Hari-hari setelah malam itu terasa Alya merasa sedikit berbeda. Rumah keluarga Pratama tetap ceria bagi semua orang, namun bagi Alya tentu saja tidak, suasana itu terasa seperti topeng tipis yang menutupi rasa bersalahnya. Setiap tawa Bima, setiap percakapan Nadira, bahkan langkah kecil anak-anak tetangga yang berlarian di halaman, membuat hatinya berdebar. Bayangan Arga selalu menyelinap di sudut pikirannya, dan membuat Alya kadang susah untuk menghilangkannya, apalgi teringat akan malam tersebut.
Dan di suatu pagi yang cerah, matahari mulai menampakan kecerahannya, sementara itu Alya duduk di meja makan, memandang secangkir kopi yang masih hangat. Ia berusaha mengumpulkan sebuah ketenangan yang mungkin hanya sebentar, tapi bayangan malam itu terlalu nampak jelas bagi Alya. Gelap, Lilin, Sentuhan singkat Arga yang terlalu lama di rasakan semakin membuat Alya terbuai lebih lama di dalamnya. Tatapannya yang hangat namun berbahaya. Setiap detail terus terulang dalam benaknya.
Bima muncul, seperti biasa, rapi dan profesional. Senyum datarnya seolah menantang Alya untuk tetap normal. “Kamu tidur nyenyak?” tanyanya singkat. Alya mengangguk pelan, mencoba menelan rasa bersalahnya.
Sementara itu, Arga tiba-tiba muncul di ruang tamu, entah sejak kapan. Senyumnya tipis, mata tajamnya menatap Alya sekilas sebelum ia berpaling. Jantung Alya berdegup kencang, rasa bersalah bercampur rasa penasaran yang tak bisa ia jelaskan. Ia menyadari, rahasia malam itu tidak hanya menghantuinya—Arga pun merasakannya.
Sejak pagi hingga sore, Alya merasa matanya selalu mengikut Arga. Ke mana pun ia pergi, Arga seakan muncul di dekatnya—di taman, di dapur, bahkan saat ia membersihkan ruang tengah. Setiap tatapan membuat jantungnya berdebar. Setiap senyum tipis membuatnya bersalah, tapi juga… tidak bisa ia pungkiri, tergoda.
Dan Nadira… Alya mulai menyadari tatapan kakaknya itu. Sekilas, Nadira menatap Arga lebih lama dari biasanya. Sekilas, tatapan Nadira ke arah Alya terasa penuh pertanyaan, seolah bisa membaca sesuatu yang ia sendiri sembunyikan. Hati Alya berdetak lebih cepat, takut rahasianya akan terbaca, takut dunia mereka mulai retak lebih cepat dari yang ia bayangkan.
Malam itu tiba lagi. Alya menutup tirai jendela, mencoba mengabaikan suara hujan yang menetes di kaca. Ia duduk di sofa, tangan menggenggam bantal, memikirkan malam sebelumnya. Suara langkah di luar membuat tubuhnya menegang. Arga muncul, diam, menatapnya, senyum tipis di bibirnya.
“Tidak bisa tidur?” bisiknya pelan, seperti malam itu, tapi kini jauh lebih dekat, lebih menantang.
Alya menelan ludah, jantungnya berdegup tak menentu. Malam itu bukan lagi kesalahan tunggal. Ia tahu, badai yang baru lahir itu akan terus menghantuinya.
Dan sebuah pertanyaan berbisik di hatinya, menakutkan sekaligus menggoda: apa yang akan terjadi jika rahasia itu terungkap, atau malam itu terulang kembali?
Sore itu, setelah semua tamu pulang, Alya duduk sendiri di ruang tengah. Hatinya terasa sesak. Ia menatap bayi-bayi mainan di rak, mengingat kembali malam yang tidak seharusnya terjadi. Detik-detik gelap, lilin yang redup, tatapan Arga yang terlalu lama… semua itu kembali menghantuinya.
Arga muncul tiba-tiba dari pintu dapur, senyumnya tipis tapi matanya menembus hatinya. “Kamu tampak gelisah,” katanya lembut. Alya menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya menegang. Ia tahu, Arga selalu bisa membaca perasaannya.
“Tidak… aku baik-baik saja,” jawabnya cepat, suaranya sedikit bergetar. Tapi Arga tersenyum, seperti menyadari kebohongannya. Ia duduk di sofa, diam, menatap Alya. Suasana begitu tegang, tapi Alya tak bisa menoleh. Jantungnya berdetak terlalu cepat.
Sementara itu, Nadira berdiri di pintu belakang, mengamati dari kejauhan. Tatapannya curiga, penuh pertanyaan. Ia melihat interaksi Alya dan Arga yang terlalu dekat, dan sesuatu di hatinya mulai menyala: firasat yang tak bisa ia abaikan. “Ada sesuatu di antara mereka,” pikirnya. Nadira meneguk ludah, mencoba tetap tenang, tapi hatinya semakin gelisah.
Alya merasakan panas di pipinya. Ia menunduk, menenangkan napas. Ia tahu, malam itu bukan sekadar kesalahan sekali saja. Ada sesuatu yang terbangun di antara mereka—sesuatu yang tidak bisa dihapus dengan kata-kata atau jarak. Rasa bersalah bercampur dengan rasa penasaran dan, anehnya, ketertarikan yang sulit dijelaskan.
Arga akhirnya bangkit, berjalan perlahan ke arah jendela, memandang hujan yang mulai turun. Suasana dingin di luar seolah membuat panas di dalam ruangan semakin terasa. Alya duduk kaku, memikirkan bagaimana malam itu akan membentuk hubungan mereka ke depan. Ia tahu, rahasia itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Malam datang, dan dengan gelapnya, suasana hati Alya semakin kacau. Suara hujan menetes di jendela seperti detik jam yang terus menghitung rahasia yang mereka bawa. Tatapan Arga yang diam di dekat jendela membuatnya sadar: tidak ada yang bisa menghentikan badai ini.
Dan satu pertanyaan terus berulang di kepalanya, menakutkan tapi memikat: apa yang akan terjadi jika malam itu terulang lagi, atau jika Nadira mengetahui sesuatu? Alya tahu, ia tidak bisa menghindar dari rasa penasaran dan godaan itu.
Hatinya berdebar, napasnya tercekat, dan ia sadar satu hal: rahasia malam itu bukan lagi hanya kenangan, tapi sesuatu yang hidup, menunggu untuk diuji di hari-hari berikutnya.
Alya menunduk, jari-jarinya bermain dengan gelas teh yang sudah mulai dingin. Rasanya pahit, tapi bukan karena teh—hati dan pikirannya terasa getir. Malam itu terus menghantui, setiap detik terasa panjang, setiap tatapan Arga terasa membakar. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terasa membeku.
Arga melangkah pelan ke dekatnya, menatap lurus ke matanya. “Kamu nggak bisa pura-pura normal terus, kan?” bisiknya, nada suaranya ringan tapi menusuk. Alya menelan ludah, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Ia tahu, Arga tahu semuanya. Dan yang lebih menakutkan… ia merasa dirinya sendiri ingin disadari, ingin diperhatikan, meski salah.
Di luar jendela, Nadira berdiri diam, memerhatikan interaksi itu dari kejauhan. Firasatnya semakin kuat. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak biasa. Sebuah perasaan gelisah menekan dadanya—rasa curiga yang tak bisa diabaikan. Ia menatap Alya dan Arga sebentar lagi, lalu menoleh pergi dengan cepat, mencoba menyembunyikan perasaan itu.
Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya, tapi setiap detik terasa seperti api yang membakar dalam d**a. Ia sadar satu hal: malam itu bukan sekadar kesalahan yang bisa dilupakan. Rahasia itu hidup, mengintai, dan menunggu untuk diuji.
Dan satu pertanyaan terus berulang dalam pikirannya, menakutkan tapi memikat: apakah ia bisa menahan godaan ini, atau malam itu akan terjadi lagi? Hatinya berdebar, napasnya tercekat, dan ia sadar—badai yang baru lahir itu tidak akan bisa dihindari.