Biarpun Ayu merengek minta sarapan bersama di luar, tapi aku tak mempedulikannya. Rasaku padanya yang sempat menggebu, hilang begitu saja setelah mengetahui dia ada main dengan Aldi. Ayu kuantar langsung ke kantornya. Setelahnya, aku melesat menuju kantor.
Di kantor, aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Bayangan pertengkaran malam itu selalu hadir memenuhi kepala. Hati ini berdenyut sakit setiap kali ingat dengan perlakuan Mama terhadap Karin. Lebih sakit lagi saat aku teringat telah menamparnya untuk pertama kali.
"Aaargh!" Tanpa sadar aku menggebrak meja hingga membuat karyawan lain menoleh dan menatap heran padaku. "Maaf," ucapku dengan senyum terpaksa.
Saat jam istirahat, terpaksa aku makan di kantin meskipun tidak begitu bernafsu. Kehilangan wanita yang dicintai bukan berarti jalan hidupku juga harus berhenti, bukan? Apalagi kehilangannya karena dia berkhianat.
Aku melirik sekilas saat melihat Anthony duduk di depanku begitu saja.
Kenapa dia harus duduk di sini? Seperti tidak ada bangku kosong lain saja.
"Kenapa tanganmu?"
"Bukan urusanmu," sahutku dingin tanpa menoleh.
"Hubunganmu dengan Karin baik-baik saja, 'kan?" Pertanyaannya membuatku yang hendak menyuapkan nasi jadi batal. Dengan kasar kuletakkan sendok hingga menghasilkan bunyi dentingnya yang kencang.
"Apa urusanmu? Kenapa kamu selalu mau tahu urursan rumah tanggaku, hm?" geramku sembari menahan emosi.
Anthony tersenyum miring, lalu dengan santainya menyuapkan makanan. Dengan perasaan kesal, aku kembali melanjutkan makan dalam diam. Bukannya minta maaf atas kesalahan waktu itu, dia malah menambah rasa kesalku padanya.
"Semalam saat pulang mengantar teman, aku tidak sengaja melihat istrimu masuk ke panti."
Gerakan tanganku sempat kembali terhenti, tapi tidak lama. Detik berikutnya, aku kembali menyuap dan mencoba tak peduli dengan apa pun yang dikatakannya.
Tentu saja Karin pergi ke panti. Ke mana lagi dia bisa pergi selain ke sana?
"Aku bicara padamu, Malik. Apa kalian bertengkar? Tidak mungkin menjelang tengah malam dia datang ke sana sendirian," ucapnya penuh penekanan, menuntut sebuah jawaban.
Dengan kesal aku berdiri dan menggebrak meja hingga karyawan lain yang tengah makan ikut menoleh.
"Berhenti mencampuri hubunganku dengan Karin! Apa pun yang terjadi dengan kami, itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu! Kamu dengar itu, hm?" desisku penuh penekanan dengan tatapan tajam.
"Kasihan sekali," cibirku dengan senyuman mengejek. "Move on, Anthony. Berhenti mengharapkan Karin menjadi milikmu," ucapku dengan senyuman mengejek, lalu pergi dari hadapannya begitu saja.
"Aku tidak akan tinggal diam kalau kamu menyakiti dia lagi, Malik! Akan kubuat perhitungan denganmu kalau sampai itu terjadi! Kamu dengar itu?"
Tak kugubris ocehan tak bermutunya itu. Aku pergi meninggalkannya dengan emosi meletup-letup di dalam d**a.
Memangnya dia bisa berbuat apa padaku? Tidak tahu malu! Masih saja mengharapkan Karin. Padahal, di luar sana banyak wanita cantik lainnya. Belum tahu saja dia aslinya Karin seperti apa. Aku tidak yakin dia akan terus membelanya seperti ini jika tahu apa yang terjadi.
Aku pergi ke toilet untuk membasuh muka demi menghilangkan amarah yang terpancing akibat ulah Anthony. Andai saja bukan di kantor, pasti aku sudah menghajarnya hingga babak belur.
???
Sepulang kerja, kupacu mobil dengan kecepatan sedang ke arah panti. Meskipun kecewa dan membencinya, tapi aku tetap ingin memastikan dia benar-benar ada di sana dan baik-baik saja. Kuparkirkan mobil di bahu jalan, lalu memandangi panti yang ada di seberang sana, tempat di mana Karin dibesarkan tanpa pernah tahu sosok orangtuanya.
Cukup lama aku berdiam diri di mobil. Meski rasa benci ini begitu besar, tetap saja jantungku berdebar-debar menunggu sosok Karin keluar dari panti. Sayang, sudah hampir satu jam lebih berada di sini, sosok yang kutunggu tak kunjung menampakan batang hidungnya.
"s**t!" Aku menggebrak setir dengan kesal.
Kenapa susah sekali untuk bersikap tak acuh setelah pengkhianatan yang dilakukannya?
"Sadar, Malik, sadar!" Aku memukul-mukul kepala sendiri.
Aku sudah mentalak Karin. Meskipun cinta ini masih begitu besar, tapi rasa benci dan kecewa lebih dominan menguasai. Aku tidak sudi kembali dengan wanita munafik sepertinya. Berpura-pura bersikap sok suci, kenyataannya dia tak lebih dari w************n di luar sana.
Aku menginjak pedal gas, lalu melajukan mobil dengan cepat menuju rumah. Ini terakhir kalinya aku peduli padamu Karin. Secepatnya, aku akan mengurus proses perceraian kita.
???
Setibanya di rumah, Ayu dan kedua orangtuaku tengah bersiap makan malam.
"Mas, kamu dari mana saja?" Ayu berjalan mendekat. "Kenapa baru pulang, Mas? Tidak menjemputku di kantor lagi," sungutnya sembari menyejajari langkahku yang lebar. "Mas! Aku sedang bicara padamu, Mas."
"Bisa diam tidak?" sentakku dengan melotot tajam.
"Malik! Berhenti uring-uringan terus seperti itu!" tegur Mama dengan suara lantang. "Lupakan anak buangan itu, Malik! Fokuskan saja perhatianmu pada Ayu!"
"Setop memanggilnya anak buangan, Ma!" tukasku dengan berapi-api. "Tidak ada satu pun anak yang mau mengalami nasib sepertinya termasuk Karin sendiri!" tegasku dengan d**a kembang kempis.
Hatiku berdenyut sakit mendengar Mama selalu memanggilnya seperti itu. Biarpun hubunganku dengannya telah berakhir, tapi bukan berarti Mama bisa bebas memakinya terus-terusan.
"Oh, semakin berani melawan mama saja kamu sekarang, ya? Mau mama—"
"Sumpahi, 'kan? Silakan, Ma! Silakan sumpahi aku mati sekalian! Aku sudah lelah dengan keegoisan Mama selama ini!"
"Malik!" bentak Mama sembari memegangi dadanya.
Aku berlalu pergi tanpa menggubris teriakannya lagi.
"Sudah, Ma. Nanti darah tingginya kumat lagi. Biarkan Malik menenangkan diri dan menyembuhkan lukanya dulu," ujar Papa yang masih bisa kudengar dengan jelas.
"Mas!" Ayu mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku. "Maaf aku sudah membuat Mas marah. Aku janji tidak akan cerewet lagi," lirihnya dengan tatapan mengiba.
Aku mengatupkan rahang dengan keras. Berusaha menahan diri agar tak memaki atau melabraknya saat ini juga.
"Bagus kalau kamu sadar. Sekarang, jangan menggangguku! Aku perlu waktu untuk menenangkan diri," tegasku dingin, kemudian kembali melanjutkan langkah.
"Tapi kita makan malam dulu, ya, Mas. Temani aku makan," rengeknya sembari mengejar kembali langkahku.
"Apa kamu tidak mendengar kata-kataku barusan? Tinggalkan–aku–sendiri! Paham?" desisku, lalu melangkah cepat menuju kamarku bersama Karin dulu.
Aku melempar tas ke sofa, lalu masuk ke kamar mandi setelah terlebih dahulu mengambil pakaian ganti. Tak butuh waktu lama, beberapa menit berikutnya aku sudah selesai membersihkan diri.
Aku merangkak naik ke ranjang sembari mencoba menghubungi Marco.
"Halo?" sapa Marco di seberang telepon.
"Bagaimana, Mar? Sudah ada informasi yang kamu dapatkan tentang hubungan keduanya?"
"Sabar, Bro. Baru juga dimulai," sahutnya santai.
"Ayolah! Apa tidak bisa dipercepat? Aku sudah tidak sabar ingin membuka kedoknya."
"Ok, ok! Beri aku waktu satu hari lagi. Kupastikan besok malam semua data tentangnya akan terkumpul. Bagaimana?"
"Baiklah. Aku mengandalkanmu, Mar. Jangan kecewakan aku!"
"Beres!" sahutnya sebelum sambungan kuputus.
Aku membaringkan tubuh dan berniat istirahat. Namun, pandangan mata ini justru tertuju pada foto pernikahanku dan Karin yang masih terpajang di dinding di atas kepala ranjang.
Dengan terpaksa aku kembali bangun untuk melepaskan foto tersebut. Melihatnya hanya membuat hati ini semakin sakit dan membuatku semakin sulit melupakan segala tentangnya.
Hatiku kembali berdenyut nyeri melihat foto pernikahan besar yang ada di tangan. Dengan cepat aku melangkah menuju lemari, lalu menyembunyikan foto itu di sampingnya.
Setelahnya, aku mengambil koper kecil dari atas lemari, kemudian memasukkan semua foto-foto dari album pernikahan kami yang masih tersisa. Tak lupa juga parfum dan make-up miliknya yang tidak dibawa sama sekali.
Aku tidak mau ada satu pun barang yang akan mengingatkanku terhadapnya. Tidak mau!
???
"Mas ... bangun, Mas."
Samar-samar aku mendengar seperti ada suara Karin yang memanggil-manggil. Mustahil. Tidak mungkin Karin ada di kamar ini. Dia sudah pergi, bukan?
"Mas ... buka matamu, Mas."
Aku membuka mata dan langsung memposisikan diri duduk. Menatap ke kiri-kanan dengan bingung saat menyadari aku bukan sedang berada di kamar, melainkan tengah berada di tengah-tengah padang rumput berwarna ungu yang sangat cantik. Jutaan tanaman bunga Verbena tumbuh subur hingga menutupi pandangan.
Dengan cepat aku berdiri demi meyakinkan aku berada di mana. Sayangnya, aku tetap tidak tahu ini di mana. Tanaman bunga Verbena ini tumbuh tinggi sebatas kepala.
"Mas ..."
Seketika aku memutar balik badan ke belakang saat mendengar suara lembut itu memanggilku kembali.
"Karin ...," gumamku pelan. Dia berdiri di sana, di jalan setapak di mana aku juga tengah berdiri.
"Kemarilah, Mas!" Karin melambaikan tangan sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu berhasil membuat hatiku bergetar.
Aku seperti terhipnotis. Tanpa pikir panjang langsung melangkah perlahan mendekatinya.
"Kamu ... masih di sini?" tanyaku saat jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal.
Karin mengangguk perlahan masih dengan senyumannya. "Aku akan selalu berada di sini, Mas. Di hatimu." Dia meletakkan telunjuknya tepat di d**a kiriku.
Tiba-tiba saja buliran-buliran kristal menetes dari kedua mataku.
"Kenapa, Karin? Kenapa kamu tega mengkhianatiku?" lirihku dengan desir perih di hati.
Karin menggeleng. "Aku tidak pernah sedikit pun mengkhianatimu, Mas. Tidak pernah. Sampai detik ini, hanya kamu satu-satunya pemilik hatiku."
"Tapi malam itu—"
"Ssstt." Karin menempelkan telunjuknya di bibirku. "Jangan bicara lagi! Ikutlah denganku, Mas." Dengan senyuman lembutnya, Karin langsung menuntunku pergi.
Embusan angin membuat ujung khimar dan ujung gamisnya melambai-lambai indah. Aku hanya diam dan terus mengikutinya ke mana pun dia membawaku. Langkah kami terhenti saat berhasil keluar dari kurungan tanaman bunga Verbena. Sekarang, kami berdua berada di tengah padang rumput hijau.
Aku menoleh ke belakang dan langsung terkejut saat mendapati padang rumput yang indah tadi sudah berubah kecokelatan. Di mana semua bunga Verbena tersebut sudah meranggas.
"Kenapa bisa begini?" gumamku tak percaya, lalu kembali memandang pada Karin dengan tatapan bingung.
"Tanaman bunga itu seperti hubungan kita sekarang, Mas. Dulu, cinta kita begitu indah dan tumbuh subur. Tapi sekarang ... cintamu perlahan mengering dan akhirnya hilang."
"Karin ...," gumamku dengan suara bergetar.
"Jangan menangis, Mas!" Dengan lembutnya dia menyeka air mata dari pipiku. "Jangan menyalahkan suratan takdir yang sudah tertulis! Apa pun yang terjadi, tetaplah tersenyum dan raih bahagiamu tanpa kehadiranku."
Aku menangis sampai bahuku berguncang hebat. Rasanya sakit sekali sampai d**a ini terasa sesak. Seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit d**a.
"Aku selalu mencintaimu, Mas. Tolong ... percayalah kepadaku," ucapnya dengan suara bergetar. Karin tersenyum, tapi air mata menetes deras membasahi pipinya. Senyum itu pun tak mampu menutupi wajah pucatnya.
"Hanya waktu yang mampu mengerti betapa berat perpisahan ini, Mas. Akan tetapi, tak selamanya cinta harus selalu bersama dan saling memiliki. Berjanjilah padaku, Mas. Mas tidak akan pernah melupakan keberadaanku. Melupakan aku pernah bertahta di hatimu dan menjadi bagian dari cerita hidupmu," lirihnya sembari berjalan mundur perlahan.
"Karin ...." Aku hendak maju dan menggapai tangannya, tapi kedua kaki ini seperti terpaku di tempat dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
"Maafkan aku yang harus memilih pergi dan menyerah, Mas. Aku tidak bisa lagi bertahan untuk terus berada di sisimu ketika kamu tidak menginginkan itu. Kupikir cintamu kuat, tapi ternyata hatimu cepat berubah. Aku bukan lagi satu-satunya wanita yang kamu cintai."
"Karin ... berhenti, Karin! Maafkan aku," lirihku frustasi karena tidak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Hanya bisa terdiam pasrah menatap dirinya yang menangis sambil terus berjalan mundur.
"Kisah kita telah usai, Mas. Biarlah semuanya menjadi kenangan, tapi tolong ... jangan pernah lupa kalau aku pernah ada di sisimu! Jika Mas merindukanku ... ingatlah bahwa aku selalu berada di sana. Di hatimu ...."
"Karin, kamu mau ke mana? Maafkan aku, Karin. Kembalilah kemari," mohonku lirih, tapi dia tetap berjalan mundur dengan air matanya.
"Mamaaa!"
Aku menoleh. Seorang batita laki-laki berlari dengan lucunya menghampiri Karin. Karin tersenyum, lalu mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh batita itu dengan senyuman lucu.
"Karin ...," gumamku menatapnya dan batita itu bergantian.
"Selamat tinggal, Mas!" Karin tersenyum, lalu berbalik pergi. Berjalan perlahan meninggalkanku sembari menuntun batita mungil yang melompat-lompat riang bersamanya.
"Karin! Berhenti, Karin! Jangan tinggalkan aku! Maafkan aku, Karin. Maafkan aku ...." Air mata ini berderai tiada henti tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku panik saat melihat sosok keduanya semakin samar dari pandangan dan akhirnya hilang tergerus angin.
"Kariin!"
★★★