Permulaan

1267 Kata
Citra menyeka keringat yang mengucur deras di pelipisnya. Di tangannya bertumpuk kertas-kertas dan laporan yang harus ia bawa dari divisi satu ke divisi lainnya. Ini baru hari ke empat sejak ia diterima kerja di salah satu cabang perusahaan terkenal yang dinaungi oleh Eagle Corp, korporasi perusahaan yang memiliki aset triliunan dan sudah merambah ke cabang internasional. Tentu saja Citra sangat senang sampai berjingkrak-jingkrak sendiri di atas kasurnya ketika mendapat pemberitahuan bahwa lamarannya diterima dan wawancaranya sukses. Namun, ini diluar ekspetasinya. "Aw!" Citra tanpa sadar menabrak punggung seorang senior wanita. "Ma-maaf, Mbak Rani." Senior itu adalah Ranita Anggraeni, salah satu pegawai tetap yang sombongnya tidak ketulungan dan sangat suka membully Citra dengan menyuruhnya ini dan itu. Citra tak dapat membantah perkataannya karena dia juga masih baru di sini dan dirinya tak mau sampai pergi dari perusahaan ini karena gajinya yang lumayan besar. "Kalo jalan pake mata dong!" bentak Rani, diikuti oleh suara cekikikan dari teman-temannya yang berdiri sambil memegang pouch bedak atau lipgloss berkilau mereka. Tidak seperti mereka, Citra tidak memakai riasan apapun. Dan, itu adalah salah satu alasan utama Rani membully-nya. Karena Citra sangat cantik meski tak memakai apapun di wajahnya. Rani tidak ingin jika popularitasnya sebagai wanita tercantik di kantor tergeser oleh anak baru itu. "Maaf, tadi saya buru-buru jadi ..." "Ga ada maaf-maaf! Kamu itu harus dihukum biar tahu diri dan tahu posisimu!" Rani meninggikan suaranya, membuat seluruh atensi di ruangan beralih ke arah mereka. Citra meneguk ludahnya kasar, sial, hari ini pun menjadi hari yang buruk. "Ran, udahlah, lagian Citra juga gak sengaja kok." terdengar suara dari pojok, Rani menoleh dan mendapati bahwa suara itu berasal dari Dimas, teman sekantor sekaligus salah satu incarannya. "Gak papa, mas, lagian emang saya yang salah." Citra berusaha untuk tidak membuat perpecahan. Rani menggertakan giginya kesal. Citra sialan, berani-beraninya kau mempermalukanku di depan Dimas. Batin Rani marah. "Huh! Ayo pergi." Rani menabrak bahu Citra dan berlalu pergi, kedua temannya juga menatap Citra dengan tatapan merendahkan sebelum akhirnya mengikuti bosnya, Rani, di belakangnya. Citra mengelus dadanya pelan, anak cantik harus sabar, gaboleh marah, inget cari duit buat naikin haji emak sama bapak di rumah. "Kamu gapapa, Cit?" tanya Vivi, teman sekantornya yang baru menghampirinya setelah geng Rani pergi. Citra tersenyum kecil. "Gak papa Vi, aku mau nganterin berkas ini dulu ke divisi sebelah." Citra mengangkat tumpukan berkas yang berada di tangannya, Vivi mengangguk dan menepuk pundaknya sambil mengucapkan semangat. Citra berjalan di koridor yang terlihat elegan dan mewah. Meski ini hanya salah satu cabang kecil perusahaan, namun kualitasnya sangat tinggi dan benar-benar menunjukan betapa kayanya Eagle Corp. "Hah? Beneran yang kamu bilang Jo?" "Iya Put, saya juga denger sendiri dari pak direktur kalo besok presiden besar bakal berkunjung ke sini buat evaluasi kantor." Presiden besar? Batin Citra. Dia tengah berjalan melewati cafetaria dan mendengar percakapan dua orang pekerja kantor di sana. Apa yang mereka maksud presiden besar di sini adalah pimpinan Eagle Corp? "Gilaaaa, besok aku mau ke salon titik ga pake koma, harus ke salon harus beli jas baru pokoknya." "Nyerah aja Put, presiden besar kabarnya gak suka sama wanita." Citra mengernyit, dia berhenti sejenak untuk mengambil secangkir air karena haus, namun telinganya justru tertambat pada pembicaraan mereka. Maklum, Citra itu sangat kepo. "Masa? Yah, sakit hati deh. Padahal gantengnya gak ketulungan." "Ya gitu deh, jaman sekarang yang ganteng demennya sama yang ganteng juga. Mending sama gue Put, meski ga ganteng tapi bisa mencintaimu dengan sepenuh hati." "O G A H !" Citra cekikikan sendiri mendengar pembicaraan mereka yang ujung-ujungnya menjadi penolakan cinta. Namun, pikirannya tertuju pada presiden besar yang dibicarakan barusan. Citra menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua pemikirannya dan berjalan kembali, kali ini dia harus menyelesaikan semua pekerjaannya dan tidak pulang lembur. "Kasian, ganteng-ganteng tapi gay." * "Hatchim!" "Tuan? Apa tuan muda terserang flu? Mau saya ambilkan obat? Atau kita pergi ke rumah sakit saja? Saya panggilkan ambulans sebentar." "Tidak Rey, tidak usah." Seorang pria berjas putih tengah duduk di ruangan besar dengan jendela kaca di belakangnya dan menampilkan pemandangan kota yang begitu cerah dan gedung tinggi di mana-mana. "Baiklah, tuan muda." Rey menurunkan ponselnya dan menaruhnya kembali di saku jas. Dia memang terlalu overprotektif terhadap tuan mudanya. Pria berjas putih itu membuka salah satu berkas dan membacanya dengan serius. Wajahnya yang tampan dan bak patung dewa yunani itu nampak seribu kali lebih tampan ketika sedang diam atau serius. "Bacakan agendaku untuk besok." titahnya singkat, dia juga sangat disiplin waktu dan menjunjung tinggi pekerjaan. "Besok anda ada kunjungan dari perusahaan tambang emas ..." "Maksudmu si tua bangka penjilat itu?" dia memotong ucapan Rey, wajahnya berubah kesal. "Iya, tuan muda. Dia terus mendesak untuk bertemu dengan anda." "Ck, batalkan saja. Aku tidak suka dengan penjilat." dia menghempaskan tangannya kasar dan memutar kursinya sehingga mengarah menuju jendela besarnya. "Baik, tuan muda." Rey menurut. Dia kembali membuka buku agenda miliknya. "Oh iya, besok tuan muda harus mengadakan evaluasi terhadap kantor cabang xxx, sudah lima tahun sejak evaluasi terakhir dilakukan." Rey menutup bukunya, "Oh iya, apa tuan muda ingat? Di daerah sana juga terdapat restoran lokal kesukaan tuan muda saat kecil dulu." Pria berjas putih itu memutar kursinya, "Oh ya?" BRAK! Belum sempat Rey melanjutkan ucapannya, pintu ruangan pribadi milik tuan muda dibuka dengan kasar. Rey sangat paham siapa pelakunya. "BRYAN!" sesosok wanita cantik dengan pakaian minim berjalan cepat dengan wajah marah dan dadanya yang besar naik turun saking kesalnya. "Donna, apa yang kau lakukan di sini? Kau tahu kan aku sedang kerja?" Bryan, pria berjas putih itu menatap Donna, pacarnya dengan tatapan kesal. Meski disebut sebagai pacar, Bryan tak pernah menganggapnya benar-benar seorang pacar. Donna yang menggodanya duluan dan menawarkan beberapa cabang perhiasan kepadanya jika mau menjadi pacarnya. Tentu saja, Bryan menyetujuinya karena itu menguntungkannya. "Kau tidak menghubungiku selama sebulan ini! Kau itu benar-benar pacarku bukan, sih?!" Donna kesal sendiri dibuatnya. Bryan tidak mau diajak kencan, tidak mau tidur bersama, tidak mau ini dan tidak mau itu banyak sekali. Donna sampai dibuat malu di depan teman-temannya karena tidak pernah bisa membawa Bryan kemanapun. "Aku pacarmu." jawab Bryan singkat, kemudian dia kembali sibuk dengan berkas-berkasnya. Donna mengepalkan tangannya marah dan membanting tas merek Dior miliknya ke lantai. "Aku menyerah! Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan pria dingin dan gila kerja sepertimu! Kita putus!" Donna meluapkan semua emosinya, wajahnya acak-acakan dan dadanya bergerak naik-turun. Bryan mengangguk saja tanpa mengalihkan pandangan dari proposal di tangannya. "Baiklah, jika itu maumu." Donna melongo, bahkan meliriknya saja Bryan tak punya waktu? Benar-benar menjengkelkan! "Terserah!" Donna berbalik dan berjalan pergi, menutup pintu ruangan Bryan dengan cara membantingnya sekali lagi. Meninggalkan Bryan yang tidak peduli dan Rey yang menahan tawanya sedari tadi. Makanya jangan coba-coba sama tuan muda, makan hati yang ada. Batin Rey, karena dia sudah bersama Bryan sejak kecil dan paham dengan sifatnya itu. Bryan menghela napasnya dan menatap tas Dior seharga 1,4 M itu di lantai. "Rey, kembalikan tas itu kepada Donna. Dia pasti masih membutuhkannya." suruh Bryan. "S-siap tuan muda." Rey meletakan buku agendanya di meja dan mengambil tas mahal itu dengan hati-hati, dia lalu berjalan pergi mematuhi perintah bosnya. Bryan menatap punggung Rey yang menghilang di balik pintu. Setelah dia sendirian, dia mengusap wajah tampannya dengan satu tangan dan menunjukan wajah lelah. Mengurusi ini dan itu sangat melelahkan, tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal konyol bersama pacar atau teman. "Teman ..." Bryan menatap laci di mejanya, dan tangannya bergerak untuk membuka laci putih tersebut. Di dalamnya berisi buku-buku pribadinya dan beberapa barang miliknya. Namun yang paling mencolok adalah pita merah muda yang robek di bagian ujungnya. "Besok aku akan kembali ke tempat itu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN