BAB 14

1098 Kata
“Keputusan yang tepat dibuat dengan banyak pertimbangan, bukan karena nafsu yang sesaat,” Pagi yang cerah, aku sudah mengenakan seragam sekolahku, bersiap untuk ke sekolah lagi. Pintu kamarku terbuka. Aku melihat Papa sudah berdiri di depan pintu kamarku. Lelaki berusia 37 tahun yang tampak gagah dengan kacamata tebal dan rambut kriwil-kriwilnya itu membuatku melukiskan senyuman untuknya. “Pagi,” sapa Papa. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. “Pagi, Pa.” “Sudah sehat?” Aku mengangguk mengiyakan. Sebenarnya aku mengatakan pada papa kalau aku sedang tidak enak badan jadi tidak keluar kamar seharian. Namun, aku rasa papa sudah tahu meski tanpa kukatakan. Walaupun aneh, tidak ada rahasia di antara kami—karena kami bisa saling memahami hanya dari komunikasi antar hati. "Usually." Aku menoleh. Sedikit terkejut sebenarnya. Karena ini pertama kalinya Papa memanggil namaku secara lengkap tanpa pemenggalan kata. "Mau melarikan diri?" Aku hanya terdiam. Shock. Bisakah? “Tapi..” Papa menatapku lekat. “Itu pengecut sekali bukan?” Aku mengangguk mengiyakan. Papa mendekat. “Sini, peluk dulu,” kata Papa sembari merentangkan tangannya, meminta sebuah pelukan. Aku menjatuhkan diriku dalam pelukannya yang hangat dan nyaman. “Usually sudah besar rupanya,” gumam Papa sembari mengelus lembut kepalaku. “Usually takut, Pa,” ujarku. “Soal apa?” tanya papa. “Usually takut mengambil keputusan yang salah dan akhirnya melukai banyak orang,” jelasku. “Tidak apa. Tidak ada manusia yang membuat keputusan secara benar 100%, Ally. Walaupun nanti kamu membuat kesalahan, kamu hanya perlu memperbaikinya. Kalaupun kamu tidak bisa memperbaiki kesalahan dengan orang yang sama, kamu bisa menjadikannya pelajaran dengan orang berikutnya. Dengan membuat kesalahan, kita akan semakin mendekat pada kebenaran,” jelas Papa panjang-lebar. Papa melepaskan pelukannya lalu menepuk ringan pundakku. “Kesalahan akan mengajarkan luka, jika kamu belum siap untuk itu, tidak ada salahnya bermain aman. Kamu mengerti, Sayang?” Aku mengangguk mantap. “Terimakasih, Papa.” “Sama-sama, Sayang.” *** Aku keluar dari rumah dan tersenyum ke arah cowok yang sudah berdiri di depan pagar rumahku. Cowok itu hanya diam saat melihatku mendekat, raut wajahnya menegang seolah ia tengah menunggu vonis hukuman. “Pagi, Dik!” sapaku, mencoba mencairkan suasana. Dika hanya tersenyum kaku, terkejut karena aku menyapanya lebih dulu. “Pa-pagi juga, Al!” sapanya kaku. Aku tersenyum kecil sementara Dika hanya menatap ujung kakinya, cowok bawel itu masih belum berani bertatapan denganku. Padahal selama ini, jika kupikir lagi dia terlalu banyak menatapku sehingga aku menjadi terbiasa saat berbicara dengannya dengan kedua mata saling terhubung. Rasanya aneh, jika tiba-tiba sekarang ia mnghindari tatapan mataku. Aku dan Dika pun mulai berjalan menuju ke sekolah dengan berdampingan. Tak ada kata yang tercipta di antara kami. Hanya berjalan bersama seperti dua orang asing yang melewati jalan yang sama bersamaan. Seminggu ini, selama aku proses pengurungan diri, Dika terus ke rumahku. Mencoba menghiburku dengan terus mengoceh dari balik pintu kamarku karena aku enggan menemuinya. Dia juga membanjiri handphoneku dengan banyak pesan dan panggilan tak terjawab. Tapi ketika kami bertemu, hanya keheningan yang terjadi. Sungguh ini di luar prediksiku. Kami telah tiba di sekolah dan aku mulai kembali menjadi diriku, mengabaikan panggilan semua orang yang memanggilku. Tentu saja jika guru yang memanggilku, aku akan menjawabnya. Aku masih belum gila untuk mengindahkan panggilan guru. Walau kebanyakan dari mereka, masih saja menganggap seorang Usually Salsabila sebagai murid tambahan yang tidak terlalu memiliki banyak peran. Aku tidak marah untuk itu. Bagaimanapun tidak ada manusia yang bisa mengubah nasib dirinya kecuali dirinya sendiri. Dan aku, baru saja memahami itu akhir-akhir ini setelah melalui proses perenungan yang cukup panjang. Ketika istirahat berbunyi, aku kembali pada kebiasaan lama, mengulurkan tanganku ke teman-temanku. Mereka sedikit terkejut tapi tidak bertanya apapun, lebih tepatnya tidak peduli, yang terpenting babu mereka kembali. Walau aku ingin mengubah nasibku, untuk sebuah tradisi yang menjadi suatu kebiasaan yang sudah menjalar dalam nadi, itu butuh usaha tersendiri. Namun, saat ini, aku tidak melakukannya karena terpaksa. Aku sukarela dengan hati yang sudah cukup lega masih bisa dipercaya untuk satu hal itu. Dalam perjalanan menuju kantin, akhirnya aku bertemu dengannya. Seseorang yang selama ini telah embuat jantungku berdebar, DUTA. "Kak!" dia memanggilku. Nada suaranya pelan, enggan atau takut? Entahlah. Aku tidak bisa menilainya. Kami berdiri berhadapan dan raut wajah Duta tampak kacau. Bibirnya tergerak pelan dengan tubuh yang sedikit gemetar. Wajahnya mengambarkan bahwa ada banyak yang ingin dia sampaikan, tetapi membuat suatu hubungan yang nyaman di antara kami adalah prioritasku saat ini. "Aku minta maaf banget, Dut!" kataku, sedikit mengejutkannya yang hanya mampu menatapku dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku yakin susunan kata-kata yang dibuatnya dengan susah payah barusan lenyap dalam sekejap. “Maaf ya,” kuulang lagi ucapanku. Duta masih belum bereaksi, sepertinya rasa terkejutnya cukup memakan waktu. “Maaf, sudah menamparmu,” kataku dengan tulus. "Nggak, kak. Aku yang harusnya minta maaf," suaranya tertahan. "Melly, cewek yang baik dan yang terbaik buatmu, Dut. Jangan sampai kamu sia-siain dia!" ujarku menambahkan. Duta tampak kecewa mendengar ucapanku. “Tapi, Kak, aku-," "Rasa itu palsu, Dut! Hanya seperti sebuah fatamorgana di Gurun Sahara. Kamu hanya merasa tertarik padaku. Perasaan tertarik itu hanya sebatas rasa penasaran. Itu rasa suka, bukan cinta!" aku memotong ucapannya. "Aku juga sama. Buatku, kamu hanya oase. Miracle." "Miracle just happens once. If it twice, it's not miracle." Duta tertunduk. Makin dalam. Aku yakin lehernya akan kaku setelah ini. "Kamu itu cogan bagi semua orang, Dut. Senyummu selalu dinanti setiap hari. But it's will better if you give them your really smile. A true smile that becomes from your heart." kataku menambahkan. Duta mengangkat kepalanya. Dia menatapku sekarang. Hanya saja, dia menatapku dengan hati yang lebih baik. "Aku menyukaimu, Usually!" ucapnya dengan ketulusan yang begitu terasa. "Aku juga, Dut. Tapi..." Aku terdiam, menelan ludahku sedikit untuk setidaknya membasahi tenggorokanku yang kering. "Rasa sukamu padaku hanyalah sebuah oase. Aku senang kamu menyukaiku tapi cuma sebatas itu, tidak lebih." Duta mendesah pelan. "Semakin banyak sakit yang kamu rasakan, semakin tahu pula seberapa dalamnya rasa sukamu pada orang itu. Kamu masih punya Melly, Dut. Bagimu memang mudah memutuskan tapi kamu belum tahu rasanya kehilangannya, bukan? Aku belum pantas kamu gengam dengan melepaskan Melly, Dut. You will know how much you need her if you let her go. But i can't let it happen." Duta mendecih pelan lalu memandangku. Kami saling beradu pandang lalu tak lama kemudian seperti dua orang oon, kami tertawa keras-keras sehingga membuat sebagian siswa di sekitar memandang kami dengan heran. Namun, kami seolah tidak peduli dengan itu. Bel istirahat berbunyi sekali lagi, artinya istirahat telah usai. Duta melihatku dan dengan masih tertawa dia menggerakkan tangannya seolah mengusirku pergi. Aku hanya mengangguk kecil untuk mengiyakan perintahnya lalu mulai berlari memasuki kelasku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN