"Siapa, Pi?" terdengar suara wanita yang Diva yakini adalah Uly yang tak lain adalah menantu dari Abas Angkasa.
"Ini temen kamu, Mih. Aneh," sahut Dewa tanpa merasa bersalah pada Diva.
Wanita itu mengerucutkan bibir dan menggerutu dalam hati. 'Calon anak tiri kejam, sama saja seperti papimu.'
"Hallo, Div! Ya ampun kamu ke mana aja?" pekik wanita itu terdengar antusias.
Diva menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari tersenyum kecut. Jelas saja mereka jarang berjumpa karena sejak melahirkan Uly memutuskan untuk tidak bekerja lagi sebagai dosen. Sedangkan dari lingkup pertemanan mereka benar-benar berbeda, karena tidak mungkin wanita alim itu bermain di club malam seperti Diva. Baru sekali masuk club karena paksaan Diva saja ia sudah langsung harus menikah dengan berondong sexy itu.
"Aku ... aku sibuk kerja, hehe ...," sahut wanita itu cengengesan.
"Oh, ibu dosen yang baik. Nggak keluyuran ke club malam lagi 'kan?" tanya Uly menyelidik.
Tawa Diva terdengar dipaksakan dan hal itu tentu disadari oleh Uly. "Sesekali nggak apa-apa toh buang suntuk," ujarnya memberi pembelaan.
Uly menghela napas dan Diva bisa memastikan bahwa wanita di seberang sana itu sedang geleng-geleng kepala mengetahui tingkah Diva.
"Jadi, kamu telpon ada perlu apa?" tanya Uly akhirnya.
Tak seperti tadi yang mulutnya bisa begitu frontal mengeluarkan uneg-uneg di kepala, Kali ini Diva malah bingung seperti orang bodoh saat hendak mengutarakan maksudnya menelpon teman lamanya itu.
"Div ... masih di sana 'kan?" tegur Uly.
"Iya ... eh ... itu ... anu ...."
Belum sempat Diva mengutarakan maksudnya yang ingin meminta nomor ponsel Abas Angkasa, ia sudah dikejutkan dengan suara bariton yang ada di belakangnya.
"Sedang apa anda di sini?" tanya suara pria yang membuat Diva terkejut. Pria itu tak lain adalah salah satu org suruhan Abas yang meninggalkannya di hotel malam itu.
Tapi keterkejutan itu berganti dengan rasa lega karena melihat pria yang jelas sangat ditunggu-tunggu Diva kemunculannya ada di sana meski bukan dirinya yang tadi menyapa.
Ah, hati Diva yang sedang layu seolah disiram dengan air yang menyejukkan jiwa raganya.
Senyum cerah terbit di wajah wanita itu dan ia segera mematikan sambungan telepon setelah mengatakan selamat tinggal pada Uly.
"Sedang menunggu seseorang," ujar wanita itu dengan senyum manis di wajahnya.
Pria berjas navy yang tak lain adalah Abas Angkasa menghela napas panjang dan memberi kode pada rombongannya untuk kembali berjalan tanpa mempedulikan keberadaan Diva yang sudah menunggunya sejak tadi di sana.
Diva hendak memprotes, tapi tiba-tiba saja seseorang datang membisikkan sesuatu ke telinga Abas. Wanita dengan rok selutut dan tubuh tinggi semampai itu mampu membuat Diva menyipitkan mata tajam.
"Katakan acara segera dimulai," ujar Abas membuat wanita yang memegang tab di tangannya itu mengangguk dan mundur
tanpa kata.
Mereka kembali berjalan menuju pintu masuk dan Diva jelas saja tidak ingin bertingkah bodoh dengan membiarkan dirinya tertinggal dari rombongan dan tidak bisa masuk seperti tadi.
Wanita itu mengekor di belakang Abas dengan tidak tahu malu tanpa menggubris pandangan aneh yang dilayangkan oleh orang-orang di sekitarnya.
"Aku sudah menunggumu sejak tadi," bisik Diva di telinga Abas yang sialnya hanya diam membisu bahkan tak memelankan sedikitpun langkah kakinya.
"Ngomong-ngomong siapa wanita ber-blazer merah itu?" tanyanya lagi masih dengan suara berbisik.
"Jika hanya ingin membuat keributan, lebih baik kamu keluar," sahut Abas yang jelas saja bisa didengar oleh beberapa orang yang ada di sekitar mereka.
Sumpah mati Diva merasa dipermalukan oleh pria itu yang seharusnya bisa lebih memelankan suaranya apalagi sedang mengeluarkan kalimat yang menyudutkan keberadaan wanita itu.
Acara dimulai dengan doa yang khidmat, lalu diteruskan dengan serangkaian kata sambutan dari beberapa orang yang Diva tidak kenali. Tapi yang jelas saat pria duda itu berbicara di hadapan publik, Diva merasa kian terpesona dengan ketegasan pria itu, apalagi dengan kemurahan hati Abas yang mau membangun panti asuhan untuk anak-anak yang kurang beruntung dalam kehidupan itu.
Sepanjang acara berlangsung, Diva tak pernah berada jauh dari pria itu. Ia selalu mengekor kemana pun Abas melangkah meski hanya bisa berdiri di belakang dengan jarak beberapa meter. Jelas, tingkahnya ini mengundang perhatian banyak orang termasuk awak media.
Tapi Diva tak peduli, ia malah akan sangat bersyukur jika nanti berita menyebar luas dan sampai di telinga sang papa. Karena dengan begitu ia akan punya alasan untuk menolak perjodohan yang dibuat oleh orang tuanya.
Namun, di penghujung acara tepat saat Abas sudah selesai meletakkan batu pertama di atas tanah yang akan dibangun sebuah panti asuhan itu. Diva dikejutkan dengan kehadiran Destra, salah satu temannya yang ikut menantang Diva untuk menaklukkan Abas.
"Lo ngapain di sini?" tanya Destra terkejut bukan main. Lalu matanya berkeliling dan baru menyadari kegilaan apa yang sedang wanita itu lakukan.
"Lo ... Lo sampe segitunya, Div?" Tawa Destra pecah dan hal itu tentu saja mengundang beberapa mata untuk meliriknya.
"Diem Lo!" gerutu Diva yang mengerucutkan bibirnya kesal. Destra tidak tahu saja jika yang dilakukan Diva kali ini bukan lagi tentang taruhan mereka waktu itu, melainkan karena harga diri dan juga rasa penasaran terhadap kepribadian Abas yang membuat Diva tertarik.
"Masa pria tua begitu aja Lo nggak sanggup taklukkan, Div? Kemana pesona seorang Diva Adzkania yang selalu ngebuat laki-laki patah hati?" ejek pria itu yang masih menyisakan tawa.
"Berisik banget sih. Lagian Lo ngapain sih di sini?" tanya Diva sewot.
"Gue yang pegang proyek," sahut Destra santai.
"Halah. Awas korupsi Lo," cerca wanita itu sinis.
Destra menjitak kepala Diva. "Mulut Lo kebiasaan!" gerutunya.
Belum sempat Diva membalas pria itu dengan tendangan maut yang sudah dipersiapkannya, fokus wanita itu teralihkan ketika rombongan Abas berjalan menuju pintu keluar. Ternyata acara sudah ditutup dan pria itu bersiap untuk pulang.
Abas lewat tepat di hadapan Diva dan Destra. Pria itu tak sedikitpun menoleh atau sekedar melirik pada wanita itu yang kini kian merasa kesal.
"Astaga, Lo dikacangin, Div!" ujar Destra dengan tawa yang berderai.
"Sekali lagi ngomong, gue tendang barang Lo sampe nggak bisa lagi keluar masuk sangkar! Mau lo?" gertak wanita itu tak main-main.
"Buset kejem amat jadi perempuan. Gimana itu duda nggak kabur kalau Lo galak begitu?"
"Dia cuma belum tahu aja sisi lain gue. Udah ah, gue mau pulang. Gara-gara Lo nih gue ditinggal Sugar Daddy gue!" omel Diva sembari berjalan meninggalkan Destra yang melongo.
"Astaga! Tobat, Div! Tobat!"
Diva tak menggubris ocehan pria itu dan hanya mengacungkan jari tengah tanpa sudi untuk berbalik minat wajah temannya itu.
TO BE CONTINUED