8

2594 Kata
"Jadi?" Adam menatapku lekat. "Kamu akan membunuhnya?" tanya Adam. Aku menghela napas panjang. "Entahlah," jawabku bingung. "Waktu kita hanya sebentar, Tik!" kata Adam mengingatkan. "Aku tahu," ucapku. "Lalu?" "Ibunya," aku terdiam. "Harus mati," "Tidak!!" Aku tersentak kaget, menatap cowok berambut duri yang duduk di depanku dan Adam. Saat ini kami sedang di mobil cowok berduri. Kami akan menyusul Rio. Aku sudah memberikan perintah pada Rio dan semua tergantung pada cowok berkacamata itu. "Jangan teriak!" tegur Adam. Cowok berambut duri itu buru-buru mengunci mulutnya. "Jadi, kalian berdua ini siapa?" tanyanya masih bingung. "Aku Tika dan ini Adam," kataku memperkenalkan diriku dan Adam. "Kenapa kalian melakukan itu padaku?" tanyanya. "Klienku," aku menggaruk-garuk kepalaku. "Mengajukan permintaan," imbuhku. Cowok berambut duri itu mengernyitkan keningnya. "Siapa klienmu? Memangnya kamu siapa?" tanyanya bertubi-tubi. Aku terdiam. "Anggap saja aku jin botol pengabul permintaan," ucapku ngawur. Adam  yang duduk di sebelahku ngakak. "Tidak ada perumpaan lain, Tik?" ucap Adam sambil tertawa cekikikan. "Diam!" tegurku kesal. Adam cuek, masih tertawa dengan puasnya. "Lalu kamu?" tanya cowok itu pada Adam. "Aku? Anggap saja aku pelindung jin botol," jawab Adam lantas tertawa lagi. "Diam, Dam! Kamu lama-lama menyebalkan!" gerutuku kesal. Adam mengatubkan bibirnya. "Aku bercanda, Tik!" ucapnya. "Tidak lucu," dengusku kesal. "Maaf, deh!" Aku terdiam. "Jadi, perintahmu pada si cupu, benar-benar akan dilaksanakannya?" tanya Adam dengan nada suara yang serius. Aku hanya mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, tetapi jika melihat karakter Rio dia pasti melakukannya," "Jadi, sebenarnya apa permintaan klienmu?" tanya Adam penasaran. Aku menghela napas panjang. "Hanya sebuah permintaan yang sederhana," jawabku. "Sederhana?" Aku mengangguk. "Apa?" tanya Adam masih belum mengerti. "Dia ingin," aku terdiam menatap pantulan diriku di kaca mobil. "Apa?" tanya Adam lagi. "Ah, sudahlah! Nanti kamu juga tahu," Adam manyun. "Dasar miss secret," dengus Adam kesal. Aku mendecih. "Bodo," Adam berdecak. "Annoying helper!" ejeknya. "Setidaknya kaumku lebih tinggi darimu," "Hah?" "Kaumku itu-" "Diamlah! Aku ingin tidur!" potongku. Kugeser headphonku ke telingaku lalu kusandarkan kepalaku pada bahu Adam. "Eh?" kata Adam kaget. "Jangan bergerak, aku pinjam sebentar!" cegahku saat Adam hendak menjauhkan dirinya. "Aku sungguh ingin tidur," Adam terdiam. "Baiklah," Kupejamkan mataku dan mulai tertidur di bahu Adam. *** Author’s POV Cowok berkacamata itu mendekat ke cewek itu. Dipandangnya lekat lalu dia mengeluarkan pisau dari balik bajunya. Cewek itu terkejut. "Rio, apa yang kamu lakukan?" tanyanya ketakutan. "Kamu harus mati," kata Rio sembari mengayunkan pisau di tangannya pada cewek itu. "Tidak!!" teriak cewek itu sembari mengatubkan kedua tangannya depan d**a. "Jangan!! Jangan!! Jangan bunuh aku! Ampuni aku!!" katanya penuh harap. Rio terdiam. "Kalau begitu, mengapa kamu ingin membunuhnya?" tanya Rio. Cewek itu menurunkan kembali tangannya. Dia membuka lagi matanya dan menatap Rio yang sudah menurunkan lagi pisaunya. "Siapa?" tanya cewek itu. "Zahara," Cewek itu terdiam. "Darimana kamu tahu?" tanyanya heran. "Tuanku memberitahukannya padaku," jawab Rio. Cewek itu menghela napas. "Tuanmu?" tanya cewek itu bingung. Rio mengangguk. "Tuanku adalah helper! dan Zahara adalah kliennya," kata Rio menjelaskan. "Hah? Kamu bercanda? Lawakanmu sungguh garing," dengusnya kesal. "Aku sedang tidak bercanda," kata Rio serius. Cewek itu mendecih. "Zahara," cewek itu mengusap perutnya. "Dia hanya janin umur 5 bulan," katanya melanjutkan. "Aku tahu," "Heh?" "Tapi dia bernyawa, Sonia!" Sonia menatap lekat Rio. Dia juga berhak hidup," imbuh Rio. Sonia tertunduk. "Tapi aku membencinya, aku tidak menginginkannya," "Mengapa? Bukankah si rambut duri setuju menikahimu?" tanya Rio heran. Sonia lagi-lagi hanya mengernyitkan keningnya. "Kamu juga tahu ayahnya? Wah, tuanmu sungguh luar biasa," pujinya setengah tidak percaya. "Tapi, ayahnya bukan Faris atau si rambut duri seperti yang kalian duga, ini anak orang lain!" Rio mengenyitkan keningnya. "Ini anak dari ayahnya Faris," imbuh Sonia membuat Rio melebarkan pupil matanya. "Kamu-" "Ya, aku diperkosa!" Rio menelan ludah, entah mengapa mendadak tenggorokannya terasa kering dan sakit. "Karena itulah Zahara tidak boleh lahir ke dunia, karena itulah aku membencinya, karena itulah aku," Sonia mulai terisak dan menangis. Rio terdiam. Handphonenya berbunyi sekali lagi. Dia pun mengangkatnya. "Rio," suara di seberang sana terdengar. "Ya, Tik?" sahut Rio. "Apa kamu sudah mengetahuinya?" "Soal apa?" tanya Rio. "Kalau cewek itu diperkosa," jawab suara itu. Rio mengangguk. "Iya, aku baru saja tahu," "Baguslah," "Sekarang dengar baik-baik apa yang akan kukatakan," katanya menekankan. Rio mengangguk sekali lagi dengan sorot mata penuh keyakinan. "Zahara akan meninggal sepuluh menit dari sekarang," "Eh?" Rio kaget. "Haruskan kulakukan sesuatu?" tanya Rio. "Tidak!" jawab suara itu tegas. "Aku sedang dalam perjalanan kesana dan menurut pandangan Adam, dia juga akan datang!" "Maksudmu dia itu-?" "Ya, b*****h itu!" "Apa yang harus kulakukan?" tanya Rio lagi. "Bantu aku mengabulkan keinginan Zahara," "Baiklah, apa itu?" tanya Rio sungguh-sungguh. "Keinginan terakhir Zahara adalah permintaan maaf dari ayahnya," *** Aku, Adam dan si rambut duri sudah tiba di rumah sakit. Kami sedang berdiri di parkiran, menunggu kedatangan seseorang. "Jadi, apa dia sudah di jalan?" tanya Adam pada di rambut Duri. Si rambut duri mengangguk. "Iya, ayahku sudah dalam perjalanan. Jadi, apa yang kalian katakan tadi padaku itu benar?" tanyanya masih ragu. "Apa kamu mau melihat sekali lagi apa yang kuperlihatkan?" tanya Adam. Si rambut duri menggelengkan kepalanya. Tidak usah, melihatnya sekali saja sudah mengiris jantungku," ucapnya pelan. Dari nada suaranya, aku yakin dia akan sangat terluka. "Jadi, apa kamu akan melawannya?" tanyaku. Si rambut duri mengangguk. "Ya, meski aku tidak terlalu yakin bisa melakukannya!" jawab si rambut duri dengan yakin. "Kamu tidak perlu melakukan apapun, aku yang akan melakukannya!" ucap Adam tegas. "Kalian tidak akan membunuh ayahku bukan?" tanyanya memastikan. Aku menggeleng. "Kami tidak akan membunuh kecoak sekelas ayahmu," jawabku. "Kecoak?" "Iya, kecoak! Apa kamu keberatan aku mengatainya begitu?" tanyaku sembari menatap si rambut duri dengan tajam. Dia tersenyum. "Ayahku bukan kecoak, dia tikus!" sanggahnya. "Pfft," Adam tertawa. "Hei, Dam! Hentikan!" tegurku. Adam berusaha menghentikan tawanya. "Itu sungguh lucu, kamu mengatakan itu seolah kamu sudah tahu kebusukan ayahmu. Tapi, kamu bahkan tidak bisa melindungi orang yang kamu cintai dari tangan kotornya," sindir Adam. Si rambut duri tertegun. Ada guratan penyesalan tergambar jelas di wajahnya. "Aku ingin menebusnya," katanya dengan wajah murung. "Kalau membunuh ayahku bisa menebus dosaku, aku akan melakukannya!" katanya yakin. "Benarkah?" tanyaku ragu. Si rambut duri mengangguk yakin. "Kalau begitu, bunuh dia!" suruhku. "Hah? Tik, kamu-," "Dam!" Adam terdiam. "Mari kita lihat sejauh apa kesungguhannya!" kataku dengan serius. Adam hanya mengangguk mengiyakan keinginanku. "Ini!" Adam memberikan sebilah belati kecil pada si rambut duri. "Belati ini penuh dengan racun mematikan, menyentuh kulit sedikit saja akan membuat pemilik kulit itu melepuh dan mati dalam seperkian detik!" kata Adam menjelaskan. "Kamu tidak perlu membunuhnya jika kamu ragu," imbuh lagi. Si rambut duri menggeleng. Dia mengambil pisau belati yang Adam sodorkan. "Aku pasti akan membunuhnya!" ucapnya yakin. Aku hanya tersenyum kecil. "Kita lihat saja nanti," "Tik!" panggil Adam sembari menunjuk  sesuatu. Aku ikuti arah tangannya dan si Tikus sudah tiba. "Permainan baru dimulai," gumamku. "Dan, ini akan menarik!" imbuh Adam. Kami berpandangan dengan senyuman penuh arti menghias di bibir kami. *** Author's Pov Si Tikus berjalan masuk ke sebuah ruangan. Dengan setelan jasnya, dasi panjang berwarna merah muda dan juga perut buncit mirip gentong, dia melihat ke seorang cewek yang langsung menciut dan ketakutan saat melihatnya. "Sonia," katanya dengan nada cemas. "Apa kamu sudah memberitahukan keadaanmu pada Hamzah?" tanyanya. Sonia hanya menatapnya dengan ketakutan. Rio yang berdiri di samping ranjang Sonia hanya menatap malas ke tikus itu. Si Tikus tertegun melihat seorang cowok asing berada di dekat Sonia. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada suara tidak suka. "Saya Rio," jawab Rio tanpa gentar sedikitpun. "Ah, ternyata kamu memang cewek murahan ya," si Tikus mulai menunjukkan giginya. "Ah, aku jadi punya alasan untuk membuatku berpisah dari anakku " ucapnya licik. Rio mendecih kesal mendengar pernyataan si tikus. "Anda memang luar biasa," kata Rio. "Apa maksudmu?" tanya si Tikus. "Kamu menghamili pacar anakmu dan mengatainya cewek murahan hanya karena kamu melihatku dengannya, apa pikiranmu sesempit itu?" sindir Rio. "b*****h! Kamu sedang bicara dengan orangtua, dimana letak sopan santunmu?" si Tikus murka. "Jangan pernah menaikkan suaramu padaku, Pak Tua!" ancam Rio. "Memangnya kenapa?" tantang si Tikus. "Karena kamu akan menyesal," ucap Rio bersungguh-sungguh. "Kamu siapa berani-beraninya mengancamku!!" si Tikus semakin murka. Rio berjalan pelan menuju si Tikus dan si tikus hanya berjalan muncur. Rio melewatinya dan membuat si tikus menghela napas. Rio membuka pintu kamar dan masuklah tiga orang, dua cowok dan satu cewek. "Lama sekali, aku sudah mau muntah disini!" gerutu Rio pada cewek berambut panjang. Cewek berambut panjang itu hanya tersenyum. "Mundurlah! Pangeran yang akan mengambil alih!" suruhnya pada Rio. Rio mengangguk. "Baiklah, aku pergi dulu!" kata Rio lalu keluar. "Rio, tunggu!" cegah cewek itu. "Ada apa lagi, Tika?" tanya Rio agak kesal. "Soal itu, apa sudah kamu lakukan?" tanya cewek bernama itu. "Ah, wakening maksudmu?" tanya Rio memastikan apa yang Tika maksud. Tika mengangguk. "Tenang, lima menit lagi akan aktif!" ujar Rio. "Oke, pergilah! Pastikan tidak ada yang mengganggu!" ucapnya Rio mengangguk. "Oke," Pintu kamar ditutup. "Hamzah!!" Si tikus terkejut saat melihat anaknya muncul dari belakang Tika. "Ayah, kenapa kamu lakukan itu pada Sonia? Hamzah sangat menyukai Sonua! Mencintainya!!" kata Hamzah marah. "Ayah tidak melakukan apapun!" bantah si tikus. "Tidak melakukan apapun? Ayah memperkosanya!!" sanggah Hamzah. "Itu kecelakaan!" bela si tikus. "Kecelakaan? Hamzah sudah tahu semuanya ayah!" Si tikus menggaruk-garuk kepalanya yang rada botak. "Tidak, itu anakmu Hamzah! Ayah hanya tidur satu kali dengan Sonia dan-," "Dan Hamzah bahkan tidak menyentuh Sonia sama sekali!" Si tikus terpaku. "Tapi, bagaimana bisa kamu-," "Hamzah sudah tahu sejak awal itu bukan anak Hamzah, Yah! Tapi tidak pernah terpikir kalau ayah dari bayiku itu adalah ayahku sendiri!" Si Tikus dan Sonia terpaku. "Aku membenci kenyataan ini!" Hamzah melirik Sonia. "Kurang baiklah aku padamu selama ini? Aku bahkan ingin mengakui anak itu sebagai anakku dan menikahmu, lalu kenapa kamu mencoba melenyapkan Zahara?" tanya Hamzah dengan airmata yang mulai menggenang. Sonia menundukkan kepalanya. "Jadi, kini saatnya ayah lenyap!" Si tikus terpaku saat Hamzah berlari dengan pisau belati di tangannya. Jleb. Brak. Tubuh Hamzah tersungkur ke lantai rumah sakit yang dingin. Adam telah menjatuhkannya dalam satu hentakan. Pisaunya hampir mendarat di tubuh ayahnya seandainya Adam tidak mengorbankan tangannya untuk menerima tikaman pisau itu. "Kamu baik-baik saja?" tanyaku pada Adam. Adam mencabut pisau di tangannya dan membuangnya ke lantai. "Jangan remehkan aku, Tika! Aku ini kaum watcher!" ujar Adam sedikit kesal. Aku tersenyum. "Ya, dan aku tahu kamu tidak akan mati karena air bukan?" ucapku. Adam terkekeh. "Jadi kamu menyadarinya kalau tidak ada racun di pisau ini?" tanya Adam. "Tentu saja ketahuan," ucapku. Adam tersenyum. Cowok itu mengepalkan tangannya dan perlahan luka di tangannya mengering. "Hei.. Kamu juga bisa begitu?" ucapku kagum. "Tentu saja, tetapi hanya jika kami melakukan kebaikan!" ucapnya. Aku tersenyum geli mendengar pernyataannya. "Jangan bilang ini kebaikan, tugasmu belum selesai," sanggahku. "Tugasku? Ini tugasmu, oon!" ledeknya. "Di belakangmu!" kataku. Adam berbalik, berhadapan dengan ayah Hamzah, si b*****h dalam kasus ini. "Apa, apa yang akan kamu lakukan padaku?" kata si b*****h panik saat Adam mulai berjalan mendekatinya. "Hanya," Adam tersenyum. "Memperlihatkan sesuatu yang menyenangkan!" Adam meletakkan tangannya di kedua mata si b*****h. Dalam hitungan detik, lelaki itu terjatuh dan langsung menerima hadiah 'ilusi' yang Adam tanamkan di pikirannya. Aku mendekati Hamzah dan membantunya berdiri. "Hamzah," Hamzah hanya bungkam. Lelaki itu menangis dan itu entah mengapa membuatku sedikit merasakan kepedihannya. Dia terluka? Sudah pasti. Namun, aku yakin di sudut jiwanya rasa marah karena tidak bisa melindungi Sonia lebih besar dari lukanya. Hamzah berjalan pelan menuju Sonia yang hanya menunduk dengan wajah penuh penyesalan. "Kenapa kamu ingin membunuh Zahara?" tanya Hamzah. Sonia terdiam. "Mengapa kamu masih ingin membunuhnya? Mengapa? Sudah kukatakan akan kunikahi kamu! Akan kujaga kalian!" Hamzah mengamuk. Sonia mulai terisak. "Mengapa? Mengapa, Sonia? Jawab!" bentak Hamzah. Ah, airmatanya kembali menetes. "Aku membencinya!! Aku jijik!" jawab Sonia dengan airmata yang telah tumpah. "Dia bukan anak yang kuinginkan! Aku ingin anak darimu, bukan ayahmu!" Sonia melipat kedua lututnya dan menangis tersedu. Aku menghela napas menatap dua orang yang saling mencintai saling meratapi hal yang di luar kendali mereka. Kutatap jam tangan di elngan kiriku. "Sebentar lagi," ucapku lirih. "Apa dia akan tetap pergi?" tanya Adam yang berdiri di sampingku. Aku mengangguk. "Ya," jawabku pelan. "Tidak bisakah kita mempertahankannya?" tanya Adam. Aku menggeleng pelan. "Aku helper!, Adam! Bukan Tuhan!" Adam menghela napas panjang. "Jadi, bagaimana mengabulkan keinginan Zahara jika begini?" tanya Adam sambil menunjuk si b*****h yang hanya menjerit tidak jelas karena ilusi Adam. Aku tersenyum. "Tunggulah! Zahara yang akan melakukannya!" ucapku. Adam menautkan alisnya. "Maksudmu?" tanya Adam tidak mengerti. Aku tersenyum penuh arti. "Sang Lucifer tengah menjemputnya," jawabku. Adam tersenyum lalu memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya. "Baiklah, kita hanya melakukan pembersihan setelah semua ini berakhir!" ucap Adam. Aku mengangguk. "Iya," Kupandang Sonia dan Hamzah yang kini berpelukan. Entah apa yang mereka bicarakan hingga keadaan mereka telah baikan. Aku sungguh tidak memahami hati manusia, bahkan meski aku ini juga manusia. Lalu, kulihat Sonia mulai memegangi perutnya. Darah segar itu tampak menetes dari paha putihnya dan mengotori sprei ranjang kasurnya. Hamzah terlihat panik. Lelaki itu tampak keluar, hendak memanggil dokter. Namun, semua menjadi terhenti. Diam, tidak bergerak. Cahaya terang muncul bersamaan keluarnya 'Zahara' dari tubuh Sonia. Dia-Seorang gadis dengan rambut panjang yang memukau serta cahaya yang berkilauan muncul. Ya, dia Zahara. Seandainya dia hidup, begitulah penampilannya saat remaja. Zahara berjalan mendekati seorang lelaki tua yang sedang menatapnya takjub. Lelaki itu tampak berbeda, terdapat sebuah lubang besar di dadanya dengan rantai yang terhubung ke sebuah tonggak besar. Penampilannya menyedihkan dan entah kenapa tubuhnya penuh luka. "Maaf, maafkan aku!" ucap lelaki tua itu. Zahara hanya tersenyum. "Ayah," Lelaki tua itu meneteskan airmatanya. Zahara tersenyum. "Aku tidak pernah menyesal ayah, Meski tercipta dari sebuah kesalahan, Aku tidak membencimu ayah, Justru sangat berterimakasih, Karena dirimu aku ada, Aku hanya membenci keadaan, Yang membuat aku tidak diinginkan, Aku membenci keadaan ayah Sungguh, aku menyanyagimu Kata maaf dan penyesalan mu, Sudah cukup bagiku ayah. Terimakasih," Lalu Zahara menghilang setelah mengucapkan salam perpisahan. Semua pun menjadi normal kembali. *** Aku menatap Adam yang sejak tadi menatapku. Dia menyipitkan matanya dengan sejuta pertanyaan yang meski tidak terucap tetapi sangat jelas terlihat. "Ada apa?" tanyaku. "Tadi itu apa?" tanya Adam heran. "Apanya?" tanyaku berpura-pura. "Ayolah, Tika! Aku ini bukan orang yang bisa kamu bohongi! Itu tadi apa?" tanya Adam lagi. "Iya, yang mana?" tanyaku lagi. "Bagaimana bisa janin muncul dan berubah begitu?" tanya Adam mulai melontarkan pertanyaannya. Aku melirik Rio yang duduk di sampingku. "Itu ulahmu Cupu?" tanya Adam penuh curiga. Rio hanya meneguk es tehnya, tidak menjawab pertanyaan Adam. "Cih, menyebalkan!" dengus Adam kesal. Aku tertawa geli. "Itu kemampuan kaum lucifer, Dam! Membangkitkan arwah seseorang dengan wujudnya saat di akherat!" kataku menjelaskan. "Bukankah dia hanya janin?" tanya Adam masih bingung. "Janin pun bisa memiliki wujud saat di surga," Rio mulai angkat bicara. "Eh, ah! Bukankah kamu lucifer? Bukankah seharusnya kamu hanya mengurusi soal neraka?" tanya Adam lagi. Rio mendecih. "Aku keturunan Lucifer, lagipula sebelum Lucifer yang agung terusir dari surga, dia adalah malaikat teragung!" kata Rio menjelaskan. "Oh," Adam ber-oh-ria. "Lalu, ada hal yang membuatku penasaran Tika," "Apa?" tanyaku. "Mengapa kamu memintaku menghapus ingatan ayah Hamzah?" tanya Adam lagi. "Karena dia tidak harus mengingat hal itu," "Mengapa?" tanya Adam belum puas dengan jawabanku. "Karena Zahara hanya harus diingat oleh Hamzah dan Sonia," jawabku tegas. "Ah, jadi karena itu kamu memintaku memanipulasi ingatan mereka?" tanya Adam mulai mengerti. Aku mengangguk. "Jadi, meski Zahara pergi, setidaknya mereka mempercayai kebohongan bahwa Zahara itu adalah anak mereka berdua," ucapku sembari menatap langit di atasku. "Hm," Adam bergumam sembari menghembuskan napas kecil. "Jadi, klienmu selanjutnya siapa?" tanya Rio yang membuatku langsung manyun. "Ah, aku lupa! Saat tugasku selesai, aku harus mencari klien baru!" keluhku. Rio tertawa. "Aku sudah memakai kekuatanku, Tika! Jadi, klien kali ini aku tidak bisa membantumu!" kata Rio mengingatkan. Aku mengangguk. "Ya, aku tahu!" Rio memperbaiki letak kacamatanya. "Jika dugaanku benar, klien ketigamu akan jauh merepotkan!" kata Rio meramalkan. "Hah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN