10 | Yang Terbaik

1454 Kata
"Eyang Putri dimana, Bik?" Mengabaikan segala penatnya, tiba di rumah Nirvana langsung mencari keberadaan Meriana melalui pelayan rumah. “Nyonya Meriana di gazebo belakang sedang memberi makan ikan, Non Nirvana.” Setelah mengetahui posisi eyang putrinya berada, Nirvana langsung menemuinya. Gadis itu bermaksud membahas persoalan siang tadi. Dimana Meriana pergi meninggalkan Nirvana berduaan dengan seorang pria yang baru Nirvana kenal, Aland Saif. Walau pertemuan itu berakhir dengan keduanya mengobrol santai, tapi tetap saja. Nirvana sempat dibuat syok dengan perkataan manis Aland. Pria itu terang-terangan menyatakan keinginannya menyayangi Nirvana detik ini hingga nanti. Padahal baru pertama jumpa! ‘Oh Tuhan..ini ujian atau suatu keberkahan?’ Begitu batin Nirvana. Semua dapat Nirvana atasi karena Nirvana tak menganggap serius perkataan manis Aland. Pikir Nirvana, pria itu hanya bergurau. Guna mencairkan suasana. Terbukti setelahnya perbincangan mengalir, santai, keduanya bukan seperti orang yang baru hari ini berkenalan. Kesan pertama Nirvana pada Aland, sangat baik. Aland pria yang sopan dan tampak sangat menghargai wanita. Pria itu tidak kukuh mengantar Nirvana kembali ke H-Mall. Walau harus berjalan kaki karena Nirvana enggan diantar menggunakan mobil. Mengingat jarak H-Mall dan resto sangat dekat. Panas-panasan sebentar seharusnya tidak masalah, bukan? Sekaligus, Nirvana ingin mengetes ketahanan pria ini terhadap sikapnya. Ternyata Aland lolos pada tes pertama! Setibanya di belakang rumah, tempat gazebo dan kolam ikan berada, Nirvana menyapa eyang putrinya. Kemudian langsung mengutarakan maksudnya, “Vana mau bicara penting sama Eyang Putri.” Saking tidak sabarannya, Nirvana menepikan persoalan membersihkan diri dan berganti pakaian. Pokoknya persoalan tadi siang harus segera Nirvana cari tahu kejelasannya. Apa maksud Eyang Putrinya memperkenalkan Aland Saif? "Mau bicara apa?” Semula Meriana tidak tertarik. Meriana pikir bukan suatu hal yang penting. Tetapi saat mengingat kejadian siang tadi, Meriana berubah antusias. “Pasti mau bicara soal Nak Aland, ya? Bagaimana, Vana? Kamu suka, kan, sama pilihan Eyang? Nak Aland itu baik, sopan, karirnya bagus, dan tampan. Duhh..pokoknya cocok banget sama kamu!" Mendengar itu, Nirvana memutar kedua bola matanya dengan malas. Sampai di sini, Nirvana bisa menebak maksud dan tujuan Meriana. "Jadi, maksud Eyang Putri mempertemukan Vana dengan Aland karena ini? Eyang Putri bermaksud menjodohkan Vana dengan Aland? Tanpa meminta pendapat apalagi persetujuan Vana terlebih dulu?" Jujur, Nirvana sedikit kecewa. Semestinya ia diberitahu terlebih dulu. Sehingga dapat mempersiapkan diri. Tapi eyang putrinya malah bertindak semaunya. Selalu begini, harusnya Nirvana tak heran. "Ya apalagi memangnya? Kalau ini yang terbaik, seharusnya kamu berterima kasih sama Eyang,” gerutu Meriana. Menurut wanita tua itu, ini YANG TERBAIK. Jadi tidak perlu meminta pendapat apalagi persetujuan. Cucu pertamanya itu cukup terima beres saja. Tapi tidak tahu berterima kasih. Meriana kesal dibuatnya. "Tapi Eyang Putri—" "Enggak ada tapi-tapian, Vana. Aland pria terbaik untukmu. Kalian akan menjadi pasangan bahagia nantinya. Percaya pada Eyang. Kamu nurut saja, ya,” sela Meriana, menampilkan raut wajah memohon. Meriana harap, Nirvana bersedia mengalah dan tidak memperpanjang durasi perdebatan ini. Menarik dan mengembuskan napas kasarnya, sebisa mungkin Nirvana tidak membentak sang eyang putri. Walau Nirvana sangat kesal, tidak suka dengan cara beliau. "Tidak bisa begitu, Eyang Putri. Ini hidup Vana. Vana lah yang berhak memutuskan dengan siapa nantinya Vana akan menghabiskan waktu seumur hidup. Seumur hidup ini panjang. Vana tidak ingin salah memilih." Justru Meriana lah yang tidak bisa menahan diri, membentak cucunya, "Apanya yang salah, sih!? Bersama Nak Aland itu sudah yang paling benar, Vana! Kamu jangan mendebat keputusan terbaik yang Eyang ambil untukmu! Apa susahnya menurut!?” Dengan dadá kembang-kempis, Meriana berusaha meraih kembali kesabarannya. Meriana tahu Nirvana keras kepala. Menghadapi Nirvana harus dengan lembut. Jikalau perlu, menggunakan siasat menyentuh belas kasihannya. “Turuti permintaan Eyang yang sudah tua ini, Vana. Mungkin sebentar lagi Eyang akan dipanggil Tuhan..” "Eyang Putri jangan berbicara seperti itu. Tidak baik,” tegur Nirvana yang kali ini mendekat, merangkul eyang putrinya agar tenang dan tidak meneruskan perkataan melanturnya. Mau bagaimanapun Meriana bersikap, sebagai cucu Nirvana tetap menyayanginya. "Habisnya kamu kembali susah diatur. Padahal dua tahun ini Eyang amati kamu sudah baik sekali. Menjadi gadis yang tidak neko-neko dan sangat menurut. Terus, kenapa kali ini membantah?" "Bukannya Vana membantah, Eyang Putri. Hanya saja.." "Hanya saja apa? Kepala Eyang pusing karena kamu.” Meriana memegang kepalanya. Walau sebenarnya tidak sedang terasa pusing di sana. Ini bagian dari siasatnya. Agar Nirvana berhenti membantah. "Vana belum siap.." lirih Nirvana, jujur dengan apa yang sedang dialaminya. Tapi Meriana tetap tidak mau dibantah. "Ya enggak harus langsung menikah besok! Pengenalan, pendekatan dulu. Santai saja. Pokoknya kamu baik, Nak Aland pasti enggak bisa nolak pesonamu. Tadi saat bertemu di resto saja, dia terus memandangimu.” Yang ada, Nirvana malah mendapat imbuh pelajaran materi CINTA. “Itu cinta pada pandangan pertama, Vana. Eyang beritahu kalau-kalau kamu sudah lupa yang namanya cinta. Selama ini, kan, kamu jomlo." Padahal sedikit banyaknya Nirvana sudah memahami persoalan cinta. Nirvana sudah pernah merasakan indahnya jatuh cinta hingga sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Apa pengalaman itu masih kurang? Nirvana sampai malu sendiri mendengar eyang putrinya membahas cinta pada pandangan pertama. "Eyang Putri apa, sih.." Itu malah mengingatkan Nirvana pada sosok Raiden Alsaki. Bagaimana kabarnya? Nirvana harap, baik-baik saja dan bahagia selalu. "Itu wajahmu merah merona! Hmm..ada yang lagi malu-malu, nih. Sebenarnya kamu juga tertarik, kan, sama Aland?" Meriana salah mengartikan. Mengira sang cucu tertarik pada pria pilihannya. Demi menghargai usaha eyang putrinya, Nirvana mengungkapkan suatu hal yang sekiranya tidak mengecewakan. "Vana belum terbiasa dekat dengan pria lain, Eyang Putri. Ekhm..kecuali Izhar." "Mulai sekarang, biasakan. Terima Nak Aland dalam hidupmu. Toh, hubunganmu dan Izhar sebatas sahabat, kan?" Nirvana mulai memikirkan permintaan Meriana barusan. Walau belum ingin membuka hati karena masih mencintai Raiden, Nirvana juga tak kuasa membantah permintaan eyang putrinya. Posisinya saat ini sedang sulit. Membantah, tak bisa. Jujur soal perasaannya pada Raiden pun, tak mungkin. "Kedepannya, mulai lah memikirkan hidupmu, masa depanmu. Jangan betah dalam kesendirian. Sudah saatnya mencari yang bisa diajak jalan bersama. Atau..yang pundaknya kokoh untuk menjadi tempat bersandar. Mengerti?" Pada akhirnya, nasihat itulah yang merasuk ke dalam hati Nirvana. Benar, mungkin inilah saat yang tepat bagi Nirvana berusaha lebih gigih. Menghapus Raiden dari hatinya. Serta hidupnya. Dua tahun berlalu, apa masih boleh mencintai seseorang yang hatinya bukan untuk kita? Yang ada, membuat kita terpenjara dalam luka. "Mengerti, Eyang Putri. Terima kasih sudah memikirkan masa depan Vana. Maafkan perkataan Vana sebelumnya. Vana terlalu terkejut. Mungkin lain kali, diskusikan terlebih dulu dengan Vana. Jika Vana selalu berusaha memahami Eyang Putri, Vana harap juga sebaliknya. Eyang putri bisa memahami Vana." "Ya..yaa..ya. Masalah selesai di sini. Kepala Eyang pusing sekali." Meriana berusaha menghindar dengan memanggil pelayan kepercayaannya. "Bibik~" Meriana diminta memahami yang lebih muda? Jelas sulit! Merasa selalu benar dan selalu tahu yang terbaik, Meriana menempatkan dirinya sebagai orang yang sudah lebih dulu merasakan pahit-manisnya kehidupan ini. Jadi kalau bisa semua harus dalam kendalinya. Agar sempurna. "Ya, Nyonya Meriana?" Pelayan datang dan siap menerima perintah. "Antar saya ke kamar." "Baik, Nyonya Meriana." Pelayan pun membantu Meriana. Tak lupa menyapa Nirvana yang raut wajahnya tampak lelah sekali. "Mari Non Nirvana." ‘Kasihan Nona Muda..’ Menatap kepergian eyang putrinya, Nirvana bergumam, "Selalu begitu.." Haruskah kali ini Nirvana benar-benar menuruti permintaan eyang putrinya? Daripada pusing memikirkan semuanya seorang diri, Nirvana tahu harus berbagi tentang masalahnya ini pada siapa. Sebelum itu, Nirvana bergegas mandi dan berganti pakaian. Selesai dengan urusan membersihkan diri, Nirvana berpesan pada salah seorang pelayan bahwa dirinya harus pergi dan akan kembali setelah makan malam berlangsung. Pelayan belum sempat mengatakan apapun. Tapi Nirvana sudah ngacir, meninggalkan kediaman besar Keluarga Hasyiem. Rumah Cakra. Disambut hangat oleh pemilik rumah yang tak lain dan bukan adalah Papa Izhar, Nirvana senang sekali. Rumah Cakra ini seperti rumah keduanya. Walau tidak setiap hari didatanginya. Nirvana bergegas ke dapur dan membuatkan secangkir kopi manis untuk Cakra. Hal seperti ini sudah biasa Nirvana lakukan saat bertandang ke rumah Cakra. Cakra pun selalu memuji secangkir kopi spesial racikan Nirvana. "Mmm..manisnya pas. Seperti biasa, perfect coffee. Terima kasih, Vana." "Sama-sama, Om Cakra. Syukurlah kalau Om Cakra selalu suka dengan kopi buatan Vana." Cakra hanya membalas perkataan Nirvana barusan dengan senyuman. Pria itu sudah paham dengan kebiasaan Nirvana bila datang kemari di jam malam begini. Apalagi Nirvana sampai absen dari makan malam bersama keluarga besarnya. "Ada apa, Vana?" "Hm? 'A—ada apa', apanya Om?" Nirvana tahu maksud pertanyaan Cakra barusan, tapi Nirvana masih ragu harus bercerita atau menyimpan semuanya sendiri. "Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai kamu melarikan diri kemari. Tebakan Om salah?" Nirvana menggeleng. Karena tebakan Cakra memang benar adanya. "Om Cakra benar. A—ada sedikit masalah, Om.” "Apa itu? Coba cerita." Cakra menjeda kegiatan ngopi malamnya. Semua itu Cakra lakukan demi fokus menyimak apa yang akan Nirvana ceritakan. Intinya, Cakra akan menjadi pendengar yang baik untuk anak sahabatnya ini. Sehingga segala permasalahan hidup dapat dilaluinya dan tidak ada insiden kabur seperti dua tahun lalu. "Menurut Om, apa sudah saatnya Vana menikah?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN