Elizabeth Parker

1900 Kata
   Namaku Ethan Parker, aku seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang tinggal di kota kecil Delaware, Madison Amerika. Aku seorang mahasiswa tahun ketiga dan mengambil jurusan ilmuan, aku begitu menyukai hal berbau dengan sejarah maupun lab untuk menganalisis hewan purba atau hal-hal masa lampau yang menyenangkan.    Oh ya, aku hanya tinggal bertiga bersama adik perempuan dan ayahku di kota ini, sejak kematian ibuku sekitar dua tahun yang lalu ayah menjadi seorang pemabuk kala malam menjelang. Kami semua memang berduka tapi aku pikir ayah yang masih belum menerima kepergian ibu.    Ayah sangat terpukul dengan kematian ibuku jadi beliau menghabiskan banyak waktunya untuk minum dan mendengarkan musik saat mereka masih bersama. Aku tidak bisa banyak membantu karena beliau terlihat begitu mengenaskan.    Aku sebagai anak pertama bergantian mengurus keperluan rumah tapi adikku Elizabeth Parker selalu tersenyum seakan tidak ada kejadian apapun di rumah kami. Adikku berusia sepuluh tahun, dia adalah anak gadis yang sangat ceria. Dia jarang menunjukkan emosinya padaku maupun ibu ketika beliau masih hidup, bagiku dia hanya anak-anak normal saja.    Setiap pagi aku membantu Lizzy untuk menyiapkan sarapan sebelum memulai aktivitas, “Hei, brother” panggilnya sebelum memasukkan roti pada panggangan.    “Ya?”    Adikku Lizzy terlihat memainkan jarinya, “Apa yang kau lakukan ketika berbuat salah pada temanmu?”    Aku sejenak berpikir, aku tidak akan berpikiran kalau Lizzy akan menyakiti temannya di sekolah, “Well let see, tergantung pada keadaannya Liz”    Lizzy memusatkan mata bulatnya padaku, “Bisa brother jelaskan padaku dengan bahasa yang lebih simpel, aku tak akan tahan kalau brother menjelaskan dengan bahasa anak kuliahan” pintanya polos.    Aku menghentikan aktivitasku menggoreng sosis dan menatapnya, “Hemm, kalau temanku yang memulai pertikaian dulu maka aku akan diam dan menunggu permintaan maaf darinya. Tapi kalau aku yang menyakitinya, maka akulah yang harus meminta maaf, well semacam itulah singkatnya”    Lizzy mengerutkan alisnya perlahan, “Jadi aku harus bagaimana? Apa aku harus diam atau harus meminta maaf?” gumamnya pelan.    Jujur saja baru kali ini aku melihat adikku bingung mengambil keputusan yang akan dia jalani, biasanya Lizzy akan cepat mengambil keputusan dengan bijak. Hal ini membuatku sedikit penasaran mengingat beberapa hari yang lalu Lizzy keluar dari sekolah dengan wajah tertunduk.    “Ada yang kau pikirkan, Liz?” tanyaku membuyarkan lamunannya di pagi hari.    “Emm, tidak brother. Aku hanya bingung, itu saja”    “Apa kau di bulli temanmu di sekolah?”    “Tidak, aku berteman baik dengan semua orang di kelasku”    “Kalau begitu apa ada anak lain yang sengaja menggodamu di sekitar sini?” jujur saja aku khawatir padanya, sejak kepergian Ibu, Lizzy tak pernah sekalipun sedih di depanku maupun ayah.    “Brother, tidak ada hal semacam itu terjadi padaku, hahaha” ucapnya, ketika tertawa adikku akan menutup mata dengan mulut terbuka lebar.    “Syukurlah tak ada yang terjadi padamu, akan sangat lucu kalau kau kalah dengan teman-teman yang sudah membulimu. Kau pemegang sabuk hitam karate, kau bisa menjauhkan mereka dengan mudah bukan hahaha”    Lizzy kembali tersenyum lagi, kini auranya lebih ceria dari pada beberapa saat yang lalu. Kalau boleh lebih jujur lagi, saat ini aku lebih suka mendengarkan berita baik dalam hidupku, aku kurang suka bila ada orang yang memberiku cerita sedih terutama Lizzy.    “Apa kau keberatan kalau aku menjemputmu sepulang sekolah nanti?”    Lizzy mendongak dan menggeleng cepat, “No, no, tidak perlu brother. Aku bisa pulang naik bus sekolah saja, brother akan memutar arah dari kampus ke sekolahku nanti” tolaknya mentah-mentah.    “Hei, aku tak masalah jika menjemputmu ke sekolah walaupun jaraknya ribuan kilo meter dari kampusku”    “Tidak brother, aku akan pulang bersama temanku saja nanti. Terry selalu menemaniku juga, aku dan Terry bersahabat baik dan kami akan pulang bersama-sama”    “Lizzy,-“    “Hei, biarkan dia bergaul dengan temannya di sekolah” tiba-tiba ayah muncul dan duduk untuk bergabung sarapan bersama kami berdua.    “Kau tak bisa memaksanya pulang denganmu setiap saat, dia butuh bersosialisasi” lanjut ayah, kehadirannya membungkam mulut kami berdua.    Sejak ibu tiada, aku jarang berbagi cerita dengan ayah, walaupun kami masih satu atap tapi aku lebih suka menyendiri menghidari ayahku yang pemabuk. Sikapnya yang berubah membuatku semakin membencinya, sebagai seorang aya seharusnya dia menyediaka bahu untuk kami berdua yang kehilangan ibu tapi ayah tak pernah melakukannya bahkan sengaja mengacuhkan kami.    Makan pagi kami selalu berakhir dalam hening seperti ini, ayah akan makan sangat lahap tanpa mempedulikan kami. Dia hanya makan tanpa menanyakan hal menarik apa yang terjadi selama aku dan Lizzy masih di sekelilingnya.    Dalam perjalanan mengantar Lizzy ke sekolah, aku diam-diam memperhatikan wajahnya yang terlihat pucat. Bila di perhatikan secara seksama, aku yakin betul Lizzy tengah menahan sesuatu. Tak yakin dengan instingku tapi aku tetap yakin dia ketakutan.    “Hei, apa kau tahu hari apa besok?”    Lizzy menggeleng tanpa menjawab, “Besok adalah hari istimewa di hidupmu, apa kau lupa?”    Lizzy seketika tersenyum melihatku, “Apa kau mau sesuatu, katakan saja. Aku akan membelikannya untukmu”    Lizzy menggeleng pelan, matanya menatap lurus pada bangunan sekolah yang mulai terlihat di depan kami. Sudah ku pastikan ada yang tengah di sembunyikan oleh Lizzy diam-diam, anak ceria sepertinya memang menyimpan banyak sekali rahasia yang tek pernah di ketahui olehku maupun ayah.    “Hei, kita akan pergi ke game zone dan makan pizza. Kamu juga boleh memesan kentang goreng dan salad yang kau sukai, aku akan merahasiakan hal ini dari ayah. Jangan khawatir, aku akan membuat hari ulang tahunmu jadi lebih istimewa dari tahun lalu”    Lizzy kembali tenang saat melihat wajahku, walaupun aku masih menyetir tapi aku bisa melihat perubahan ekspresi adikku dalam sekejab. Lizzy akhirnya mengangguk dan setuju dengan penawaranku untuk pergi ke game zone besok.    Lizzy melihatku sebelum masuk ke dalam gedung sekolah, “Hei, aku punya waktu untuk menjemputmu. Apa kau tetap ingin pulang dengan temanmu?” tanyaku padanya.    Lizzy mengangguk, “Aku bisa pulang sendiri, brother. Jangan khawatir, aku bisa mengatasi ini” ucapnya ambigu, satu kalimat yang menancap erat di kepalaku yang tak bisa ku artikan dengan baik.    Lizzy melambaikan tangannya dan bergegas masuk ke dalam gedung sekolah, sudah di pastikan dia menyembunyikan hal yang tak biasa. Aku memutuskan untuk mengunjungi sekolahnya setelah jam kuliahku selesai.     Pada pukul tiga sore, aku bergegas mengemudikan mobil temanku Roger ke sekolah Lizzy. Sengaja aku meminjam mobil temanku agar Lizzy tidak curiga akan keberadaanku, aku harus memastikan sendiri dengan mata kepalaku kalau tidak ada hal fatal yang terjadi pada adikku, melihatnya ketakutan tadi pagi sudah membuyarkan konsentrasiku saat kelas berlangsung.    Tiga puluh menit telah berlalu, bel sekolah Lizzy berbunyi cukup keras hingga membuyarkan lamunanku. Suara anak-anak mulai terdengar keluar dari gedung sekolah, satu per satu anak naik ke mobil jemputan tapi ada pula yang pulang dengan bus sekolah.    Aku sedikit takut bila tak bisa mengejar Lizzy, ukuran tubuhnya yang kecil mudah sekali tertutup oleh anak-anak yang lebih tinggi lainnya. Tapi aku segera menepis pikiran bodoh itu saat aku melihat Lizzy tengah lari-larian kecil keluar gedung.    Dia sendirian, iya aku tak salah lihat Lizzy tengah sendirian berdiri sedikit jauh dari teman-temannya yang lain. Dia menunduk seakan menahan sesuatu, aku sedikit ingin tahu kenapa Lizzy tidak bergabung bersama anak-anak yang lain.    Salah seorang dari gadis yang berdiri disana menyenggol Lizzy dengan sengaja, tubuh adikku sedikit terpelanting tapi dia bisa menyeimbanginya dn kembali berdiri tegak. Melihat gadis itu sengaja melukai adikku, hatiku sangat panas dalam sesaat apalagi mendegar dia dan teman-teman berambut blonde lainnya tertawa terbahak-bahak saat melihat Lizzy terpelanting.    Satu lagi seorang anak laki-laki yang memiliki postur lebih besar dari pada anak seusianya mendekati Lizzy yang diam tak bersuara, anak laki-laki itu sengaja menumpahkan es krim yang ia jilat pada sepatu Lizzy.    Kurang ajar!    Anak-anak seumuran Lizzy sudah berani melakukan hal sekeji ini untuk membuli anak tak berdaya. Bahkan mereka masih bisa tertawa setelah melukai mental adikku, tawa mereka membuat hatiku makin panas. Jadi ini yang membuat Lizzy makin menutup diri dari ayah maupun aku, ketakutan di matanya jelas di tujukan pada anak-anak gila di sekitarnya.    Oh ya tadi pagi dia bilang temannya yang bernama Terry akan menemaninya, tapi dimana anak itu saat Lizzy tengah mengalami masa sulit seperti ini? Apa dia sekarang tidak ingin berteman dengan Lizzy karena dia di buli oleh anak lainnya, apa dia takut jadi sasaran kekerasan juga?    Sekian menit aku menatap adikku yang masih dalam keadaan di olok-olok oleh teman-temannya, tapi dia tidak menunjukkan wajah tertekan sama sekali. Lizzy terlihat lebih tenang dengan menggenggam sesuatu di tangannya, sorot matanya tetap menatap pada benda yang di tangan.    Satu per satu anak disana mulai memasuki bus, aku bisa melihat dengan jelas Lizzy masih berdiri disana saat anak-anak lainnya memasuki bus sekolah. Tiba saat Lizzy akan masuk ke dalam bus, seorang anak laki-laki mendorongnya hingga terjatuh.    Aku terhenyak dan keluar dari mobil Roger, aku tak tahan dengan perlakuan anak-anak disana pada adikku. Tapi lagi-lagi aku di kejutkan dengan wajah tenang Lizzy, walaupun di jahati sedemikina rupa tapi dia tetap menunjukkan senyumnya pada semua teman-temannya.    Langkahku terhenti saat Lizzy mulai memasuki bus sekolah yang mengantarnya pulang, tak ada satupun anak yang mau menemaninya bahkan supir bus pun hanya diam tak membantu sama sekali. Aku mengurungkan niatku untuk mengamuk disana, aku sadar betul bila aku melakukannya pasti Lizzy akan mengalami kesulitan lebih buruk lagi.    Oh Elizabeth, kesalahan apa yang kamu lakukan sampai semua anak memusuhimu seperti ini? Tidak mungkin, aku tahu kau punya hati malaikat dan senyum seindah matahari, aku yakin kalau mereka hanya iri pada wajah cantik dan kecerdasanmu menguasai banyak materi pelajaran.    Aku berusaha mengikuti bus sekolah Lizzy sampai mengantar semua anak pulang tak terkecuali Lizzy, dialah anak terakhir yang turun dari bus itu. Sejenak aku memperhatikan Lizzy berbicara empat mata dengan sopir bus wanita disana, dia ikut turun dari bus dan mengatakan sesuatu yang tentunya tak bisa ku dengar karena aku bersembunyi, lagi-lagi Lizzy menunduk pelan seakan menyembunyikan sesuatu besar yang hanya di pikul pada kedua pundak kecilnya. *****    “Hei, Lizzy. Kamu mau makan apa malam ini?” tanyaku saat melihat adikku serius belajar di kamarnya.    “Let see, bagaimana dengan kentang tumbuk dan ayam goreng?”    Aku mengernyitkan dahiku heran, “Kita sudah makan menu itu sejak dua hari berturut-turut, apa kau tidak bosan?”    Lizzy menggeleng dan mengukir senyumnya padaku, “ Tidak, ayah sangat suka makan menu itu jadi aku akan membuatnya malam ini. Ayah juga suka menambahkan mayonise pada brokoli dan wortel, brother mau kentangnya aku tumbuk atau di goreng?” adikku langsung berhenti belajar dan berlari menuju dapur dengan rambut cokelat terang mirip ibu yang terurai cantik.    Sudah ku duga adikku akan menyembunyikan semua hal yang terjadi padanya apapun itu, lihatlah senyumnya tetap mengembang sempurna di kedua sudut bibirnya. Hasil hidangan makan malam pun Lizzy hidangkan sedemikian rupa mirip dengan cara ibu memasak untuk kami.    “Waah, kamu mulai pandai memasak sekarang” pujiku.    “Ku rasa aku memasukkan banyak garam ke dalam saus, lihat aku tidak sepintar Ibu” katanya.    “That’s fine, lama-lama kamu akan menguasainya dengan baik” sedikit memberikan dorongan memang harus aku lakukan padanya.    Lizzy melirik jarum jam yang mengarah ke angka delapan terus menerus, aku tahu betul apa yang sedang di pikirkan adikku ini.    “Jangan khawatir, ayah akan pulang sebentar lagi. Kau tahu kan pekerjaan ayah sangat banyak di kantor, dia akan pulang dan makan semua hidanganmu nanti” ucapku menenangkan dia.    Aku bohong! Aku yakin ayah tidak akan pulang malam ini, dia akan pulang esok hari setelah pesta mabuk-mabukan bersama teman kantornya. Sekali lagi ayah akan membuat Lizzy kecewa karena tak menyentuh hidangan khusus untuknya! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN