Setelah selesai mengundurkan diri dari pekerjaannya, kini Farah kembali berjalan pergi menuju Mall untuk membeli dress yang akan ia kenakan besok malam untuk makan malam bersama keluarga Dion.
Setelah menelusuri satu persatu Mall sekitar setengah jam, akhirnya Farah telah menemukan dress berwarna merah yang cocok untuknya. Farah membawanya ke kasir dan mengantre sesuai urutan antrean.
Tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya terkejut dalam sekejap.
Farah melihat sosok tinggi mirip seperti Dion sedang menemani seorang wanita cantik memilih sebuah gaun di sana.
“D-Dion?”
Sosok tersebut juga kerap kali membelai lembut rambut sang wanita. Farah mengusap matanya untuk benar-benar memastikan bahwa apa yang ia lihat adalah benar.
Namun sayangnya, pria dan wanita tersebut sudah berlalu pergi meninggalkan Mall tersebut.
Apakah mungkin itu adalah Dion?
Deg!
Jantung Farah mulai berdetak lebih cepat dari biasanya tatkala melihat pemandangan itu. Dunia bahagia yang ia impikan bersama Dion seakan hancur begitu saja. Rasanya seperti Dion meruntuhkan semesta bahagianya dengan cepat.
“Tidak mungkin itu Dion. Mungkin hanya mirip dengannya.” kata Farah seraya meyakinkan dirinya. Ia langsung membuang pikiran negatifnya tersebut.
Lagi dan lagi.
Pemandangan itu terlihat tampak semakin jelas. Ia seperti tak asing dengan wajah tersebut yang mirip dengan wajah milik Dion. Namun Farah tidak bisa memastikan dengan jelas bahwa sosok itu Dion atau bukan. Pasalnya, sosok pria itu memakai masker di wajahnya yang membuat Farah masih ragu dengan apa yang dilihatnya sendiri.
“Mbak?”
“…”
“Mbak?”
“…”
“Mbak?”
“Eh, iya.” kata Farah tersadar saat pegawai kasir tersebut menyadarkannya. Dengan cepat ia membayar dengan jumlah nominal yang disebutkan.
Setelah selesai membayar, Farah rupanya masih penasaran dengan apa yang ia lihat. Ia berlari kecil sembari mencari sosok yang mirip dengan calon suaminya tersebut.
Farah menelusuri satu persatu bagian Mall, berusaha keras untuk mencari sosok tersebut. Matanya melihat dari satu sisi ke sisi lainnya. Farah juga memberanikan diri untuk bertanya kepada beberapa pengunjung Mall perihal ciri-ciri sosok pria tersebut. Akan tetapi usahanya nihil, tidak ada salah satu pun' pengunjung Mall yang menemukan atau berpapasan dengan pria dan wanita itu. Ya, Farah gagal menemukannya.
Pikiran dan hatinya seperti bingung dengan situasi yang ia hadapi sekarang. Apakah benar sosok tersebut adalah Dion?
***
Sekarang, Farah sudah berada di atas jok motornya. Ia akan pulang ke rumah. Farah mulai menancapkan gasnya dan berlalu pergi dari pusat perbelanjaan tersebut.
Di sepanjang jalan, Farah hanya bisa melamun seperti orang banyak pikiran. Tatapan matanya kosong namun masih memperhatikan jalan di depannya.
Entah mengapa dirinya seketika itu juga langsung teringat dengan apa yang dikatakan seorang wanita yang merias dirinya saat acara lamarannya dengan Dion. Ya, wanita itu pernah memberikan wejangan padanya untuk berhati-hati kepada pria terlebih lagi cinta pertama.
"Biasanya kalau baru pertama kali jatuh cinta pasti ada sakit hatinya juga, Mbak."
"Sakit hati?"
"Iya, karena nggak selamanya cinta pertama itu berjalan mulus. Contohnya aja kayak anak muda, mereka kerap kali jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang berbeda di setiap masanya. Mereka nggak stuck di cinta pertama karena kebanyakan cinta pertama itu kadang kerap menyakitkan dan menjadi pembelajaran hidup."
Lagi dan lagi Farah kembali mengingat perkataan perias make up tersebut hingga dirinya tak sadar jika di depannya terdapat pejalan kaki yang sedang melewati jalan.
Tin… Tin…
Brukkk…
Karena terkejut, Farah mengerem mendadak dan refleks terjatuh dari motor demi menghindari pejalan kaki tersebut. Terlihat kulitnya mengelupas dan mengeluarkan darah segar.
Baru saja ia merasakan pedih dari luka jatuhnya tersebut, Farah dimarahi oleh pejalan kaki dan juga beberapa masyarakat yang berada di sana. Dirinya diteriaki begitu saja karena tak bisa mengendalikan motornya.
“Neng yang benar dong kalau bawa motor!”
“Gimana sih? Bisa bawa motor nggak?!”
“Matanya di taruh dimana, Mbak?!”
“Cantik-cantik kok dodol!”
“Lain kali pakai mata Mbak, kalau bawa motor! Jangan pakai dengkul!”
“I-Iya, kak. Maaf.” ucap Farah meminta maaf atas perilakunya yang merugikan masyarakat.
“Maaf-maaf! Enak banget kalau ngomong! Kalau misalnya saya ketabrak gimana?”
Farah kembali meminta maaf berulang kali karena tak tahu harus bicara apa lagi. Tak ada satupun orang di sana yang menolongnya. Ia berusaha untuk bangkit berdiri bersama motornya yang nampak lecet. Dirinya menepi ke trotoar yang ada di sana.
Sebuah mobil ikut menepi di samping trotoar dan berhenti tepat di samping Farah yang tengah duduk di atas trotoar.
Farah mendongak ke depan melihat siapa sosok tersebut, dan ternyata ia adalah Gibran.
“Gibran? Kenapa kamu di sini?”
“Seharusnya gue yang tanya sama lo Farah. Lo ngapain di sini?” Gibran balik bertanya kepada Farah, sedetik kemudian pandangannya teralihkan kepada kaki Farah yang masih mengeluarkan darah, “lihat kaki lo berdarah! Lo habis jatuh dari motor ya?”
“Iya, Gib.”
“Astaga kok bisa sih?!”
“Melamun tadi, nggak konsen jadinya.”
“Ya ampun, ada-ada aja sih, lo! Bentar gue ambil tisu di mobil dulu.” cetus Gibran sembari menceramahi Farah, ia dengan cepat mengambil tisu dari mobilnya dan langsung membersihkan luka Farah.
“Lo itu yang benar kalau bawa motor, Far! Jangan melamun! Ini jalan raya bukan jalan sepetak!”
“Iya, Gibran.”
“Lo juga kenapa melamun? Apa yang lo pikirin coba?”
Farah langsung menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau Gibran tahu yang sebenarnya terjadi. Lagipula menurut Farah, ia hanya salah lihat saja. Tidak mungkin Dion akan melakukan hal tersebut. Terlebih lagi Dion terlihat sangat mencintai Farah.
“Farah nggak mikir apa-apa kok, Gib. Cuma melamun aja.”
“Gue udah kenal lo lama, Far. Gue udah tahu lo kayak gimana. Gue kan' udah bilang, kalau ada apa-apa bilang sama gue. Gue siap bantu lo, Far. Untung aja gue lewat sini cari makan siang buat di kantor!”
“Iya, Gib.”
“Nah, anak ini malah iya-iya aja lagi. Yang tegas, Far! Lo udah mau nikah juga masih kayak gini. Kalau ada sesuatu lo harus tegas ngadepinnya.”
Farah hanya bisa mengangguk saat temannya itu memarahi dirinya. Memang sedari dulu Gibran adalah sosok yang kerap menasihati Farah seperti ini. Hal itu Gibran lakukan demi kebaikan Farah sendiri.
“Udah makan belum?”
“Belum.”
“Ayo makan, nanti gue anterin pulang.”
“Nggak usah, Gibran. Motornya nanti gimana?”
“Ditinggalin aja di situ.”
“Heh! Kalau ditinggalin nanti diambil orang!”
Gibran tertawa melihat tingkah Farah, “Ya nanti gue anterin juga ke rumah lo. Aman, tenang aja. Lo juga masih luka gitu, Far. Jangan bawa motor dulu.”
“Oke, Gib.”
***