Di Antara Dua Pilihan
- Pesan tak Terjawab
Meski terkejut, Marisa berusaha tetap tenang mengendalikan perasaan. Kemudian Mbak Siti masuk ke dalam. Sosok gadis bernama Hafsah menjelma dalam benaknya. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah bisa ditebak dia perempuan seperti apa. Cantik, terpelajar, dan salehah tentunya.
Marisa memainkan jemarinya. Bertaut satu sama lain, menunjukkan keresahannya. Dia tidak boleh kecewa, bukankah antara dirinya dan Aksara tidak memiliki hubungan apa-apa. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Sudah lama datang?" Pertanyaan seorang wanita yang memakai jilbab lebar itu mengejutkan Marisa.
Bu Arum muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang dalam. Wanita itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Marisa yang kemudian mencium punggung tangannya.
"Saya belum lama sampai, Bu," jawab Marisa sopan. Lantas kembali duduk setelah Bu Arum juga duduk. Dia merasa canggung saat mamanya Aksara memperhatikannya.
"Maaf, nunggu lama ya. Aku salat zhuhur tadi." Aksara muncul dan meminta maaf.
"Ya, nggak apa-apa," jawab Marisa.
"Kalau kamu mau salat. Ayo ibu antarkan. Keburu habis waktu zhuhurnya."
"Maaf, saya lagi berhalangan, Bu."
Bu Arum mengangguk paham. Kemudian bertanya apa sudah lama kenal dengan Aksara. Di mana bekerja, dulu kuliah di mana? Berapa bersaudara, juga tentang ibunya yang menerima pemesanan kue. Tak lupa memuji kue-kue buatan ibunya yang enak.
Setelah mendengar Mbak Siti bicara tadi, Marisa sangat berhati-hati menjawab pertanyaan Bu Arum. Namun Marisa bicara apa adanya, tidak menutupi keadaan kehidupan keluarganya.
"Ayo, kita makan siang dulu!" ajak Bu Arum sambil berdiri dan melangkah lebih dulu.
Aksara menatapnya. Marisa kemudian berdiri. Demi menghormati ajakan tuan rumah, Marisa tidak menolak meski perutnya sudah kenyang.
"Nggak apa-apa ya makan lagi. Dikit saja," bisik Aksara. Marisa mengangguk. "Ya."
Mereka bertiga duduk di meja makan. Ada opor ayam, sambal cumi, tempe tahu goreng, dan sayur bening.
"Jangan sungkan, ayo makan yang banyak. Mbak Siti tadi yang masak. Sebab sejak tadi pagi ibu di rumah tetangga sebelah yang sakit keras." Bu Arum tidak sungkan bercerita. Beliau sangat menghormati tamunya. Gadis yang diceritakan Aksara beberapa hari yang lalu. Gadis yang dibawa ke rumah setelah putus dengan kekasihnya empat tahun yang lalu.
Andai saja Pak Abdul tidak ada rencana menjodohkan putrinya dengan Aksara, Bu Arum tidak perlu terlalu lama berpikir. Di matanya, Marisa gadis yang baik dan jujur. Dia gadis yang tidak malu dan menutupi kondisi keluarganya yang kekurangan. Namun pertemuan pertama tentunya tidak ada pembicaraan serius selain ingin mengenal siapa gadis yang disukai putranya.
Dalam hati Marisa juga heran, kalau Hafsah adalah calon tunangan Aksara, kenapa selama mereka bicara baik Aksara atau mamanya tidak menceritakan tentang Hafsah?
Ketika tengah asyik berbincang setelah makan, mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu samping yang terhubung langsung dengan ruang makan.
Seorang wanita setengah baya berjilbab hitam mengabari bahwa tetangga mereka yang sakit barusan meninggal.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun." Serempak mereka mengucapkan kalimat itu.
Bu Arum langsung berdiri dan segera melihat Marisa yang membawa piring kotor ke dapur dan langsung mencucinya di kitchen sink.
"Apa gadis itu keponakannya Bu Arum?" tanya wanita itu dengan suara berbisik pada Mbak Siti.
"Bukan. Dia temannya Mas Aksara," jawab Mbak Siti tak kalah lirih. Namun Marisa masih bisa mendengarnya
"Teman apa pacar?"
"Teman."
"Oh, kupikir pacar."
"Bukan."
"Masa iya gadis sholehah seperti Mbak Hafsah harus diganti dengan gadis yang nggak ngerti menutup aurat."
"Ssttt!" Mbak Siti memberi isyarat telunjuk tangannya di depan mulut serta mengajak wanita itu menunggu Bu Arum di luar.
Namun percuma saja, Marisa telah mendengar semuanya. Kini hatinya kian porak poranda. Dipergunjingkan di depan matanya. Andai tak malu, Marisa pasti sudah menangis. Tapi untuk apa menangis, bukankah dia sudah pernah mengalami yang lebih dari hari ini. Putus dari Dimas dan parahnya lagi ia seolah hendak dibeli oleh bosnya sendiri. Daniel pria beristri, uang yang di transfer sebesar 50 juta dan ingin ditambah lagi itu apa namanya kalau tidak hendak membelinya.
Setelah mengelap tangannya, gadis itu melangkah ke teras samping. Melihat koleksi tanaman bunga milik Bu Arum.
"Marisa, maaf ibu nggak bisa nemenin ngobrol. Ibu mau takziah ke tetangga. Rumahnya hanya berjarak satu rumah dari sini," pamit Bu Arum pada Marisa.
Gadis itu mengangguk. "Monggo, Bu."
Bu Arum tersenyum kemudian berbalik dan melangkah pergi. Sebenarnya ini kesempatan untuk mengenal Marisa lebih dalam, tapi tetangga sekaligus teman pengajiannya meninggal dunia dan ia harus datang untuk memberi penghormatan terakhir kalinya.
Mbak Siti menghampiri Marisa. "Ayo, masuk ke dalam, Mbak!" ajak wanita itu. Marisa mengikuti.
"Mbak Siti," panggil Marisa pelan dan terkesan hati-hati. Saat mereka sudah ada di ruang makan.
"Ya."
"Kapan Mas Aksara mau tunangan?"
"Mungkin habis lebaran. Sebab bulan kemarin Masnya Mbak Hafsah juga baru nikah."
"O."
"Apa Mas Aksa nggak cerita sama, Mbak?"
Marisa menggeleng.
"Mbak Hafsah ini putri bungsunya Pak Kyai Haji Abdul Qodir. Anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Mbak Hafsah guru dan ngajar di Mts." Dengan polosnya Mbak Siti bercerita.
Pembicaraan mereka terhenti karena Aksara masuk dari pintu samping. Marisa sendiri harus segera pulang. Aksara pasti juga akan takziah.
"Mas, sebaiknya saya pulang saja. Mas Aksara, mau takziah kan?"
Aksara sebenarnya keberatan Marisa pamitan, ini kesempatan sang mama mengenal Marisa. Tapi jika menunggu prosesi pemakaman hingga selesai pasti akan sampai sore. Biasanya musim kemarau begini, lama untuk penggalian tanahnya.
"Maaf, ya. Kita belum sempat ngobrol lama."
"Nggak apa-apa, Mas."
"Baiklah, aku ngambil kunci mobil dulu." Aksara hendak melangkah ke ruang keluarga, tapi Marisa menahannya. "Nggak perlu di antar. Saya bisa pulang naik taksi."
"Jangan. Aku anterin kamu." Aksara melangkah lebar mengambil kunci. Marisa meraih tasnya di atas meja kemudian mengikuti Aksara menuju garasi setelah berpamitan pada Mbak Siti.
Di jalan depan ada beberapa orang yang lewat hendak takziah memandang heran pada mereka.
Sekarang mobil telah keluar halaman dan melaju di jalan raya. Marisa menjadi canggung dengan Aksara saat ingat perkataan dua perempuan tadi. Ketika hendak bertanya, tak enak sekaligus malu. Mereka berteman belum lama. Mungkin sekarang dia harus lebih berhati-hati dan menjaga jarak. Jangan sampai merusak hubungan Aksara dengan Hafsah.
Apa Aksara ini seperti Daniel si bosnya? Udah punya pasangan masih juga butuh gebetan lain. Tapi kenapa harus Marisa lagi. Apa tampangnya ini seperti w*************a, gampangan, dan murahan? Perasaan Marisa teriris pedih.
"Besok aku jemput kamu pulang kantor. Kamu pulang jam empat, kan?" Aksara membuka suara setelah beberapa saat saling diam.
"Nggak usah, Mas. Nanti ngrepotin aja. Tempat kerja Mas kan di Gresik."
"Nggak apa-apa. Tapi ya memang kamu harus nunggu sampai aku tiba di kantormu."
Marisa menggeleng. "Nggak usah, makasih." Tidak perlu bertanya soal tunangan, lebih baik dirinya yang tahu diri dan membatasi interaksi dengan Aksara. Jika ditanya belum tentu mengaku, parahnya lagi dikira nanti dirinya yang ke GR-an dengan pertemanan mereka. Karena pernah lelah dan terluka membuat Marisa harus menjaga diri.