Aku sudah duduk berdua dengan Rio di bangku kantin. Cowok berkacamata itu menatapku dengan wajah sedih, bingung dan beberapa perasaan lain yang tidak mudah dijelaskan. Namun, dari semua perasaan itu aku memahami satu hal, dia ingin suatu penjelasan mengapa kemarin aku marah dan ingin menyerah. Aku rasa tidak ada pilihan lain selain memberitahunya tentang apa yang aku lihat di ‘penglihatan’ yang Erika berikan. Apapun jawaban dari Rio, aku sudah tidak bisa mundur lagi. Benar apa yang Adam katakan, aku harus melanjutkan sampai akhir apa yang sudah aku mulai. Semuanya harus diselesaikan.
“Jadi, kamu ingin tahu mengapa aku marah?” tanyaku.
Rio mengangguk pasti.
“Sebelum itu, apa kamu ingin mengatakan sesuatu yang kamu rahasiakan padaku?” tanyaku, memberikan kesempatan pada Rio agar jujur padaku.
Rio menggeleng.
“Tidak ada yang aku rahasiakan darimu, Tik.” elaknya.
Aku menghela napas ringan.
“Kamu yakin?” tanyaku memastikan.
Rio mengangguk pasti.
“Aku mengetahui kalau kamu berniat membunuhku,”
Rio tersentak kaget mendengar ucapanku. Bibir cowok berkacamata itu sedikit terbuka dan pupil matanya melebar, menandakan bahwa dirinya begitu shock mendengar pernyataanku.
“Aku,”
“Rio menghentikan ucapannya. Cowok berkacamata itu menelan ludahnya.
“Aku tidak tahu tentang hal itu, seiingatku aku tidak pernah berniat begitu,” sanggahnya.
Aku tersenyum geli mendengar pernyataannya.
“Liar,” tuduhku.
“Klienku hanya kehilangan ingatan dari sehari sebelum dia mati,” ujarku menambahkan.
Rio hanya membisu. Anehnya, sorot matanya tidak menampakkan tanda-tanda bahwa dia sedang berbohong.
Mungkinkah aku sekali lagi salah dalam menyimpulkan kasus ini?
“Jika memang benar aku begitu, apa kamu tidak mau membantuku lagi?” tanya Rio membuatku tersadar dan kembali fokus padanya.
Aku terkekeh mendengar pertanyaan Rio.
“Tidak,”
Rio menundukkan wajahnya.
“Aku akan membantumu,” kataku menimpali.
Rio mendongakkan kepalanya.
“Benarkah?” tanyanya dengan wajah cerah.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Jika keinginanmu adalah membunuhku, maka aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” jawabku dengan yakin.
Rio menatap lurus ke arahku, entah apa yang kini berada di benaknya. Yang jelas, aku tidak akan menyerah dalam mengungkap kasus ini. Aku adalah helper! dan sudah sewajarnya aku membantu klienku.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutkan?” tanya Rio mencoba mencairkan suasana tegang di antara kami.
“Mari kita temui Erika sekali lagi,” ajakku.
“Untuk apa?” tanya Rio bingung.
“Jika dugaanku benar, dia juga seorang helper!” jawabku.
Rio mengangkat sebelah alisnya.
“Erika seorang helper!? Itu tidak mungkin.” bantah Rio tegas.
“Kenapa?” tanyaku.
“Dia bukan helper, karena dia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan meletakkan tangannya di kedua mata orang yang ingin dia lihat masa lalunya.” jawab Rio menjelaskan.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku penasaran.
“Keluarganya adalah keturunan peramal dan selalu saja setiap 10 tahun, ada salah satu keluarga mereka yang ditakdirkan sebagai ‘pengemban kutukan’. Keluargaku dekat dengannya, jadi aku sedikit banyak mengetahui tentang silsilah keluarga Erika.” Rio menjelaskan dengan detail.
Aku menganggukkan kepalaku, kini aku mulai mengerti bagaimana dia bisa melakukan itu padaku.
“Tetapi jika dia hanya bisa ‘melihat’, mengapa dia bisa memperlihatkan apa yang dilihatnya padaku?” tanyaku lagi.
Rio tersenyum.
“Aku tidak tahu, tapi setahuku dia tidak hanya memiliki kemampuan ‘read’, tetapi juga bisa share and write.”
“Write?” tanyaku memastikan.
Rio mengangguk.
“Dia bisa memanipulasi ingatan siapapun yang dia inginkan, Tik.” jawab Rio menjelaskan.
Aku mengernyitkan keningku.
“Kamu bisa tahu kemampuannya, apa kamu sebenarnya..”
“Tidak! Keluargaku adalah pelayan keluarga Erika sejak dulu. Sebelum ayahku meninggal, aku adalah anjing Erika.” Rio memotong ucapanku.
“Kalau begitu, apa menurutmu aku bisa melawannya?” tanyaku.
Rio menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
“Maksudmu?” tanya Rio belum mengerti dengan maksud tujuanku.
“Aku ingin melawannya sebagai seorang helper,” jawabku.
“Apa menurutmu seorang helper! bisa menang melawan seorang sepertinya?” tanyaku sekali lagi.
“Sejujurnya, aku juga tidak tahu, Tik. Aku belum pernah berada di situasi seperti ini.” jawab Rio bimbang.
Aku menghela napas panjang.
“Aku punya sebuah rencana untuk melawannya,” ucapku.
Rio terpaku.
“Benarkah?” tanyanya kaget.
Aku mengangguk.
“Untuk rencana itu aku butuh persiapan yang matang, aku tidak mau mati konyol.” jawabku bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu, aku akan membantumu,”
Aku tatap cowok berkacamata itu dengan tajam.
“Benarkah?” tanyaku.
Rio mengangguk.
“Apapun yang aku minta, apa kamu mau melakukannya?” tanyaku sekali lagi.
Rio mengangguk sekali lagi.
“Apapun itu?” tanyaku.
Rio mengangguk pasti.
“Apa kamu bersedia membunuh Erika?” tanyaku.
“Hah?”
Rio tersentak kaget, shock untuk kedua kalinya.
“Kamu gila, Tik? Apa itu ide terbaik dari seorang Maretha Dwi Sartika? Kamu yakin kamu itu helper bukan killer?” Rio mengamuk.
“Kamu masih mencintainya?” tebakku.
Rio tergagap.
“Bukan begitu, Tik. Aku ini belum pernah membunuh orang dan-”
“Kalau kamu tidak bisa, aku yang akan membunuhnya.” potongku.
“Kamu sudah gila, Tika. Aku tidak mau dengar apapun lagi. Kau sudah tidak waras.” ujar Rio lalu berdiri dan pergi meninggalkanku.
Aku menghela napas kecil.
“Aku belum mengatakan rencanaku, Oon.” dengusku kesal.
Aku mendekapkan kedua tanganku di depan d**a dan memejamkan mata, aku butuh melakukan refresh pada otakku yang mulai tidak bisa berpikir dengan baik. Namun, rencanaku untuk membunuh Erika bukanlah sebuah ketidakwarasan. Ada sesuatu yang harus aku pastikan tentangnya. Untuk itu aku butuh seseorang yang bisa aku manfaatkan untuk menguji hipotesisku. Walau ini sangat berisiko dan bisa membuatku mati sebelum waktuku habis. Tetapi, apapun resikonya aku harus membuat keputusan.
“Tik,” panggilan itu membuatku membuka mata dengan terpaksa.
Seorang cowok yang aku kenal duduk di sampingku. Entah kenapa saat melihatnya terbesit ide cemerlang di otakku.
“Dam,”
“Ho?” sahut Adam.
“Aku butuh bantuanmu.”
Adam mengernyitkan dahinya.
“Firasatku tidak enak, kamu mau bantuan apa dariku?” tanyanya penuh selidik.
Aku menyunggingkan senyumku membuat Adam tiba-tiba merinding.
“Tik, jangan menatapku begitu. Aku takut!” pintanya.
Aku mengabaikan ucapannya.
“Dam, kita ini sahabat dunia-akherat bukan?” tanyaku.
Adam mengangguk kecil.
“Iya, sih tetapi kalau kamu mati duluan, jangan paksa aku ikut lho!” ujarnya.
Aku mengangguk.
“Tenang, kalau kamu mati, aku hidup.” gurauku.
“Tidak lucu!” dengusnya kesal.
“Jadi, apa yang kamu inginkan?” tanya Adam lagi, penasaran.
“Aku ingin kamu membunuh pacarmu!” jawabku dengan menyeringai.
Adam bergidik ngeri mendengar pernyataanku. Cowok itu hanya menatapku dengan ekspresi shock yang teramat sangat. Bagaimanapun caranya aku harus membujuknya agar mau melakukan apa yang aku minta. Aku harus memastikan sesuatu.
“Pacarku yang mana yang hendak kamu bunuh?” tanya Adam sesaat setelah shock-nya mereda.
Aku mendecih mendengar pertanyaan konyol Adam.
“Sebenarnya pacarmu ada berapa?” tanyaku BT.
“Sejauh yang aku ingat, masih bisa dihitung, antara 11 dan 12 orang.” jawab Adam dengan wajah polosnya.
Aku menghela napas ringan.
“Erika,” kataku mempertegas.
Adam langsung menggeleng cepat.
“Tidak mau dan tidak mungkin bisa,” tolak Adam tegas.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Dia itu bisa membaca pergerakanku, Tika. Kalau dia tahu aku berniat membunuhnya, aku yang akan mati duluan,” Adam menjelaskan.
"Kalau begitu kamu harus membunuhnya sebelum dia menyadari niatmu," ujarku.
Adam menghela napas panjang.
"Lagian untuk apa kamu membunuhnya, Tik? Kamu cemburu?" tanya Adam kepedean.
Aku memonyongkan bibirku.
"Ogah banget cemburu padamu," dengusku kesal.
Adam tertawa terbahak.
"Kalau memang kamu berniat membunuh Erika, aku akan membantumu. Tapi," Adam menghentikan ucapannya.
"Tapi apa?" tanyaku penasaran.
"Kamu bisa jamin kalau kita tidak akan ketahuan?" tanya Adam dengan wajah serius.
"Memangnya kenapa? Kamu takut masuk penjara?" tanyaku penasaran.
Adam menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku hanya tidak ingin melakukan suatu rencana yang gagal." sanggah Adam.
Aku terpaku mendengar jawaban Adam. Entah kenapa aku merasa jawaban yang dia berikan berasal dari hatinya, bukan sandiwara ataupun pura-pura.
"Tenanglah, aku akan menghidupkan Erika lagi setelah membunuhnya." pungkasku.
Adam tersenyum kecil.
"Kalau kamu bisa begitu, kenapa kamu tidak hidupkan lagi ayahmu?" tanya Adam.
Aku terbahak mendengar pernyataan Adam.
"Percayalah, ayahku tidak akan sudi aku melakukan itu," jawabku dengan yakin.
Adam mengangkat kedua bahunya.
"Terserah kamu sajalah," ujarnya mengalah.
"Jadi, apa kamu bersedia membantuku?" tanyaku.
Adam mengangguk pasti.
"Jadi, bagaimana rencanamu?" tanya Adam.
Aku tersenyum penuh arti. Aku pun langsung memberitahukan rencanaku pada Adam.
***
Angin sore berhembus sepoi-sepoi membuat suasana tegang di antara aku dan Erika semakin memanas. Adam telah berdiri di antara kami walau jarak diantara kami bertiga lumayan jauh.
"Untuk apa kamu membawaku kesini, Tik?" tanya Erika curiga.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan darinya.
"Aku tahu kamu siapa," ujarku mengabaikan pertanyaan darinya.
"Memangnya aku siapa?" tanya Erika ketus.
"Watcher,"
Erika melebarkan pupil matanya, terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Kamu? Bagaimana bisa kau-" Erika mengernyitkan keningnya.
"Oh! Si Anjing." Erika melanjutkan.
Ekspresi kaget cewek berambut pendek itu menghilang. Sungguh perubahan ekspresi yang cepat sekali.
"Kalau kamu tahu, memangnya kenapa?" tanya Erika santai.
Aku menghela napas ringan.
"Aku ingin melawanmu," jawabku.
Erika terkekeh mendengar jawabanku.
"Kamu helper!?" tebaknya.
Aku menggaruk-garuk daguku, heran karena Erika langsung bisa menebak jati diriku yang sudah aku sembunyikan selama setahun ini.
"Kau ingin tahu bagaimana aku bisa tahu jati dirimu?" tebak Erika.
Aku mengangguk mengiyakan.
Sungguh menyebalkan karena Erika seolah bisa menebak apa yang aku pikirkan.
"Keluargamu adalah musuh bagi keluarga kami. Kau tidak tahu itu?" ujar Erika dengan senyum mengejek.
Aku hanya diam saja. Sejujurnya aku memang tidak tahu banyak mengenai sejarah keluargaku. Karena sebenarnya menjadi seorang helper! bukanlah keinginanku. Seandainya bisa, aku ingin menolak takdir yang menyebalkan ini.
"Majulah!" Erika menantangku.
Aku melangkahkah kakiku menuju dirinya. Aku sudah menyiapkan s*****a di balik telapak tanganku.
Aku sudah berada tepat di hadapan Erika.
Tanpa diduga cewek berambut pendek itu langsung menodongkan sebilah pisau padaku. Aku hanya berdiri tidak bergeming sedikitpun di situasi yang genting ini.
"Apa kata terakhirmu?" tanya Erika.
"Jawab pertanyaanku," jawabku.
Erika terkekeh.
"Tergantung pertanyaan yang akan kamu ajukan," jawabnya santai.
Aku tersenyum menanggapi jawaban darinya.
"Apa kamu membunuh Rio?" tanyaku.
"Tidak," jawab Erika.
"Aku tidak akan membunuh seseorang dengan tanganku sendiri." kata Erika menimpali.
"Benarkah?" tanyaku ragu.
Erika mengangkat sebelah alisnya.
"Maksudmu?" tanya Erika tidak mengerti
Aku memukul tangan Erika yang memegang pisau sehingga pisau itu terjatuh. Secepat kilat aku raih tangannya, menariknya dan memutarnya ke belakang sehingga Erika merintih kesakitan.
Selanjutnya aku gengam tangan Erika yang lain.
"Read!”
Aku pejamkan mataku, mencoba menyalin ingatan Erika sebanyaj mungkin.
"Tidak," teriak Erika.
Jleb.
Brak.
Aku melemas dan terjatuh. Sebuah pisau menusuk punggungku dari belakang.
Aku pandangi langit sore yang mulai merah. Dua sosok yang aku kenal berdiri di hadapanku.
"Bagaimana selanjutnya?" tanya sosok itu.
"Tinggalkan saja dia," jawab Erika.
Kedua orang itu pun pergi.
Aku menggerakkan tanganku dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Dengan bibir yang mengering dan napas kehidupanku yang mulai pudar, aku mulai melakukan planning B dari rencanaku.
"Reset."
***
"Untuk apa kamu membawaku kesini, Tik?" tanya seorang cewek dihadapanku.
Aku mengernyitkan kening.
"Kamu siapa?" tanyaku.
Cewek berambut pendek itu mengernyitkan keningnya.
"Kamu tidak tahu aku siapa?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Cewek berambut pendek itu tersenyum penuh arti.
"Lupakan saja, kita memang tidak saling mengenal," ujarnya lalu pergi.
"Doggy," teriaknya.
"We win," katanya melanjutkan lalu pergi.
Aku masih berdiri di tempatku. Aku pandangi cewek berambut pendek itu yang berjalan dengan seorang cowok. Aku hanya melihat punggungnya sehingga tidak tahu wajah cowok itu.
"Apa yang sedang aku lakukan di sini?" bisikku pada diri sendiri.
Aku menghela napas panjang lalu beranjak pergi dari tempat itu.