Ajakan Tidur Bersama

1480 Kata
Sayup-sayup kudengar suara bude Ajeng memanggil namaku. Aku sangat lemas tidak bertenaga untuk sekedar membuka mata. Alhasil aku menggerakkan bibirku sedikit untuk mengeluarkan suara. “Laper banget ... Tuhan, apa gue mau mati sekarang, ya?” “Astaghfirullah.” Itu adalah suara bude Ajeng yang kedengaran kaget. “Nduk, kamu udah sadar?” Aku heran, kenapa bude Ajeng bertanya begitu padaku. Astaga, apa tadi aku pingsan? Aku tidak ingat sama sekali. “Emangnya tadi Ay pingsan, ya, Bude?” tanyaku belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Yang kuingat tadi aku masih di acara pernikahan dan semuanya berakhir gelap gulita. “Iya, Aysha, kamu pingsan. Sebentar, ya, Bude panggil ayah kamu.” Bude Ajeng pun pergi. Aku menghela napas panjang, kenapa bude Ajeng pergi. Padahal setidaknya berikan aku makanan dulu, agar aku tidak mati kelaparan. “Aysha laper, dia pingsan karena kelaparan lho, Zid.” “Aysha lapar, Mbakyu?” “Iya, kamu bawakan makanan ini.” Aku tersenyum mendengar bude ku berbicara pada ayah. Akhirnya, sebentar lagi aku bisa makan. Perlahan aku mulai mencium bau minyak kayu putih di dekat hidungku. Oh tidak, ini agak panas, apa bude menempelkan minyak itu tepat di kulitku, ya. “Aysha, maafin ayah ya, Nak. Kamu bangun sekarang, ini ada makanan. Kamu harus makan, kamu pingsan tadi bikin ayah panik,” kata ayah sambil menyuguhkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Aku tersenyum lebar. Walaupun masih lemas, aku segera mengambil sepiring makanan pemberian ayah. “Bismillah dulu.” Apa aku tidak salah lihat, itu di sebelah ayah, dia Reyhan, suamiku. Aku mengerjapkan mata berulang, sambil menggelengkan kepala. Mungkin saja aku salah lihat. “Em, ayah tinggal, ya. Biar Reyhan yang menemani kamu.” Ayah pergi begitu saja tanpa menunggu aku mengiakan. Saat itu, aku melihat Reyhan menatap ke arahku dengan sedikit terkejut. Pupil matanya melebar. Sesaat kemudian dia menunduk. Aku melihatnya mengalihkan pandangannya cepat. Situasi itu membuatku sangat kikuk. “Em....” “Udah bismillah nya?” tanya Reyhan kembali menatapku walau tidak fokus. Aku menggeleng. “Baca bismillah dan doa makan jangan lupa, supaya makanan yang masuk ke perut kamu bisa tercerna dengan baik dan memberikan kebaikan,” terang Reyhan. Aku kira Reyhan mau mengatakan kalau tidak berdoa, setan akan ikut makan. Tanpa sadar aku sering memberi makan setan. “Bismika allahumma ahya—” Reyhan menutup mulutku dengan ujung telunjuk. Dia mau apa, sih. Sekarang waktu seolah berhenti. Aku menatap matanya, dia pun menatap mataku lebih jelas. “Kamu salah, Aysha, itu doa mau tidur.” "A-Apa?" Aku benar-benar malu karena kebodohanku sendiri. Memang benar, aku adalah gadis yang tidak paham agama. Sampai lupa bagaimana bunyi doa sebelum makan. Padahal sewaktu kecil, bunda selalu mengajariku. Maklumlah, bunda meninggal sebelum aku menginjak remaja, jadi tidak ada yang mengawasiku. “Oh, udah berubah, ya,” cicitku sambil menyengir kuda. “Berubah apanya?” “Doanya,” jawabku singkat. Aku melihat Reyhan sama sekali tidak tersenyum. Kenapa dia sangat dingin, sih. “Aysha, doa tidak pernah berubah. Doa itu doa tidur. Kamu tidak tahu doa sebelum makan?” Tanpa sadar aku sudah menunda waktu makan ku. Bisa-bisa aku meninggal karena kelaparan. “Iya, lupa.” Reyhan terdiam, mungkin ia juga heran denganku. Wajahnya masih datar, maksudnya dia tidak tersenyum sama sekali. “Allahumma baarik lanaa fiimaa?” “Ah! Aku inget, Mas Rey!” decakku segera memutus ucapan Reyhan. Akhirnya aku ingat, ternyata itu toh doa makan. “Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar,” tutupku kemudian mengusap wajah dengan sumringah. “Selamat makan, Mas.” Reyhan mengangguk sambil mengusap kepalaku. Aku pun jadi menarik kembali sendok yang sudah hampir menyentuh mulut. Sekarang aku makin kikuk, karena Reyhan masih berada di dekatku. “Kenapa tidak lanjut makan?” “Ah, Mas Rey gak makan?” tawarku tidak enak jika makan sendirian. “Alhamdulillah, saya sudah makan dan sudah kenyang.” Memang hanya aku yang kelaparan sampai nyaris meninggal dunia. “Oh,” jawabku bingung mau berkata apa. “Kalau begitu, saya tinggal. Kamu makan, setelah itu kita salat asar berjamaah.” “Salat?” “Ya, Aysha, waktu asar sudah masuk.” “Em, iya.” Kuiyakan saja, yang jelas aku sangat lapar. Aku harus makan dulu sekarang. ** Singkat cerita, aku baru saja menyelesaikan salat isa berjamaah bersama dengan bude Ajeng dan ayah. Semua orang sudah pulang setelah pesta selesai. Untungnya, tidak ada pesta yang diadakan sampai malam, atau malah dilanjutkan sampai keesokan hari. Pernikahanku dengan Reyhan hanya cukup akad nikah dan makan bersama keluarga. Aku berjalan santai menuju ke kamarku. Ayah lantas menarikku. Sambil terkejut, aku menoleh menatap sengit ayahku. “Apa, sih, Yah? Aysha ngantuk, capek, pegel, mau tidur,” jelasku. “Ajak suamimu,” titah ayah. “Hah?” Bude Ajeng terkikik di belakang ayah. “Kamu udah nikah, Nduk. Masa suamimu ditinggal,” katanya sengaja menggodaku. Sialan sialan. Aku lupa aku sudah menikah. Tapi aku tidak mau tidur seranjang dengannya. “Yah, mas Rey tidur di kamar tamu aja, gimana?” komenku ringan. Kamar tamu juga lumayan, pikirku. Malah kamar tamu di rumahku di desain sangat nyaman, sudah dilengkapi kamar mandi dan juga televisi. “Apa kata kamu, Ay? Tidur di kamar tamu?” ujar Ayah bertanya dengan nada penekanan. “Ya, emang harusnya di mana?” Aku bukan tidak tahu bahwa suami istri seharusnya tidur bersama. Tapi mungkin saja Reyhan yang tidak nyaman jika tidur bersamaku. Apalagi aku juga belum siap, aku masih canggung. “Aysha, kamu gak boleh gitu. Masa suami kamu tidur di kamar tamu,” geleng bude Ajeng. Aku menghela napas berat. “Yah, lagian mas Rey masih zikir deh kayaknya,” ocehku. “Tunggu sampai mas mu selesai zikir, baru kamu boleh masuk ke kamar. Ajak mas mu, layani dia,” titah ayah. Layani apa maksud ayah. Aku mulai bertanya-tanya kembali. Bude Ajeng melambaikan tangan ke arahku, lalu berjalan menuju ke kamarnya sendiri. “Ya Allah, terus aku harus nungguin mas Rey gitu? Kaki aku udah pegel banget!” gumam ku sambil menggigit bibir. “Kamu kenapa berdiri di depan pintu?” Aku mendongak. Posturnya tubuhnya membuatku harus mengangkat wajah agak tinggi ketika menatapnya. “Mas Rey?” “Kamu tidak masuk kamar?” Aku sudah mau masuk, tapi ayah melarang, batinku menjawab. “Kenapa malah diam?” Reyhan hanya berdiri di depanku dan menatapku dengan wajah datarnya. Anehnya, padahal dia tidak menarik sudut bibirnya sedikit pun. Tidak ada wajah yang ramah di sana. Tapi tetap saja, Reyhan tampan. “Kata ayah aku harus nunggu Mas Rey,” jawabku apa adanya. “Nunggu saya?” “Iya, ajak mas tidur,” jawabku polos. Reyhan menutup mulutnya kaget. Ekspresinya yang kaget itu membuatku memundurkan badan. “Kenapa, Mas?” tanyaku gagap. “Kamu mau ajak saya tidur?” Aku mengangguk agak ragu. “Emang salah ya. Kita kan harus tidur, tadi—” “Aysha, saya mengerti.” Reyhan menganggukkan kepala. “Tapi maksud saya, apa kamu tidak lelah?” Tentu saja lelah, karena itu aku ingin tidur, jawab batinku lagi. “Sangat lelah. Tapi kita butuh kan, Mas?” “B-Butuh?” Sekarang kenapa jadi Reyhan yang gelagapan. Aku jadi bingung, dia sebenarnya kenapa. “Iya, kita ... butuh tidur," kataku memperjelas. Memangnya apa sih yang dipikirkan laki-laki itu, batinku. Barulah Reyhan tampak tenang. Dia menggaruk tengkuknya canggung. Jangan-jangan dia sedang gugup. Aku sedikit menahan senyum melihat pipinya memerah begitu. Lucu sekali, rupanya seorang Gus bisa juga malu-malu. “Oh, maksudmu hanya tidur biasa, ya?” ujar Reyhan bertanya padaku. “Memangnya ada tidur yang luar biasa, ya, Mas?” Aku jadi bodoh seketika. Jangan-jangan memang ada tidur yang luar biasa, pikirku. “T-tidak, kalau begitu kita tidur biasa saja,” kata Reyhan dan aku mengiyakan. Akhirnya aku masuk ke kamar sambil mempersilakan Reyhan untuk masuk juga. Aku syok begitu membuka pintu dan kamarku sudah berubah. Aku meneguk ludah melihat hiasan dengan banyak bunga dan juga kelopak mawar yang bertaburan di atas ranjang. “Ini kamu yang menghiasnya?” tanya Reyhan. “Bukan!” gelengku cepat. “Aku tidak suka kamarku begini. Maksudnya apa sih!” decakku kesal sendiri. Ini pasti bude Ajeng yang menghiasinya. Bude Ajeng memang begitu, segala hal dia garap. Menghias pengantin, mengurus katering, dan sekarang menata kamar pengantin juga. "My Baby JK!!" pekikku begitu tersadar akan kumpulan foto Jeon Jungkook yang kusimpan di dalam laci. Jangan-jangan bude Ajeng sudah mengambil itu semua. Inget, ya, Nduk. Meskipun JK sopo iku guantenge puol. Kamu tetap gak boleh nyimpen gambar dia di kamar. Bude akan buang semua foto dia kalau ketemu. Itu yang ku ingat dari perkataan bude Ajeng sewaktu mendadani ku. "JK itu siapa?" tanya Reyhan. Aku makin menggila karena lupa bahwa didepanku sekarang ada Reyhan. Dia menatapku keheranan, mungkin juga sedikit penasaran. "B-Bukan siapa-siapa," jawabku. Benar, JK bahkan tidak tahu aku hidup. Tapi dia segalanya bagiku, batinku. Aku segera membuka laci tempat aku menyimpan foto-foto JK. Benar-benar bersih. Bude Ajeng pasti sudah menyingkirkan itu dari kamarku hingga steril. "Sialan!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN