Langit gelap gulita disertai angin yang berhembus kencang dengan hawa dingin yang begitu menusuk hingga sedikit membuatku menyipitkan mata untuk memandang ke depan. Di sana—dalam jarak yang lumayan dekat, telah kudapati istana kaum Kingdom.
Genderang perang telah ditabuh dan keputusan final antara hidup dan mati antar-ratu dengan para sekutunya ditentukan hari ini. Ramalan jika akan terjadi perang besar telah terbukti dan siapapun ratu yang bisa tetap hidup setelah perang ini berakhir, dialah pemenangnya. Dia akan menjadi ratu—dan juga penjaga keseimbangan di antara 11 kaum yang tersisa, bahkan di antara manusia-manusia pilihan tanpa kaum.
Aku, Rio, Adam, kak Deden dan yang lain telah berada di puncak bukit, mengawasi ketat setiap pergerakan dari lawan yang berada di depan kami. Tepat di depan, karena sebenarnya pergerakanku untuk menyerang istana kingdom pun telah diketahui. Jadi, bisa dikatakan ini adalah perang terbuka yang disengaja, bukan kebetulan semata.
Aku menghela napas, memikirkan cara terbaik untuk menembus pertahanan berlapis yang sudah disiapkan oleh Queen. Di depan kami terbentang 3 halangan yang harus dilewati jika kami semua ingin masuk ke istana kingdom.
Pertama, lingkaran air yang berputar cepat di sekeliling istana. Air itu terus bergerak, menggulung dan meninggi seolah ia akan menghantam dan menghancurkan apa saja yang berada dalam jangkauannya. Air itu bak parit yang mengelilingi istana kingdom sehingga mau tidak mau, cara satu-satunya untuk bisa masuk adalah menghancurkan pusaran air yang bisa bergerak ke atas dan menjatuhkan burung yang hanya sekadar lewat di atasnya.
Kedua adalah barisan para Golen-manusia batu yang memiliki badan besar seperti Hulk. Kuat dan bisa menghancurkan apapun yang mencoba mendekat. Mereka dilengkapi dengan sihir—yang bisa membuat mereka lebih kuat dari batu kebanyakan.
Ketiga adalah perisai istana yang berbentuk suatu gelembung yang menutupi istana bak setengah lingkaran. Dilihat dari warnanya yang hitam-biru tua dan mengakar merah bak pembuluh darah kapiler, maka dipastikan perisai itu sangat kuat. Aku belum pernah melihat yang seperti itu.
Apakah aku takut? Tentu saja. Bahkan meski di belakang dan sampingku sudah berdiri para sekutu yang siap mati untukku, aku tetaplah memiliki hati seorang manusia. Namun, aku mencoba untuk berani. Karena keberanian hakekatnya terlahir sebagai hasil perjuangan untuk melawan rasa takut.
"Apa yang harus kita lakukan, Ratu?" tanya Jasper.
Kulihat dia dan dia balik menatapku. Matanya bicara, menunggu perintah dan aku hanya mengerjabkan mataku dua kali. Sedang berpikir, begitulah kira-kira makna kerjabanku tapi agaknya Jasper salah menduga. Ia maju, entah untuk apa. Ingin kucegah tapi Rio menahanku.
"Biarkan saja," bisik Rio.
Aku pun kembali mengatubkan bibirku. Membiarkan Jasper melakukan apa yang ia mau. Aku rasa percaya padanya bukanlah suatu ide yang buruk mengingat betapa sedikitnya jumlah kami dibandingkan sekutu kaum kingdom.
Jasper turun dari bukit, sedikit menjauh dari pasukanku dan mendekat pada pusaran air itu. Dia melepaskan pedang dari sarungnya. Dengan yakin, tanpa sebuah keraguan, ia acungkan pedang itu ke atas lalu mengayunkannya ke depan. Sekali tebas dan pusaran itu itu terbelah dua. Lalu ia mulai memutar telapak tangan kanannya seolah tengah melakukan sebuah proses ritual.
Bassst...
Angin kencang keluar dan membelenggu pusaran air yang telah tersibak tengahnya itu. Setelah itu, ia melambaikan tangannya dua kali seolah memberi isyarat agar kami bergerak maju.
Rintangan pertama, selesai dan itu sangat mudah. Jasper memandangku dengan senyuman dan aku hanya menyeka dua-tiga keringat di keningnya saat aku berjalan melewatinya.
"Kerja bagus," pujiku.
Kulihat wajah Jasper merona merah, tersipu malu.
"Aku juga mau," dengus Adam yang langsung disambut jitakan kak Deden.
"Buat dirimu berguna dulu!" protes kak Deden.
Adam hanya manyun.
"Jika membungkus air dengan angin, aku juga bisa," gerutu Adam.
Kak Deden menyipitkan matanya.
"Benarkah kamu bisa?" tanya kak Deden ragu.
"Bisa lihat," lanjut Adam yang langsung membuat Rio ikutan menimpuknya.
"Dasar boncel! Kita sedang berperang, jadi hentikan gurauanmu!" Rio mulai mengomel.
Adam yang dimarahi hanya membuang muka. Sepertinya dia tidak suka dikalahkan.
"Akan ada saatnya kamu berguna, jangan iri!" aku mulai angkat bicara dan Adam tidak bersuara lagi. Aku rasa, dia enggan membantah ucapanku.
Pusaran air itu tiba-tiba terlepas, mengamuk seolah memberontak dari selubung angin Jasper. Pusaran itu menguap, cepat dalam kedipan mata lalu seorang wanita keluar dari sana.
Wanita itu mengenakan gaun warna biru cerah dengan belahan di roknya yang sedikit memamerkan kulit putih di antara paha dan lututnya. Terdapat mutiara di tengah dahinya, rambutnya panjang berwarna biru emas dan bagaimanapun aku melihatnya, dia secantik putri duyung yang telah mengubah ekornya menjadi kaki.
Dia mengibaskan tangan kirinya pelan, tepat ke arah kami.
Braakkkk.
Husstt.
Daaaar.
Hantaman keras angin yang menghantam keras besi baja menimbulkan suara dentuman keras yang sedikit memekakkan telinga.
Kulihat Irene yang sudah berada di depan kami, dengan gagah menahan serangan dari wanita duyung itu. Ia menoleh ke belakang, melayangkan sebuah senyuman seolah berkata bahwa seandainya tidak ada perisainya, kami semua akan jadi perahu kertas yang diterjang badai.
Irene melepas perisainya begitu wanita itu terlihat tidak melakukan serangan. Irene bergerak cepat, mendekatiku dan berbisik.
"Pergilah! Aku yang akan menghadapinya!" suruh Irene.
"Kamu yakin? Dia tampak kuat," ucapku.
Irene tersenyum sinis.
"Ayolah, aku ini kaum yang sataniel! Kaum ikan sepertinya bukan masalah bagiku," Irene mencoba meyakinkan.
Kulirik Rio dan cowok cupu itu menganggukkan kepalanya.
"Dia didukung para pasukan setannya, jadi dia tidak akan mati!" Rio menimpali.
Irene berdecak kesal mendengar perkataan Rio.
"Heh lucifer bangkrut, aku ini lebih tinggi darimu!" kata Irene.
Rio hanya tersenyum tipis.
"Benarkah? Jika begitu, kalahkan dia! Jika kamu merasa tidak mampu, aku yang akan menghadapinya!" tantang Rio.
Irene menggigit bibir bawahnya lalu langit gelap jadi makin gelap ketika ia mulai mengeluarkan aura setannya.
Sejurus garis muncul dari langit gelap lalu sedikit demi sedikit garis lurus itu terbuka lebar. Sepasang mata besar merah menyala keluar dari sana. Kulihat Irene yang kini telah bermata merah menyala dengan sebuah sayap besar lebar yang terkembang nyaris sempurna di salah satu punggungnya.
Ketika wanita duyung itu kembali menghantamkan bola-bola air, Irene hanya mengepakkan sedikit sayapnya dan bola-bola air itu langsung berhenti dan menguap bak air yang telah dididihkan.
"Pergi!" suruh Irene lagi.
Aku pun hanya mengangguk pasrah saat Rio menarikku pergi, meninggalkan Irene dan wanita duyung itu.
Wanita duyung itu melayangkan serangan, melemparkan seribu pisau air padaku dan pasukanku tetapi Irene segera mematahkan serangannya. Gadis dari kaum setan itu rupanya telah mengeluarkan pedang pamungkasnya.
Melihat betapa seriusnya Irene, wanita duyung itu tidak mau kalah. Ia mulai memutar-mutar tangannya membentuk pusaran air lalu muncullah sebuah tombak dari sana. Aku mengenali tombak panjang dan besar itu, itu adalah tombak sang dewa air, Poseidon.
Kedua keturunan bawah tanah dan air itu pun saling berhadapan. Rio segera mengajak kami melangkah maju, menuju para Golen yang tengah menunggu kami.
Sekilas kulihat pertarungan pedang antar Irene dan wanita duyung itu telah dimulai. Aku hanya mampu bergerak maju, karena itu kupercayakan wanita duyung itu padamu, Irene.
***
Rio menahanku yang ingin terus maju, dia bilang aku harus berhenti. Kupikir mengapa dan saat kulihat para Golen yang sudah berada tak jauh dari kami, aku pun berhenti tanpa diminta.
Pasukan Golen itu diam, tak bergerak hanya berbaris merapatkan barisan bak dinding beton yang sulit ditembus bahkan oleh seekor semut sekalipun. Hal yang berbeda dari para Golen itu adalah lingkaran benang sihir yang terselubung dan mengikat para Golen itu menjadi satu.
Aliran benang sihir itu tidak bisa dilihat dengan mata t*******g, tapi berkat meningkatnya kekuatanku karena kutukan ini, aku bisa melihatnya. Walau aku yakin, semua sekutuku bisa melihat aliran benang sihir itu tanpa kutukan. Mereka istimewa dengan kekuatan yang berbeda.
Aku menatap para Golen itu, dimana matanya hanya menatap kosong ke depan. Namun ketika kupandang salah satu Golen itu, semua Golen itu melihat ke arahku. Rio yang merasa aura pembunuh yang kuat dari pasukan Golen itu segera menyembunyikan aku di belakang punggungnya. Melihat apa yang Rio lakukan, Adam mendekat, berdiri di depanku, di samping Rio dengan gagah.
Pasukan Golen paling depan yang kira-kira berjumlah delapan buah, maju. Mereka mengangkat tangan kirinya seperti kepalan tangan lalu menghantamkannya ke tanah.
Deerrrrrrr......
Duar.....
Tanah terbelah, membentuk retakan besar yang disusul dengan terbukanya lapisan tanah hingga beberapa meter.
Aku menghela napas panjang dengan jantung yang terus berdegup kencang. Kulihat Rio dan Adam yang sudah mengamankanku, membuatku menghindar dari serangan ke delapan pasukan Golen yang menyatu dan mengarah pada satu orang yaitu aku.
Aku pun bergidik ngeri saat kulihat lubang besar memanjang hingga beberapa meter. Lubang itu bak hasil sabetan pedang panjang, terkena sedikit aku yakin tubuhku akan terbelah menjadi beberapa bagian yang simetris. Sungguh menakutkan.
"Aku akan melindungimu, Tik!" ucap Rio, seolah tahu bahwa aku sedang merasa takut.
"Aku juga." Adam menimpali.
"Dasar bodoh!"
Umpatan itu membuatku, Adam dan Rio menoleh pada sumber suara. Kulihat gadis bertudung cokelat yang wajahnya tidak terlihat karena tertutup poni panjangnya yang menjuntai hingga hidung. Kalau tidak salah, namanya Claudia.
"Open," bisiknya seraya menyapukan satu tangannya dari kanan ke kiri di udara.
Aku, Adam dan Rio serta yang lain menoleh kiri-kanan dan tidak ada apapun yang terjadi.
"Claudia, apa yang kamu lakukan?" tanyaku.
Claudia tidak menjawab, ia hanya mengacungkan jarinya dan menunjuk ke atas—ke Golen di depannya. Dimana kurasa Golen itu adalah yang terbesar dan terkuat.
Aku mengikuti petunjuk jarinya dan tertegun saat kulihat seorang lelaki dengan rambut panjang tergerai lurus—mirip rambut iklan sampo sudah duduk di bahu kanan Golen besar itu.
Lelaki itu mengenakan celana dan sepatu ala Aladin dengan baju tanpa lengan yang dimasukkan ke dalam. Wajahnya cukup tampan sebenarnya kalau saja dia tidak mengenakan riasan--lipstik dan perona merah pipi. Terlebih eyeshadow miliknya yang berwarna hijau cerah dan kuning itu sungguh membuatku merasa kalau dia aneh.
"Sungguh tidak kusangka, kalau di antara k***********n seperti kalian, ada juga yang memiliki darah keturunan witcher!" ucapnya, suaranya terdengar lantang dan menggema seolah kami berada di dalam gua.
Aku menelan ludah, menatap langsung matanya yang terarah kepadaku.
"Blind," ucapnya dan seketika penglihatanku menjadi gelap.
Prang.
Aku membuka mataku dan sudah kulihat Claudia sudah berdiri di sampingku.
Aku menatap ke sekeliling, semua sekutuku—termasuk Adam dan Rio sudah terkapar di tanah dengan memegangi kepala mereka.
Ada apa?
Aku tatap Claudia dan gadis itu hanya diam, enggan menjelaskan apapun.
"Bodoh," dengusnya kesal.
Dia menutup sebelah mataku yang terbuka, lebih tepatnya mata kananku.
"Hei," panggil Claudia pada Bagas yang hanya berdiri menonton.
Kulihat si kuda poni itu masih berdiri tegak dengan memelintir rambutnya yang agak panjang.
"Bawa dia pergi, aku akan mengurus sisanya!" suruh Claudia.
"Kenapa?" tanya Bagas sambil melirikku seolah tengah mengejekku.
"Dia akan menghancurkan kita semua jika sekali lagi terkena mantera medusa dari musuh kita," terang Claudia.
"Hm," Bagas tampak berpikir.
"Baiklah, aku akan menurutimu! Ratu ini sungguh lemah, aku jadi sangsi kalau aku akan tetap hidup setelah ini," sindir Bagas seraya membantuku berdiri dengan menutup mata kananku dengan tangannya.
"Baiklah, kuserahkan dia padamu!" kata Bagas pada Claudia.
Claudia mengangguk pelan.
"Anu, hati-"
"Teleportasi," kata Bagas lalu sedetik kemudian kulihat aku dan sekutuku yang lain kecuali Claudia sudah berada di rintangan ketiga kami.
Dia melakukannya lagi, memindahkan kami bahkan saat aku belum selesai bicara. Aku melepaskan diriku dengan kesal dari Bagas dan kuda poni itu hanya menyeringai puas.
"Menyebalkan!" desisku.
"Emang," sahut Bagas.
"Tapi itu akan jauh lebih menyebalkan!" tunjuk Bagas ke depan.
Aku mengikuti arah petunjuknya dan seketika mengangguk setuju saat kulihat apa yang sudah menungguku.
"Iya, kurasa itu memang sangat menyebalkan," ungkapku setuju.
Aku lirik Rio dan Adam yang masih merasakan sakit, entah apa yang terjadi mengapa mereka seperti orang yang baru saja dihajar.
"Ada apa denganmu?" tanyaku, pada keduanya.
"Ini salahmu tahu!" sahut Adam sambil memijat-mijat tangannya.
"Iya, kamu menyerang kami karena ulah si Aladin," Rio menimpali.
"Heh?" seruku keheranan.
"Sudah lupakan!" kata Rio menyerah saat melihat ekspresi bingungku.
"Sekarang, kita harus menghancurkan perisai ini," kata Rio membuatku seketika fokus pada perisai yang telah menunggu kami.
"Bagaimana cara menembusnya?" tanyaku meminta saran.
"Aku rasa aku bisa,"
Ungkapan penuh keyakinan itu membuatku menoleh.
Kulihat seorang wanita berambut panjang agak ikal dengan sorot mata tajam berwarna merah kehitaman menatap tajam perisau merah menyala dengan warna yang nyaris senada dengan manik matanya telah berdiri dengan penuh kepercayaan diri. Wanita itu sekutu yang dibawa oleh kak Deden. Namanya Frey.
Aku melihat Frey dengan geli, bukan karena wajahnya yang biasa, melainkan karena kebiasaannya menjulurkan lidah mirip orang melet-melet. Aku rasa di lidahnya ada rambut atau ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Terlepas dari penampilannya itu, aku rasa dia kuat. Mengingat kedua mata miliknya merah. Sedangkan kakak Deden hanya memiliki satu mata merah.
"Kamu yakin? Jika kamu mengeluarkan kekuatanmu sekarang, saat pertempuran tenagamu akan sudah berkurang banyak," kata kak Deden mengingatkan.
Frey menyeringai pelan.
"Jangan samakan aku denganmu," desis Frey pelan.
"Aku punya dua red eyes, dan kekuatanku bahkan tidak akan berkurang meski kugunakan semuanya saat ini," ungkapnya penuh kesombongan.
"Baiklah jika itu maumu!" kata kak Deden sedikit merasa kesal karena perhatiannya dijawab dengan ketidakpedulian.
Frey menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, lalu wanita itu membentangkan kedua tangannya dengan lebar.
Sejurus tidak ada yang terjadi tapi lama-kelamaan langit gelap yang menyelubungi kami berubah, di atas kami—walau tidak semuanya, langit gelap itu telah berubah menjadi langit biru yang cerah.
Perlahan sepasang mata muncul, awalnya tertutup tetapi kemudian terbuka. Aku yang melihat itu menjadi bergidik ngeri. Kulihat kak Deden dan kakakku itu hanya memasang wajah seolah mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir.
Aku pun hanya diam, walau sudah penasaran, mata apakah itu. Lalu sepasang mata raksasa itu mulai terbuka sempurna dan memancarkan sinar yang mengarah langsung pada perisai kubah merah di bawahnya.
Silau rasanya sehingga aku harus menyipitkan mata ketika samar-samar kulihat perisai merah itu mulai memudar dan menghilang perlahan.
Saat perisai itu menghilang, terlihatlah istana kingdom dan hanya bisa ternganga saat kulihat para musuh kami telah berdiri gagah, seolah berkata : Majulah!
Di sana—di belakang para deretan kaum musuh, kulihat seorang wanita yang paling mencolok, itulah Queen. Tapi ada yang lebih menarik perhatianku yaitu para serigala dan juga menos—kaum bawah tanah—neraka yang hanya berbentuk bayangan hitam dengan wajah putih flat.
"Irene belum mati bukan?" tanyaku pada Rio.
"Hm, melihat masih ada auranya, aku rasa masih hidup. Kenapa Tik?" tanya Rio penasaran.
"Kita butuh pasukan setannya," jawabku.
"Tenanglah, aku juga punya pasukan!" celetuk Jasper.
Aku menoleh pada Jasper dan cowok itu hanya tersenyum tipis.
"Iblis," katanya dan entah kenapa untuk pertama kalinya aku bersyukur bisa mengenal orang yang memiliki pasukan iblis.
"So," kata Adam.
Aku menatap tajam ke depan.
"Bunuh mereka semua!" perintahku tegas yang seketika membuat para sekutuku menganggukkan kepala mereka secara bersamaan.
Queen, akan kukalahkan kau dengan segenap kemampuanku. terutama kau, Erika! Akan kubunuh kamu lebih dulu.