Kamar itu terasa sempit, meski ukurannya luas. Bima duduk di tepi ranjang dengan wajah muram, tangannya mengepal di atas lutut. Alya berdiri beberapa langkah darinya, memeluk tubuh sendiri seakan mencari perlindungan. Suasana hening, hanya jarum jam yang berdetak pelan. “Jawab aku, Alya.” suara Bima akhirnya pecah, pelan tapi menusuk. “Ada apa sebenarnya antara kamu dan Arga?” Alya menunduk, matanya basah. Ia berusaha mengatur napas, tapi setiap kata terasa macet di tenggorokan. “Bima… nggak ada apa-apa. Kamu percaya sama aku, kan?” Bima tertawa pendek, hambar. “Percaya? Setelah yang barusan? Setelah Nadira teriak-teriak nunjuk kamu di depan semua orang? Kamu pikir aku bisa menutup mata terus?” Air mata Alya jatuh. Ia melangkah mendekat, mencoba menggenggam tangan suaminya. “Aku nggak

