Menginap

1481 Kata
Lina menyendok nasi untuk Brian, memberinya beberapa lauk pauk, lalu menyerahkannya. "Makanlah selagi hangat." "Terima kasih, Kak." Lina tersenyum sambil menyentuh kepala Brian. "Kalau mau yang lain, bilang saja." Brian mengangguk, lalu mulai menikmati makanannya. Lina merasa lega karena Brian tidak pemilih. Dia memakan apapun di depannya dengan lahap. Mulutnya yang kecil terbuka lebar. Dan saat mengunyah, pipinya terlihat lebih bulat dan kepalanya bergerak menikmati. Sekali lagi, Lina tersenyum melihat tingkah si kecil Brian. Hatinya menghangat dan darahnya berdesir. Dia jadi bertanya-tanya apakah putranya juga pintar dan lucu seperti Brian? "Kenapa melihatku begitu?" "Tidak ada. Aku hanya berpikir ingin memasak apa lagi untukmu." "Jangan terlalu banyak berpikir. Nanti cepat tua. Masak saja apa yang kakak mau. Aku pasti memakannya." Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Langit dipenuhi warna merah. Piring Brian sudah kosong melompong. Bocah kecil itu kekenyangan hingga perutnya membuncit dan kesulitan untuk turun. Lina hampir mati menahan tawa melihat balita gemol itu. Meski begitu, Brian tampak teguh ingin memecahkan masalahnya sendiri. Dia berputar ke kanan, gagal. Putar ke kiri, kesulitan. "Apa kamu perlu bantuan?" Brian menggeleng dengan cepat. Wajahnya tampak serius. Entah berapa kali dia mencoba dan akhirnya berhasil. Kedua sudut bibirnya sontak melengkung sempurna. Matanya bersinar terang dan seluruh wajahnya terlihat sangat bahagia. Lina juga tersenyum lebar dan bertepuk tangan. "Kamu hebat bisa berhasil dengan baik!" Brian tidak menjawab, tapi seluruh wajahnya tampak tersipu. Lina sangat gemas dengan tingkah Brian ini! Diapun merangkul Brian, lalu menciumi wajah gembulnya. Tawa renyah terdengar di seluruh penjuru rumah. Brian terkekeh di pangkuan Lina hingga wajahnya memerah sedangkan mata Lina dipenuhi dengan kelembutan dan kasih sayang. Jason baru saja hendak mengetuk pintu saat mendengar tawa dari dalam rumah. Dia mengenali suara itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, dia langsung membukanya tanpa mengetuk. Rumah Lina yang kecil memungkinkan Jason untuk bisa melihat adegan Lina dan Brian. Mereka sedang tertawa bahagia tanpa beban. Hati Jason menjadi hangat. Brian termasuk anak yang sulit tertawa. Dia lebih sering memasang wajah acuh dan tidak mau tahu. Hanya kepada dirinya dan mamanya -nenek Brian- saja bocah itu bersedia memperlihatkan emosinya. Kini, melihatnya dalam pelukan dan pangkuan perempuan lain membuat Jason merasakan sesuatu yang lain. Tanpa sadar, dia tersenyum. Tiba-tiba, Lina menyadari jika pintunya terbuka. Dia sontak menoleh. "Pak Jason?" Jason memperbaiki raut wajahnya, lalu berkata, "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Papa kenapa ke sini lagi?" Satu alis Jason terangkat. Di telinganya, itu terdengar seperti dia tidak diharapkan. "Tentu saja untuk menjemput anakku LAGI." Jason sengaja menekankan kata "lagi" sambil melirik Lina. Dia ingin tahu reaksi gadis ini. Lina bangkit dan mempersilakan Jason masuk. Dia tampak tidak terganggu. Itu membuatnya melirik Brian dan menyeringai. Brian berdecak. Dia menyipitkan matanya dan menatap papanya penuh permusuhan. Baginya, kedatangan Jason sama dengan berakhirnya waktu bersenang-senang. Dia belum ingin pulang. Dia masih ingin bermain dengan Lina. "Pak Jason sudah makan? Kebetulan aku masak agak banyak." "Boleh." Jason berjalan tanpa ragu menuju meja makan. Lina sudah membereskan piring kotor miliknya dan Brian. Lauk pauk juga sudah diisi ulang. "Silakan, Pak." "Terima kasih." Jason mengambil piring lalu mengisinya dengan semua masakan Lina. Piring yang tadinya kosong, sekarang tampak menggunung. Perlahan, Jason mulai menyuap nasinya. Duduknya tegak. Gerakannya halus dan anggun. Wajahnya tampak tenang, namun menunjukan keseriusan. Benar-benar menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Lina jadi terpesona. Matanya tidak berkedip. Pandangannya kini tertuju pada jari-jari Jason yang panjang dan lentik. Kulitnya bersih dan bercahaya. Refleks, Lina melirik tangannya sendiri, lalu menghela nafas. Dia merasa iri. Beberapa orang memang ditakdirkan untuk menjadi aristokrat dan priyayi. Berbeda dengan dirinya. Lina tidak ingin terus merasa rendah. Diapun mengalihkan pikirannya. "Pak Jason mau kopi atau teh?" "Kopi saja. Terima kasih." Lihat! Bahkan mengucapkan beberapa kata saja, bosnya ini tetap anggun. Lina berbalik untuk membuat kopi untuk Jason dan s**u untuk Brian. Untuk dirinya sendiri, Lina memilih teh. Saat dia berbalik, Jason sudah selesai makan. Pria itu sudah berpindah tempat di kursi tamu dan fokus dengan ponselnya. Begitu fokus hingga keningnya berkerut. Sepertinya, urusan pekerjaan. Lina tidak berani mengganggunya. Dia meletakkan kopi di dekatnya. Sementara teh dan s**u dia letakkan di meja makan. Setelah itu, dia membereskan piring-piring kotor dan menyimpan sisa makanan, lalu beralih mencari Brian. Lina baru menyadari kalau sejak tadi, dia tidak mendengar suara anak kecil itu. Lina melangkah ke seluruh ruangan dan akhirnya menemukan Brian sedang sibuk di belakang. Halaman belakang hanya seluas empat meter. Di sana, Lina menaruh beberapa pot tanaman obat dan bunga-bunga, dan peralatan berkebun. Brian kecil duduk dengan tenang. Tangannya sibuk bermain kerikil taman, mengelompokkannya sesuai dengan warna. Di sebelahnya, ada gelas bening berukuran cukup besar. Brian mengambilnya, lalu mengisinya dengan kerikil-kerikil. Lina terkejut, tapi dia tetap membiarkannya. Dia ingin tahu apa yang hendak dibuat Brian. Setelah beberapa saat, Lina bisa melihat sebuah pola di dalam gelas. Meskipun tidak sempurna, terdapat pola yang bisa terlihat. Lina menatap Brian dengan kagum. Gadis itu semakin terkejut saat melihat jembatan dari ranting-ranting yang diletakkan di antara pot. Lina sontak menatap Brian kagum. Dia semakin sadar jika anak ini memang sangat cerdas. Hanya dalam beberapa waktu, Brian sudah membuat dua karya. Baru berumur tiga tahun tapi bisa memikirkan hal yang cukup rumit. Dia jadi penasaran hal hebat apa yang bisa dia lakukan saat besar nanti. "Kak, lihat! Apa kamu menyukainya?" Brian mengangkat gelasnya dan Lina tidak bisa tidak mengangguk. "Bagus sekali," jawabnya sambil melirik kondisi taman kecilnya yang berantakan. Tidak apa-apa, dia bisa membereskannya nanti. "Kamu baru saja mandi. Kenapa bermain kerikil dan ranting? Lihat! Tanganmu menjadi kotor dan hitam." "Aku bisa mencucinya dengan sabun. Tidak perlu khawatir. Ini! Simpan dengan baik ya." Brian menyerahkan gelas kerikil itu kepada Lina dan meninggalkannya sendirian. Lina tersenyum, tapi hatinya terasa berat. Mau disimpan di mana? Tidak mungkin dia membuangnya. Bisa-bisa, Brian akan kecewa dan marah padanya. Akhirnya, Lina meletakkan gelas kerikil itu di dapur, anggap saja sebagai aksesoris. Lalu, dia kembali ke belakang untuk membersihkan sisa-sisa kerikil yang masih berserakan dan menyapunya. Saat Lina kembali masuk, Brian sudah mencuci tangan dan menonton televisi dengan cemberut. Di sebelahnya, Jason tampak frustrasi. Pria itu memijat pelipisnya. "Aku tidak mau pulang!" seru Brian sambil bersedekap. "Ini sudah hampir pukul delapan. Besok, kamu harus sekolah dan Lina juga bekerja. Jangan rewel! Kita pulang sekarang." "Tapi aku tidak mau. Lihat! Aku bahkan sudah memakai baju Kak Lina. Dia mengijinkan aku menginap." Mata Lina membelalak. Kapan bocah itu meminta ijin dan dia mengijinkan? Jason langsung menoleh ke arah Lina. Melihat reaksi gadis itu yang terkejut, Jason bisa menyimpulkan sesuatu. Pria itu menarik nafas panjang. Mereka sudah merepotkan Lina dengan masakannya. Tidak mungkin Jason akan membiarkan Brian merepotkan gadis ini lagi. "Maaf, aku membuatmu repot." Jason menatap Lina penuh penyesalan. Brian yang keras kepala memaksa papanya untuk membiarkannya menginap di rumah Lina. Jason tidak bisa berkata-kata. "Tidak apa-apa, Pak. Brian anak yang pintar dan tidak merepotkan. Dia cukup mandiri untuk anak seusianya." Ya, Brian mengatakan kalau dia bisa tidur di kamar sebelah Lina dan tidak akan mengganggunya. Bocah itu bahkan sudah mencuci tangan dan kakinya, menghabiskan susunya dan menyikat gigi. Jason mengangguk. Brian memang mandiri. Dia bisa melakukan hampir semuanya sendiri. Hanya saja, selama ini, bocah itu tidur di kamar sebelahnya. Dan tidak jarang Brian akan mengetuk kamarnya di malam hari dan mereka berakhir tidur sekamar. Lina sudah menyiapkan kamar satunya untuk Brian dan gadis itu tidur di kamarnya sendiri. Bagaimana jika malam ini Brian terbangun? Lina melihat keraguan di mata Jason. Dia tidak tahu apa yang membuat Jason ragu. Brian sendiri yang ingin menginap. Dan bocah itu sudah berbaring di kamar. Nafasnya bahkan sudah terdengar teratur. "Terkadang, saat malam dia akan terbangun dan sedikit merepotkan," ucap Jason tiba-tiba. Lina mengangguk. Kini, dia mengerti. "Tidak apa-apa, Pak. Saya akan mengatasinya." "Baiklah, kalau begitu, aku pamit. Jangan sampai kamu kecapekan dan besok tidak semangat bekerja. Besok, jadwalku cukup padat." "Siap, Pak. Untuk laporan dari marketing dan HR sudah saya forward ke email bapak. Tadi juga ada proposal dari Gerai Tech. Sudah saya serahkan ke Pak Alan. Lalu, undangan makan malam dari Pak Hengky memakai dresscode batik warna merah." "Batik?" "Iya, Pak. Kata Pak Alan acaranya makan malam sekalian syukuran pertunangan putranya. Hanya ada lima puluh orang saja yang diundang." "Tapi saya tidak punya batik merah. Besok siang tolong belikan." "Baik, Pak." "Pak Hengky acaranya besok malam?" "Iya, Pak." Jason menghela nafas. "Sepertinya, saya masih harus menitipkan Brian ke kamu." "Tidak apa-apa, Pak. Memang sudah menjadi tugas saya. Dan untungnya, tugas ini menyenangkan." Jason merasa lega karena sepertinya Lina memang tidak keberatan menjaga Brian. Biasanya, dia akan menitipkan Brian ke mamanya. Namun, akhir-akhir ini, mamanya tampak kelelahan dan mudah sekali batuk. Dengan adanya Lina, Jason merasa tenang. "Kalau begitu saya pamit." Jason berjalan keluar. Baru saja memakai sepatu, dia menoleh kembali. "Tadi, kamu belanja?" Lina mengangguk. "Kenapa tidak memakai kartu itu? Pakai saja tidak apa-apa. Tidak perlu ragu. Saya juga tenang menitipkan Brian kalau kamu menggunakannya." Lina melipat bibirnya, tersenyum canggung, lalu menjawab, "Baik, Pak." Setelah itu, Jason berbalik dan keluar. Lina segera mengunci pintu, mematikan lampu, dan bersiap tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN