Beberapa minggu setelah Alya mengetahui kehamilannya, tubuhnya semakin sulit menutupi tanda-tanda. Ia mudah lelah, wajahnya pucat, dan sering menghilang dari keramaian. Awalnya Bima tidak peduli, sibuk dengan pekerjaan dan rapat-rapatnya. Namun, pada suatu pagi, sesuatu di wajah istrinya membuatnya berhenti sejenak. “Kenapa kamu makin pucat, Alya? Kamu sakit?” tanyanya, matanya menyipit. Alya tersentak, lalu buru-buru tersenyum tipis. “Nggak, cuma kurang tidur aja, Mas.” Bima menatapnya cukup lama, seakan mencoba membaca. Lalu ia mengangguk, meski masih tampak ragu. “Kalau sakit, jangan ditahan. Jangan bikin aku repot kalau nanti kamu tiba-tiba tumbang,” ucapnya datar. Ucapan itu menusuk, seperti selalu—Bima tidak benar-benar khawatir, ia hanya takut kerepotan. Namun, tatapan yang lebih

