arga, setiap senyum tipis, setiap kali ia merasa gelisah, rahasia itu membayangi. Ia menunduk, menatap tangannya sendiri, bertanya-tanya apakah ia bisa menahan perasaan ini. Apakah ia bisa tetap menjadi istri yang setia, berpura-pura normal, sementara hatinya sudah tergoda oleh sesuatu yang begitu salah? Rasa bersalah dan kebingungan bercampur. Alya tahu, jika malam itu terulang atau bahkan hanya ada satu tatapan lagi dari Arga, ia tidak akan bisa menahan diri. Dan dalam hatinya, ada ketakutan yang samar namun nyata: bahwa rahasia itu akan menghancurkan segalanya sebelum sempat mereka perbaiki. Ia menghela napas panjang, menatap jendela di mana cahaya senja perlahan menghilang. Gelap akan datang lagi, dan Alya tahu—ketika malam tiba, badai itu akan hadir kembali. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, tapi suara hatinya berbisik satu hal: malam ini baru permulaan. Dan semua yang akan terjadi nanti… akan menguji batas kesetiaan, moral, dan hati nurani mereka berdua. Dengan pikiran penuh kekacauan, Alya perlahan berdiri. Ia tahu, besok akan menjadi hari yang panjang, karena rahasia malam itu tidak akan membiarkannya tenang. Tidak akan pernah. Alya menatap ruang tengah yang ramai, tapi hatinya terasa hampa. Setiap tawa, setiap langkah, bahkan sinar lampu yang hangat tak mampu menenangkan pikirannya. Malam itu, gelap dan tatapan Arga, terus menghantui setiap detik kehidupannya. Ia tahu, rahasia itu tidak akan pergi. Tidak akan pernah. Dan semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat bayangan Arga menghantui pikirannya. Sesekali ia menatap jendela, membayangkan malam berikutnya, takut—tapi entah mengapa, ada rasa penasaran yang aneh, sulit dijelaskan. Suara langkah di dekatnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Arga muncul lagi, diam di sudut, menatapnya sekilas, senyum tipis yang membuat hati Alya panas dan bersalah sekaligus. Ia tahu, badai itu baru saja dimulai. Sebuah pertanyaan menempel di pikirannya, menakutkan sekaligus menggoda: apa yang akan terjadi jika malam itu terulang lagi? Dan apakah hatinya mampu menolak, ketika rahasia itu terus memanggil, menguji setiap batas kesetiaan dan moralnya? Alya menunduk, menelan napas panjang. Gelap akan datang lagi, dan ia tahu… tidak ada yang bisa menghentikan badai yang baru saja lahir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN