Talita menatap layar televisi yang kini sudah menayangkan berita lain, tapi pikirannya masih terpaku pada berita tadi. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari jauh tanpa tujuan. Jemarinya yang pucat menggenggam bantal sofa, mencengkramnya seakan benda itu satu-satunya pegangan yang tersisa. Dada Talita terasa sempit, panas, dan dingin bercampur menjadi satu. Urat di lehernya menegang, dan setiap detik yang lewat membuat telapak tangannya semakin basah. Semua keberanian yang dulu ia banggakan—keberanian yang membuatnya melangkah dengan angkuh melawan Lyora tanpa ragu—sekarang hancur berkeping. ‘Kenapa aku... kenapa aku sebodoh itu?’ batinnya bergetar, seperti seseorang yang berbisik di dalam gua gelap. Kilasan masa lalu datang tanpa diundang. Wajah Fabian—yang dulu membuatnya meras

