Prolog

1635 Kata
"Ibu, aku pulang!" Lina menutup pintu dan mengganti sepatunya dengan sandal tipis, lalu berjalan masuk. Rumah seluas 6x10 meter itu tampak lengang. Ini memang hal lumrah karena gadis itu hanya tinggal bersama kedua orang tuanya yang sudah renta. Dia berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air untuk menghilangkan dahaganya. Dia baru saja pulang kerja dan merasa sangat lelah. Dia baru berusia sembilan belas tahun. Prestasi akademiknya cukup baik, tapi kondisi keluarganya tidak memungkinkan dirinya untuk melanjutkan kuliah. Ibunya hanya seorang wanita tua dan ayahnya sudah lama menderita lumpuh separuh badan. Kondisi sulit itu memaksa Lina untuk mengesampingkan keinginannya untuk kuliah dan memilih bekerja untuk membantu pengobatan sang ayah. Pekerjaannya sebagai pegawai magang di sebuah bank swasta baru saja dimulai. Memang bukan jabatan tinggi yang dia dapat mengingat dirinya yang hanya lulusan SMK. Dia hanya seorang helper. Namun, dia merasa kakinya bengkak karena harus berjalan kesana-kemari untuk fotokopi, membawa tumpukan berkas, membelikan makan siang, dan sebagainya. Untungnya, staf di sana cukup pengertian. Tidak jarang Lina mendapat uang lelah atau ditraktir nasi bungkus. "Ibu??" Lina kembali memanggil ibunya. Gadis itu mengernyit karena tidak juga mendapat jawaban. Diletakkannya tas di atas meja, lalu berjalan menuju kamar orang tuanya. Matanya membelalak mendapati ruangan itu kosong. Rasa panik menguasai hatinya. Dia membuka semua ruangan. "Ibu?? Ayah??" Kakinya yang ramping bergerak cepat menyusuri setiap sudut rumah kecilnya. "Ibu?? Ayah???" Lina berlari keluar setelah memastikan tidak ada sosok kedua orang tuanya. Seorang tetangga keluar saat mendengar teriakan Lina. "Lin, apa kamu tidak mengecek ponsel? Ayah dan ibumu dilarikan ke rumah sakit siang tadi." "Ke rumah sakit? Kenapa?" "Sepertinya, ibumu hendak membantu ayahmu ke kamar mandi, tapi terpeleset. Ibumu luka lecet, tapi ayahmu..." "Aku mengerti!! Terima kasih banyak." Lina kembali masuk untuk mengambil tasnya. Sebelum menyalakan sepeda motor, dia mengecek ponsel dan mendapati beberapa pesan yang dikirim oleh tetangganya. Sejak istirahat siang, Lina memang tidak sempat memegang ponsel. Beberapa staf meminta bantuannya untuk membelikan makan siang beserta minumannya. Setelah itu, dia menyiapkan ruangan untuk rapat pimpinan, mengelap dan menyapu, memfotokopi dan menyiapkan berkas-berkas dan kopi serta teh untuk peserta rapat. Agenda itu berlangsung hingga pukul empat. Diapun segera membersihkan ruangan itu begitu selesai dan bergegas pulang. Air matanya jatuh dengan cepat saat melihat foto ayahnya yang terbaring di atas ranjang pasien. Gegas, Lina melakukan motornya menuju rumah sakit. Tangannya bergerak lincah menyalip kendaraan. Tidak dihiraukannya hiruk pikuk lalu lintas di jam macet seperti ini. Yang dia pikirkan hanya tiba di rumah sakit dengan cepat. Seorang wanita tua dengan baju lusuh duduk di samping ranjang pasien. Wajah tampak lelah dan tambah lebih tua beberapa tahun. Dia menatap suaminya yang yang terbaring, namun pikirannya menerawang. Dia termangu seolah hanya ada dirinya di ruangan itu. Telinganya tidak mampu menangkap obrolan ramai di ranjang-ranjang sekitarnya. "Ibu?" Suara uang familier memasuki rungunya. Dia menoleh dan mendapati anak gadisnya berdiri dengan nafas tersengal. "Ibu.." Lina memeluk ibunya dengan erat. Dua wanita beda generasi itu menangis dan larut dalam kesedihan. Setelah puas menangis, Lina melepas pelukannya. "Apa yang terjadi, Bu?" Wulan menghela nafas, lalu menceritakan apa yang terjadi siang itu. Air matanya kembali menetes, tapi segera dia lap. "Tidak apa-apa, Bu. Ayah sudah mendapatkan penanganan. Dia akan sembuh." Lina mencoba menghibur sang ibu meskipun dalam hati dia tidak merasa yakin dengan kalimatnya. Wulan mengangguk. "Kamu benar. Ayah akan sembuh dan kembali pulang." Lina mengeluarkan kresek putih dari dalam tasnya dan memberikannya kepada sang ibu. "Ibu pasti belum makan. Ayo makan bersama!" Wulan membuka tas itu dan melihat dua nasi bungkus di dalamnya. "Ibu akan mencuci tangan terlebih dulu." Wulan berdiri dan seketika itu juga dia merasakan linu di lututnya. Keningnya berkerut. Namun, karena tidak ingin Lina berpikir panjang, dia segera menyembunyikannya. Lina menata tikar di bawah, lalu meletakkan dua bungkus nasi dan teh hangat. Saat ibunya kembali, mereka mulai menikmati makan malam. "Bu, mumpung ini belum terlalu malam, lebih baik ibu pulang dulu. Biar Lina yang menjaga ayah di sini. Ibu istirahat di rumah," ucap Lina sambil membersihkan bungkus-bungkus yang sudah kosong. "Tidak, Nak. Ibu masih ingin di sini menjaga ayah." "Istirahat ibu akan terganggu kalau tetap di sini. Kalau ibu tidak beristirahat dengan baik, kondisi ibu juga akan menurun. Kalau itu terjadi, bagaimana denganku, Bu?" Tatapan ibu dan anak itu bertemu. Setelah beberapa detik, Wulan akhirnya setuju. "Tapi ibu akan kembali lagi besok pagi buta agar kamu tidak terlambat bekerja." "Aku masih harus bekerja?" Lina menatap Wulan tidak percaya. Dia ingin membantu ibunya menjaga sang ayah. Namun, setelah dipikir lebih lanjut, Lina akhirnya setuju. Ya, mereka membutuhkan banyak biaya. Dirinya tidak boleh ijin kerja. "Bagus. Ibu juga akan menawarkan sarapan untukmu." Lina mengangguk. "Aku akan memesan ojek untukmu." Lima menit kemudian, Wulan pulang. Suasana di rumah sakit masih ramai. Jam masih menunjukkan pukul delapan. Beberapa pasien yang berada di bangsal yang sama masih menerima tamu. Setelah memastikan posisi ayahnya nyaman dan tidak akan bangun dalam waktu dekat, Lina pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Setelah itu, dia keluar untuk berbicara dengan dokter. "Kondisi ayahmu kurang beruntung. Saat dia terjatuh, kepalanya terbentur pinggiran kolam air, mengakibatkan sobekan yang cukup dalam. Beliau membutuhkan operasi secepatnya. Jika tidak, aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku sudah memberi semua informasi kepada ibumu. Apakah dia tidak mengatakan apapun?" Lina menggeleng kaku. Dokter pria itu menghela nafas. "Maaf, aku memberimu berita buruk. Tapi operasi itu paling lambat harus dilaksanakan satu Minggu lagi. Lebih cepat, lebih baik. Lebih dari itu, kami angkat tangan." "Aku mengerti, Dokter. Terima kasih atas penjelasannya." Lina menyalami dokter tersebut dan berjalan keluar. Langkahnya gontai. Pikirannya terus memutar kalimat dokter. 'Kenapa ibu tidak mengatakan yang sebenarnya? Kenapa harus ditutupi? Apa yang dipikirkan ibu? Aku berhak tahu. Apakah ibu ingin mencari solusinya sendiri?' Lina memilih duduk di taman di depan bangsal inap sang ayah. Pikirannya menerawang. Matanya menatap gelapnya langit malam. 'Seratus juta? Di mana aku harus mencari yang seratus juta dalam waktu satu minggu?' Wajah Lina pucat. Dia mulai memikirkan beberapa solusi; seperti berhutang kepada kerabat, tetangga, atau yang terakhir pinjaman online. Tapi apakah bisa terkumpul sampai seratus juta? Bahkan mungkin dia membutuhkan lebih. Seratus juta hanyalah biaya operasi, belum termasuk obat, perawatan pasca operasi, dan lain sebagainya. Ya Tuhan, setidaknya dia membutuhkan seratus lima puluh juta. Di mana dia harus mencarinya?? "Rumah sakit memang seperti koin yang memiliki dua sisi. Di tempat ini, kamu bisa menemukan kebahagiaan. Namun, kamu juga bisa bersedih di sini." Lina sontak menoleh mendengar suara yang tiba-tiba berasal dari sampingnya. Seorang wanita cantik duduk di sana. Penampilannya anggun dan berkelas. Kulitnya putih pucat dengan lipstik berwarna merah menghiasi bibirnya. Rambutnya panjang dan disanggul sederhana. Namun, hiasan dari mutiara membuatnya tampak berkelas. Kening Lina berkerut. Dia tidak mengenal siapa perempuan ini. Lina memang terkadang sulit menghafal nama orang, tapi dia yakin tidak pernah bertemu dengannya. Merasa tidak mengenalnya, Lina hanya diam dan tidak terlalu memedulikannya. Dia memalingkan wajah dan bersiap kembali kepada ayahnya. Sepertinya, dia sudah pergi cukup lama. "Aku hanya ingin menawarkan sesuatu padamu." Ucapan tiba-tiba perempuan itu membuat gerakan Lina berhenti. Gadis itu menoleh. "Maaf, apakah kita saling mengenal sebelumnya?" Perempuan anggun itu menatap Lina dengan dalam. Matanya indah, membuat siapapun mudah terpesona. Namun, jika diperhatikan lebih lama, ada rasa putus asa di sana yang ditekan dengan kuat. Alih-alih menjawab, perempuan itu berkata, "Aku mendengar apa yang dikatakan dokter kepadamu. Aku mengerti posisimu. Kamu yang hanya anak tunggal tentu menginginkan yang terbaik untuk ayahmu. Sama seperti aku, aku juga menginginkan yang terbaik untuk anakku dan keluargaku. Aku ingin membuat kesepakatan denganmu. Aku menginginkan seorang cucu. Pinjamkan rahimmu, aku akan memberikan kompensasi yang cukup. Tidak hanya cukup untuk biaya operasi ayahmu, tapi juga untuk membuatmu hidup makmur bersama kedua orang tuamu." Lina memperbaiki posisi duduknya. Dia menatap lurus ke dalam mata perempuan yang dia tidak tahu namanya itu. Jika tadi Lina masih berusaha sopan, kini tidak lagi. "Maksud nyonya apa? Apa nyonya mengira aku seorang wanita seperti itu? Maaf, anda salah sangka." Tanpa menunggu reaksi nyonya tersebut, Lina bangkit dengan wajah memerah. "Sepuluh milyar!" seru perempuan itu. Kaki Lina yang hendak melangkah sontak berhenti. "Aku akan memberimu sepuluh milyar di awal dan sepuluh milyar ketika cucuku lahir. Aku hanya ingin meminjam rahimmu. Kamu tidak perlu bertemu dengan putraku, begitu juga dengan sebaliknya. Semua bisa diatur oleh dokter." Tangan Lina bergetar. Sepuluh milyar. Total dua puluh milyar! Hatinya mulai goyah. Perempuan itu berdiri, menatap Lina yang perlahan ragu. "Semua kebutuhanmu selama kehamilan akan dipenuhi. Tugasmu hanya menjaga kandungan mu dengan baik. Setelah cucuku lahir, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kamu bisa hidup dengan nyaman bersama kedua orang tuamu. Kamu bahkan bisa mengundurkan diri dari pekerjaanmu yang melelahkan di kantor bank itu." Perempuan itu membuka tasnya, mengambil sebuah kartu nama dan memberikannya kepada Lina. "Aku hanya memberimu waktu dua hari untuk berpikir. Jika kamu tidak tertarik, aku akan mencari gadis lain yang lebih membutuhkan." Lina menatap kartu berwarna emas dengan tulisan merah di atasnya. l Sederet nomor dan sebuah nama, Rara. Tidak ada keterangan lain. Perasaan Lina menjadi tidak menentu. Dia, lalu mendongak untuk melihat punggung ramping itu yang semakin menjauh. Perempuan itu tahu kondisi ayahnya bahkan tempat dia bekerja. Lina merasa hawa dingin merayap di punggungnya. Untuk alasan yang dia tidak ketahui, dia merasa takut. Lina menghela nafas, lalu menyimpan kartu itu di dalam tasnya. Saat kembali ke dalam bangsal inap, dia terkejut melihat ranjang ayahnya yang ramai. Tidak hanya keluarga pasien yang berada di dalam bangsal yang sama, tapi ada juga dokter dan perawat. Wajahnya sontak memucat. Kakinya melangkah dengan cepat dan tubuhnya melemas melihat ayahnya yang kejang-kejang. Lina syok hingga tidak menyadari jika dokter telah berdiri di depannya. "Kondisi ayahmu tiba-tiba turun. Kita harus secepatnya mengambil tindakan. Untuk sementara, ayahmu akan kami pindahkan di bangsal khusus. Biaya operasi memang besar, tapi keselamatan ayahmu sangat penting." Lina merasa matanya memanas. Dan dalam sekejap, air matanya turun tanpa permisi. Pipi dan bajunya basah dengan cepat. Dia hanya bisa menatap ayahnya yang didorong keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN