13

2168 Kata
Aku sudah duduk bersama Adam dan Rio. Kedua cowok yang biasanya berselisih itu tampak kompak, sejak tadi hanya diam sambil garuk-garuk kepala. "Ada apa sih?" tanyaku untuk kesekian kalinya. Hening, mereka pura-pura tuli atau sudah tuli sungguhan. "Ada apa sih, Adam? Rio?" tanyaku kesal, sudah nyaris kehilangan kesabaran. "Aku disebut belakangan, tidak mau jawab!" protes Rio. "Hah?" seruku bingung. "Hahaha, berarti Tika lebih mengutamakan aku daripada kamu! Kasihan!" ledek Adam. "He? Apa sih?" tanyaku bingung. "Kamu tanya saja Adam, kan dia yang kamu sebut duluan!" sergah Rio membuatku langsung paham apa yang mereka debatkan. "Ya ampun, gitu doang! Jadi Rio ganteng, ada apa ini?" tanyaku. Rio tersenyum senang. "Idih najis, cupu gitu kamu bilang ganteng! Kamu katarak Tik?" ledek Adam tidak terima. "Astaga, iya, iya, Adam juga ganteng!" kataku BT. "Gantengan siapa?" tanya keduanya kompak. Aku menepuk jidatku ringan. "Gantengan kak Deden," jawabku yang langsung disambut raut kekecewaan keduanya. "Asem," dengus Adam. "Tidak boleh ngumpat sama Tika, Boncel!" protes Rio sembari menjitak ringan Adam. "Iya, iya, khilaf!" sahut Adam tanpa membalas jitakan Rio. "Kalian kenapa sih? Ada apa?" tanyaku semakin penasaran karena tingkah Adam dan Rio yang menurutku aneh. Rio dan Adam menarik napas panjang lalu saling pandang dan bertatapan mata seolah saling meminta agar berterus terang. "Ada apa sih? Ngomong tidak?" tanyaku setengah membentak. Rio menelan ludah lalu mengangguk kecil saat Adam memintanya untuk mengatakan apa yang ingin mereka bicarakan. "Klienmu gimana Tik?" tanya Rio. "Ah, dia masih di rumah sakit. Kenapa?" tanyaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin membantumu!" jawab Rio sambil memaksakan diri untuk tersenyum. "Lalu, soal permintaannya bagaimana?" tanya Rio lagi. "Ah, aku berniat untuk ke sekolahnya hari ini. Aku mau menemui Niken, sahabatnya." jawabku menjelaskan rencanaku. "Boleh aku ikut?" tanya Rio menawarkan diri untuk menemaniku. "Boleh, kamu kan temanku. Tentu saja aku ijinkan," jawabku. Rio tersenyum lebar. "Pfft, teman!" ucap Adam sambil tertawa geli. "Kenapa, Dam?" tanyaku heran. "Aku sahabatmu kan Tik?" tanya Adam tiba-tiba. "Yups, kamu sudah menanamkan memory itu di otakku. Sudah tentu aku menganggapmu demikian." jawabku santai. Kali ini giliran Rio yang tertawa geli dan si boncel mengerucutkan bibirnya, kesal. "Maksudku secara tulus, bagimu aku sahabat atau teman biasa?" tanya Adam lagi memastikan statusnya padaku. "Sahabat," jawabku. Adam tersenyum lebar. "Sudah kuduga aku lebih penting daripada Rio," katanya bangga. "Kalian berdua sama-sama penting," sanggahku. "Jika salah satu dari kalian mati, aku akan mati!" imbuhku. Adam dan Rio terdiam, mereka menganga kaget dengan pernyataanku. "Sudah kuduga, aku memang mencintaimu Tika!" ucap Adam sambil memegangi d**a sebelah kirinya. "Yups, aku juga!" kata Rio menimpali. Aku menautkan alisku. "Hah? Apa yang kalian bicarakan?" tanyaku bingung. Rio dan Adam menggelengkan kepalanya cepat seolah tersadar dengan apa yang baru saja mereka katakan tanpa sadar. "Tidak! Abaikan saja apa yang kukatakan barusan!" pinta Adam. "Yups, otak kami baru saja konslet Tika!" kata Rio setuju dengan permintaan Adam. "Oh, oke!" sahutku setuju. Rio dan Adam menghela napas lega. "Sip," ucap Rio. Aku hanya diam, sebenarnya aku cukup terkejut jika mereka benar-benar mencintaiku. Aku tidak akan bisa memilih salah satunya dan akan sangat merepotkan jika hal itu terjadi. Bagiku, Adam dan Rio adalah dua orang yang harus ada di dalam hidup seorang Maretha Dwi Sartika. Keduanya harus ada dan tidak boleh ada yang mati. Kami bertiga akan hidup, begitulah tekadku. "Aku juga ikut kamu, Tik!" kata Adam. "Boleh," "Tapi, apakah benar apa yang ingin kalian bicarakan itu soal klienku?" tanyaku masih belum percaya. Adam dan Rio mengangguk bersamaan. "Baiklah, saat ini aku tidak punya pilihan lain selain percaya pada kalian. Tapi jika ada sesuatu yang ingin kalian katakan, katakan saja, jangan ragu. Oke?" pintaku. Adam dan Rio sekali lagi hanya mengangguk. "Oh iya bagaimana keadaanmu Tik?" tanya Adam merasa khawatir. "Baik, kenapa?" jawabku balik tanya. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja," jawab Adam. "Hm, sejujurnya aku tidak tahu. Tapi aku sudah bisa menggunakan kekuatan readerku," kataku menjelaskan. Adam dan Rio tampak manggut-manggut saja mendengar penjelasan dariku. "Kalau begitu, apa ada yang aneh pada tubuhmu, semacam merasa asing atau gimana," tanya Rio. Aku menautkan alisku. "Hm, tidak ada yang aneh. Hanya saja akhir-akhir ini aku merasa mata kiriku sedikit sakit setiap kali berjumpa dengan kak Deden," jawabku. "Dan juga," aku diam menggantungkan ucapanku. "Apa?" tanya Rio tidak sabar. "Lihat! Rambutku sedikit lebih panjang dari biasanya bukan?" ucapku pada Rio dan Adam sambil menunjukkan ujung rambutku. Rio dan Adam hanya diam. "Bukankah itu normal?" tanya Adam pada Rio. Rio mengangguk mengiyakan. "Yups, itu juga sebuah info yang kurang penting!" imbuh Rio. "Dasar menyebalkan!" dengusku kesal. Rio dan Adam hanya tertawa membuatku menjadi lupa tentang pertanyaan yang ingin kutanyakan pada mereka. *** Author's POV Gadis bergaun hijau dengan rambut keriting panjang serta wajah cantik dan penuh karisma itu hanya duduk manis di singgasananya ketika seorang perempuan berambut hijau panjang masuk. "Yang mulia Queen," katanya seraya duduk bersimpuh di bawah. Queen yang merasa terpanggil menolehkan wajahnya kepada perempuan berambut hijau itu. "Bagaimana?" tanyanya dengan penuh keanggunan. "Seperti yang sudah kita duga, helper bodoh itu belum mengetahui tentang kutukan itu. Dia masih belum memahami kekuatan besar yang ada pada dirinya," jawabnya. Queen hanya berdecak pelan lalu menghela napas pelan. "Jika begitu, bagaimana dengan kedua pelayannya itu?" tanya Queen lagi. "Si watcher boncel dan lucifer katrok itu sepertinya sudah mulai bergerak, Queen!" jawabnya. "Apa itu membahayakan kita?" tanya Queen merasa was-was. "Haruskah kubunuh keduanya?" jawab si perempuan berambut hijau dengan tangan yang sudah siap melucuti pedang dari sarungnya. "Jangan, awasi saja mereka. Jika mereka mulai berbahaya, habisi!" perintah Queen. "Baik," jawab si perempuan patuh. Dia berdiri, hendak pergi. "Erika!" panggil Queen. Perempuan berambut hijau panjang itu pun berbalik dan bersimpuh kembali. "Ya yang mulia Queen," sahutnya. "Apa tidak masalah bagimu membunuhnya?" tanya Queen ragu. "Siapa maksud anda?" tanya Erika tidak mengerti. "Rio, bukankah kalian berada di kaum yang sama?" tanya Queen meragukan kesetiaan Erika. "Tidak, anda salah. Saya bukan dari kaum lucifer," sanggah Erika. "Ya, aku tahu. Tapi bagaimanapun dulu kamu hidup dengannya. Apa tidak masalah membunuh orang yang sudah seperti keluarga bagimu?" tanya Queen lagi. Erika mengangguk yakin. "Tentu saja, siapapun yang menghalangi anda akan saya habisi. Karena saya adalah pelayan anda!" jawab Erika penuh kepatuhan. Queen tersenyum puas. "Baiklah, kesetiaan dirimu sungguh mengangumkan." puji Queen. "Terimakasih," sahut Erika. "Sekarang kembalilah! Awasi mereka dari jauh, jangan sampai mereka tahu keberadaanmu, mengerti?" perintah queen. Erika sekali lagi mengangguk. "Baik, saya mengerti!" sahut Erika lalu pergi meninggakan Queen yang tersenyum penuh kemenangan. "Akulah yang akan berjaya. Kaum helper akan musnah!" gumamnya lalu tertawa keras sehingga menggema ke seluruh ruangan. *** Matahari bersinar cerah ketika aku, Adam dan Rio telah berada bersama Niken. Kami tengah berupaya membujuknya agar mau menemui klienku yang sedang sekarat di rumah sakit. "Aku tidak mau!" tolaknya tegas untuk kesekian kalinya. "Mengapa tidak?" tanyaku. "Dia sahabatmu lho!" kata Adam berusaha membujuknya. "Ya, Adam benar. Apa kamu tidak kasihan pada sahabatmu? Dia tengah sekarat, dia menunggumu!" ucap Rio menambahkan. Niken mendecih kesal. "Sahabat? Sahabat mana yang mengambil pacar sahabatnya sendiri huh?" sergah Niken dengan nada tinggi. "Kamu salah paham, dia tidak begitu!" sanggahku. "Darimana kamu tahu? Aku melihat sahabat dan pacarku tengah berciuman!" bantah Niken. "Yang kamu lihat bukan yang sebenarnya! Coba kamu ingat-ingat lagi kejadiannya. Lihat kebenarannya!" hardikku padanya. "Oi, Tik! Tenangkan dirimu!" tegur Adam. "Dia sedang cemburu buta, wajar saja jika dia tidak mampu membedakan apakah yang bersalah sahabatnya atau kekasih brengseknya," Rio menambahkan. "Heh, jaga ucapanmu ya katrok!" sergah Niken nggak terima. "Kevinku bukan cowok b******k!" belanya. "Benarkah? Lalu bukankah kamu sudah tahu jika dia yang mengejar sahabatmu bukan sahabatmu yang menggodanya?" serangku. "Kamu yang bilang kalau kamu melihat mereka berciuman dengan kedua matamu sendiri. Jadi seharusnya kamu tahu bukan, sahabatmu hanya korban!" ujarku. "Ya, kalau dia dan pacarmu memang berniat berciuman, posisinya tidak akan begitu, iya kan?" ujar Adam. "Posisi ciuman orang yang saling menginginkan dan paksaan itu beda. Apa kamu mau mencobanya?" Rio mulai ikutan. Cowok cupu itu mendekati Niken hingga cewek itu terpojok. Rio mencengkram kedua tangan cewek itu dan mengunci tubuhnya dengan satu kakinya. Aku dan Adam yang menyaksikan adegan itu mendadak merasakan aura panas di sekitar pipi kami. "Mau kucium?" tanya Rio lagi sembari menatap lekat pada Niken. Niken tidak menjawab, cewek itu mendadak linglung. "Jadi begitulah kejadiannya," kata Rio sembari melepaskan tangan Niken lalu menjauh. "Yah, kenapa berhenti!" ujar Adam dengan nada kecewa. "Aku hanya mereka ulang!" kata Rio. "Giliranmu!" suruhku pada Adam. "Oke," kata Adam. Adam pun mendekat pada Niken. "Niken," katanya lembut. "Y-ya?" sahut Niken. "Maaf ya," kata Adam lalu menutup kedua mata Niken dengan telapak tangannya. Aku dan Rio hanya diam menyaksikan saat Niken tiba-tiba menjerit menangis. Dia pasti sedang melihat betapa menderitanya sahabatnya selama ini karena perbuatannya. Delia, sahabatnya sejak kecil dibully, dijauhi dan dianiaya setiap hari semenjak dia memberitahu teman-teman kelasnya jika sahabatnya itu mencuri pacarnya. Padahal, sahabatnya itu hanyalah korban dari lelaki b******k itu. Pembully-an itu membuat sahabatnya menjadi begitu putus asa dan memutuskan untuk bunuh diri. Pada akhirnya airmata penyesalannya kini hanyalah akan jadi rasa sakit yang akan terus dia kenang seumur hidup. Penyesalannya tidak akan pernah mengembalikan keadaan menjadi seperti semula. Namun mungkin penyesalannya ini akan menjadikannya manusia yang lebih baik lagi. "Aku memaafkanmu," begitulah perkataan Niken pada tubuh yang bernapas satu-satu itu. Pada akhirnya jabatan tangannya menjadi lemah dan akhirnya perlahan mengeras dan dingin. Delia menghembuskan napas terakhirnya seiring pudarnya tanda yang Rio buat. Tubuhnya kembali pada keadaannya yang sekarat dan dia meninggal dunia di usia yang masih belia, 15 tahun. Aku lihat Niken yang begitu terluka dan terpukul. Rasa bersalahnya meninggi dan Adam-entah dengan inisiatif siapa, dia menghapus kenangan pahit itu, menyisakan kenangan-kenangan manis antara Niken dan Delia saja. Walaupun Adam tidak menghapus kematian Delia, tetapi cowok itu mengobati hati Niken dengan menanamkan keyakinan bahwa Delia meninggal bukan karena dirinya. Saat itu, aku menyadari bahwa mungkin aku akan mati jika aku kehilangan sahabatku, entah itu Adam atau Rio.   *** Kami bertiga berjalan menyusuri jalan setapak, kasusku telah selesai dan sejak kemarin mereka berdua seolah tengah mengawalku. Aku sudah bertanya apakah ada yang mereka sembunyikan dariku atau tidak. Namun keduanya selalu menjawab tidak dengan kompak. "Tik," panggil Adam. "Ya?" "Apa kamu merasa aneh akhir-akhir ini?" tanya Adam kembali menanyakan hal yang sama. Aku menggeleng. "Tidak ada. Ada apa sih? Kenapa kalian selalu berkeliaran di sekitarku, apa ada masalah?" tanyaku balik. Adam menggeleng. "Tidak," jawabnya singkat. Aku menoleh pada Rio dan pelayanku yang cupu itu hanya tersenyum kecil. "Aku pelayanmu, tentu saja aku harus ikut kemana tuanku pergi," katanya beralasan. "Tapi saat aku ke Surabaya waktu itu kamu tidak ada tuh!" Rio terkekeh. "Aku memang tidak ada, tapi uangku ada kan? Aku bahkan harus membayar tiket pesawat dan akomodosi kalian selama disana," sergah Rio membuatku hanya tersenyum kecut. "Ya di antara kami kamu kan paling kaya," kataku. "Dia juga kaya tuh!" tunjuk Rio pada Adam. "Aku tidak kaya, orangtuaku yang kaya. Kalau kamu kan beda. Uang dan semua harta itu warisanmu, kekayaanmu, jadi bisa kamu gunakan tanpa ijin lebih dulu!" pungkas Adam membuat Rio hanya menghela napas kecil. Adam terkekeh pelan lalu berlari-lari kecil seperti anak kecil. Tingkahnya begitu imut dan. Jleb. Adam terbatuk, mulutnya memuntahkan darah segar ketika sebilah pedang panjang menusuk dadanya hingga menembus jantungnya. Matanya membelalak dan aku hanya bisa terpaku saat kulihat dia sudah begitu. "Adaaaam!!!!!" pekikku saat pedang pisau itu ditarik dan membuat Adam ambruk dalam sekejap. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Kulihat cewek berambut hijau panjang itu menyeka darah Adam dari pedangnya. Ia menyeringai pelan ketika melihat Adam tidak bergerak. Duk. Duk. Duk. Diinjaknya beberapa kali tubuh Adam dengan santai membuatku semakin terbakar emosi. Tes. Tes. Tes. Airmataku jatuh. "Erika, apa yang kamu lakukan?!" teriak Rio marah. Erika hanya tersenyum. "Berikutnya adalah giliranmu. Tinggalkan dia dan jadilah b***k Queen maka aku akan mengampunimu!" ujar Erika dengan yakin. Aku tertunduk dalam, pun ketika Rio mencoba merangkulku yang nyaris terjatuh karena kakiku menjadi lemah mendadak, aku tetap tidak bisa merasakan detak jantungku lagi. Aku membatu seolah tidak memiliki kendali lagi akan tubuhku sendiri. "Tik, Oi Tik!" panggil Rio keras di telingaku. Aku mendengarnya, tetapi aku tetap tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku seolah lenyap dalam pusaran jiwaku sendiri. Perlahan kurasakan angin yang mulai berhembus kencang di sekitar tubuhku. Semakin lama semakin kencang dan membuat Rio menjauhkan dirinya dariku. Aku tidak tahu apa yang terjadi yang jelas aku semakin kehilangan kontrol diriku. "Aaaaaaa," aku menjerit, melengking—mungkin karena kulihat samar Erika menutup telinganya seolah terganggu dengan teriakanku yang melengking nyaring hingga memekakkan telinga. Lalu kurasakan sakit di mata sebelah kiriku. Semakin lama semakin menguat dan kurasakan airmata menetes dari sana. Tidak! Itu darah! Bau yang menyengat dan kekentalan yang khas itu, ya itu darah bukan airmata! Aku semakin kehilangan arah dan kontrol akan diriku ketika tiba-tiba aku bergerak cepat, menghampiri Erika, merebut pedangnya dan bersiap menikamnya. Plak. Aku merasakan pukulan keras di tengkukku yang membuatku ambruk seketika. "Wah, untung kita datang tepat waktu!" suara asing itu terdengar, aku belum pernah mendengarnya. Dia menarik tubuhku, melakukan sesuatu pada mataku lalu  memasangkan penutup mata di mataku yang membuatku kembali menguasai diriku. "Kamu terlalu berlebihan memukulnya," protes seseorang. Aku mengenal suaranya. Itu suara kakakku! "Haha, tidak apalah setidaknya kita harus menolong watcher malang ini dulu!" katanya. "Baiklah, Bagas!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN