Enam

1145 Kata
POV Anto Aku memutuskan pulang setelah bicara panjang lebar dengan ibu. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya juga, memberi Marni waktu tiga bulan untuk berubah adalah solusi dari semua masalah yang ada pada dirinya. Orang yang normal, tak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian. Pasti setiap orang menginginkan pernikahan yang sempurna, istri yang baik dan pintar mengurus dirinya, pintar mengurus rumah dan hebat mendidik anak. Jangankan mendidik anak, Marni saja tak bisa mengurus dirinya, bagaimana aku bisa berharap dia akan hebat mengurus anak? Anak dengan Marni? Apakah dia layak melahirkan anak-anakku? Setelah semua kejelekannya terasa begitu menganggu. Aku sangsi, dia bisa menjadi ibu yang baik. Sebelum masuk ke dalam rumah, kuhela nafas untuk melapangkan hati. Marni adalah wanita yang penuh kejutan. Setiap masuk rumah, pasti dia memberikan kejutan yang berbeda-beda. Sayangnya, kejutannya tak ada yang baik. Pintu terbuka sedikit, kudorong pelan. Marni terlihat asik duduk bersila sambil menyisir rambutnya. Bukan itu yang membuatku menjadi geli bercampur jijik, setiap Marni menyisir rambutnya, maka akan berjatuhan binatang menjijikkan seperti salju di musim dingin ke lantai. Kutu. "Menyisir kutu di ruang tamu?" Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari banyaknya binatang yang tengah bergerak di atas lantai keramik. Bagaimana bisa dia berpikir langsung menaruh binatang kecil itu di sana, lalu membunuhnya dengan kukunya. Ya, ampun, aku mual. "Maaf, Mas." "Apa tak ada lagi kata selain maaf, bisa saja binatang itu berjalan dan ... Astagfirullah." "Aku membunuhnya, tadi kepalaku gatal sekali." Dia masih asik menyisir, sehingga binatang itu makin banyak berjatuhan. Aku merasa darahku mendidih, apa Marni tak mengerti sindiran, seharusnya dia bergegas membereskan perbuatannya yang menjijikkan itu bukannya malah melanjutkan kegiatan yang sangat mengganggu. "Kita harus bicara, ini penting, kutunggu sepuluh menit, jangan lupa pel lagi lantainya, dan pastikan tanganmu sudah kau cuci dengan sabun." Kutinggalkan Marni, masuk ke dalam kamar, bukan kamar kami, tapi kamar tamu. Aku tak berselera masuk ke dalam kamar utama, pasti sangat berantakan. Aku hanya bisa membarut d**a melihat kamar tamu, apa tak pernah disapu? Atau luput dari perhatian ibuku siang tadi, debu terlihat jelas menempel di sana sini. Aku merasakan tengah hidup di neraka, padahal ini adalah rumahku sendiri. Kuambil sapu, kulihat Marni tengah mengepel, rambutnya sudah diikat asal. Antara ikhlas dan tidak, kusapu kamar tamu, apa gunanya aku memiliki istri kalau malah begini? Rasanya ingin menceraikan Marni sekarang juga, kesabaran semakin menipis. "Aku sudah selesai, Mas." Dia masuk, duduk di tepi ranjang, kuambil jarak yang agak jauh, mengantisipasi bau yang bisa mengacaukan pikiran dan rencanaku. "Lihat tanganmu?" Dia mengangkat tangannya, kukunya sudah terpotong pendek, pada dasarnya dia memiliki kulit dan jari yang bagus, jari-jarinya runcing dan lentik. "Menurutmu, apa itu pernikahan?" tanyaku, Marni terlihat kebingungan. Beberapa detik menunggu, akhirnya dia bersuara juga. "Pernikahan seperti ayah dan ibuku. Beliau selalu bersama ke mana pun, tak pernah bertengkar, saling menyayangi satu sama lain, saling pengertian." Aku tertawa dalam hati, saling pengertian, artinya aku harus pengertian dengan kebiasaan jorok Marni. Tidak mungkin. "Ibu dan ayahmu tak pernah bertengkar?" "Tidak. Mereka memiliki banyak ke samaan." "Oh, begitu. Contohnya?" Aku berusaha menggali hidup Marni, yang sebelumnya baru kuketahui secuil saja. "Mereka sama-sama ke ladang." "Bukan itu maksudku, kebiasaannya apakah sama?" "Kebiasaan apa?" sahut Marni. "Misalnya, pulang dari ladang, mandi dulu sebelum tidur." "Tidak, mereka tidak mandi, pulang dari ladang sudah Maghrib, setelah itu mereka makan malam dan tidur." "Tidak mandi?" "Tidak mencuci kaki?" "Itu aku tidak tau, tapi aku melihat lumpur kering menempel di kaki ayah dan ibu." "Artinya mereka tak mencuci kaki." Aku hanya menyayangkan, kebiasaan jelek itu diwarisi oleh semua anaknya. "Kalau kamu dan adik-adikmu, mandi berapa kali sehari?" Aku sudah seperti wartawan saja. "Tak menentu, kadang sekali dua hari, kadang, sekali empat hari, ada juga sekali seminggu." Aku terperangah, antara jengkel dan jijik. "Kalau kamu?" Marni menggaruk kepalanya, entah gatal karena kutu atau apa. "Sekali tiga hari." Pantas saja dia bau. Aku merasa semakin jijik padanya. "Kau tau, Marni? Kebiasaan jelek itu tak bisa kuterima?" Dia diam saja. "Pernikahan ini, bukan seperti ayah dan ibumu, yang tak berhasil memberikan teladan pada anak-anaknya perihal kedisiplinan dan kebersihan. Pernikahan itu, saling menyempurnakan, memperbaiki setiap kekurangan, bukan menerima setiap kekurangan." Marni masih memperhatikanku dengan seksama dengan matanya yang bulat. "Jika kita tak bisa saling melengkapi, pilihan cuma dua, bertahan tapi tak bahagia, atau berpisah agar tak saling membenci." "Mas, Mas mau menceraikan aku?" "Ya, jika kau tak bisa berubah." Marni menunduk. Kulihat air mata jatuh ke tangannya. Dengan Marni, aku harus lebih tega. "Padahal aku berharap, Mas bisa menggantikan ibu dan ayah." Dia berusaha berbicara di sela tangisnya. "Marni, banyak hal yang harus kau fahami, suami takkan pernah sama dengan orangtuamu, yang bisa memahamimu seratus persen. Kita lahir dari rahim yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, lingkungan yang berbeda, kemudian disatukan dalam ikatan pernikahan. Hanya dua hal yang bisa membuat kita bertahan, kesabaran dan perubahan. Aku sabar, tapi kau harus berubah, apa kau bisa berubah?" Marni mengangkat wajahnya. Tangisnya sudah berhenti, menghadapi Marni ibarat menghadapi anak usia lima tahun. "Aku takkan memaksamu berubah secara keseluruhan. Bertahap. Untuk satu bulan pertama, kau wajib mandi tiga kali sehari, agar kau tidak bau, menggosok gigi tiga kali sehari, agar mulutmu bersih." "Apa?" Marni tampak keberatan. "Kau tinggal setuju atau tidak. Jika tidak, aku tak perlu menunggu waktu untuk meninggalkanmu." "Baik," sahutnya lemah. "Kedua, hanya boleh mengeluarkan dua piring dan dua gelas dari lemari, supaya tak ada piring yang menumpuk. Setiap selesai makan, kau wajib mencucinya, aku juga akan mencuci piringku sendiri. Dua piring itu, satu punyaku, satu punyamu." Marni mengangguk. "Ketiga, wajib mencuci pakian setiap hari, melipat kain bersih tiap hari, menyapu tiap hari. Satu lagi, buang semua baju lamamu, kita akan beli yang baru." Marni mengangguk lagi. "Bagus, perubahan memang berat di awal, akan tetapi kau akan terbiasa, jika kau terbiasa hidup bersih, melihat sedikit debu saja kau akan risih. Kau bisa melakukannya?" Marni mengangguk lagi. "Satu lagi, ini agak berat." "Apalagi, Mas?" "Aku ingin kau membuang rambutmu." "Maksud, Mas?" "Botak." "Tidak!" Marni langsung bangkit, matanya menatapku nyalang. Dia marah. "Lalu, kau akan membiarkan binatang itu beranak Pinak memenuhi kepalamu?" "Aku tak mau." "Marni, semua demi kebaikanmu, tak ada gunanya badanmu bersih tapi kau masih kutuan," kataku sambil menahan emosi. "Mas selalu tega, membuatku botak, ibuku saja melarangku memotong rambut." Marni menangis lagi. "Aku bukan ibumu, Marni. Jika kau ingin berubah, turuti kataku, jika kau tak mau, kita berpisah saja." "Kenapa Mas menikahiku? Aku tau betul Mas tak suka padaku!" "Jangan mulai lagi, aku lelah bertengkar terus, aku cuma memberimu waktu tiga bulan, jika usahaku tak berhasil, kau kukembalikan pada keluargamu. Kau faham? Belajarlah! Jangan anggap saran dan masukan adalah penghinaan dan cacian. Kau cantik, tapi kau tak mensyukuri kecantikanmu, untung saja kau tak panuan, kalau kau panu, tak ada maaf lagi Marni." Aku bangkit. Membiarkan Marni berpikir. Suami adalah imam, berkewajiban memimpin keluarga, mendidik dan memberi nafkah, akan tetapi jika istri membangkang, perceraian dibolehkan. Cukup untuk waktu tiga bulan yang telah berlalu dengan sia-sia. Dia harus berubah, atau kami berpisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN