BAB 16

916 Kata
“Jika engkau adalah puisi, aku ingin membacamu setiap hari.” "Al," Suara hembusan angin yang mengusik dan seketika membuat merinding itu mengusikku. Aku tolehkan kepalaku sedikit dan mama sudah di sana, di dekatku. Nyaris menyamai daun telinga yang keberadaannya tida mampu terjamah padahal ada. "Tadi siapa?" tanya mama. "Mama lihat?" jawabku balik nanya. Mama terkekeh membuatku sedikit merasa ragu, dia mamaku atau bukan. Walaupun sebenarnya aku sangat tahu kalau dia 100% adalah mamaku. Mama mengangguk. Kulirik perempuan berjubah dan bertudung hitam itu. Rupanya dia baru saja dari pasar, terbukti dari keranjang belanja yang dipegangnya. Walau keberadaan keranjang itu samar dikarenakan tersembunyi tetapi aku dapat menangkapnya. Mungkin karena aku ini adalah manusia transparan yang memang pewaris penerus keluargaku yang memiliki hawa keberadaan minim. "Ma," Mama menoleh dan sumpah dia sedikit menyeramkan terlebih wajahnya sedikit tertutup oleh rambut panjangnya yang hitam, lurus dan tanpa poni itu. "Ada apa, Al?" tanyanya masih berbisik dengan suara penuh keseraman. "Menurut mama, Dika itu gimana?" tanyaku. Mama menyeringai membuatku makin merasa takut dan gemetar. "Ganteng," jawabnya sambil terkekeh. Aku mengerutkan dahiku. "Hanya itu?" tanyaku penasaran dengan lanjutan pendapat mama. Mama hanya senyum lalu mulai menjauh. Sedetik kemudian aku telah kehilangannya. Entah ini karena aku yang terlalu lambat atau mama yang terlalu cepat, mamaku itu kini telah berada jauh di depanku. "Ganteng ya?" gumanku. "Siapa?" Aku terkejut dan menoleh ke belakang. "Duta?!" pekikku tertahan. Duta senyum. "Siapa yang ganteng, kak?" tanyanya penasaran. "Aku?" tanyanya penuh percaya diri. Aku hanya bungkam. Bingung. "Anu, maksudku," aku terdiam sejenak sedang mencoba memikirkan jawaban terbaik. "Kamu ngapain di sini, Dut?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Duta mengernyitkan keningnya dan wajahnya sedikit menyiratkan kekecewaan karena aku tidak memberikan jawaban. Namun sepertinya dia enggan melakukan 'pertarungan' yang sia-sia denganku. "Al, aku suka kamu," kata Duta dengan serius. Aku hanya diam, bagaimanapun aku menjadi manusia transparan, tetap saja hal itu sudah kutahu. Dia sudah mengatakannya lebih dari sekali. "Aku tahu," jawabku pelan. "Kamu juga menyukaiku bukan? Kamu masih menyukaiku, ya kan Al?" tanyanya lagi. Kali ini Duta nggak memanggilku kakak, dia memanggil dengan namaku saja. Dia mirip seseorang. "Al," panggilnya. Aku masih betah dalam diam. "Mau nggak jadi pacarku?" kata Duta nembak. Aku diam, shock berat untuk sekian kalinya. Walau Duta selalu mengatakan bahwa dia mencintaiku dan mengajakku jadian, tetap saja pengakuan cinta slalu memberikan dampak yang sama. Kebingungan. "Anu, Dut, aku-" Duta menarik tubuhku lalu memelukku erat. Kurasakan debaran jantungnya yang berdebar kencang. "Kau denger kan, Al?" bisik Duta. "Jantungku masih berdebar buat kamu, aku masih mencintaimu, Al!" imbuhnya. Aku mematung dan entah kenapa aku jadi terhanyut dalam debaran jantung Duta yang lama-kelamaan membuatku ketagihan untuk mendengarnya. Akhirnya, tanpa sadar tanganku membalas pelukan Duta. Aku pun mulai merasakan debaran jantungku yang masih sama seperti dulu. Yups, aku masih mencintai seorang Duta. "Mau nggak jadi pacarku Al?" pintanya sekali lagi. Aku hanya diam, membiarkan keheningan menguasai kami cukup lama. "Aku belum bisa, Dut!" jawabku pelan, sedikit ngerasa bersalah juga. "Maaf," ujarku merasa bersalah. Duta hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Aku akan nunggu kamu, Al!" katanya bersungguh-sungguh. Aku hanya mengangguk pelan. "Makasih, Dut!" Duta terdengar tertawa kecil. Cowok ganteng itu pun membelai rambutku. "Selamanya, akan kutunggu!" katanya menegaskan membuatku semakin yakin kalau hati seorang Usually masih mencintai Duta. "Al," Panggilan itu membuatku dan Duta menoleh. Kami mematung. Papa sudah berdiri disana. Reflek aku dan Duta saling melepaskan. Canggung dan malu karena kepergok papa saling berpelukan. "Pulang!" kata papa kalem lalu berjalan pergi. Aku mengangguk lalu mulai berjalan di belakang papa. Aku menoleh sebentar ke arah Duta dan melambaikan tangan padanya sebelum akhirnya mulai fokus ke papa. "Al," panggil papa dengan wajah masam. "Y-ya?" sahutku agak takut. "Papa lebih suka Dika," kata Papa tegas. Aku tertegun sebentar. "Anu, Pa, Ally-" "Papa cuma bilang," potong papa. Aku bungkam dan kami terdiam sampai tiba di rumah. *** Aku membuka mataku dan mulai mencoba memfokuskan pandanganku pada langit-langit kamarku. Ada sebuah pemikiran yang menggatung di otakku. Ironisnya, aku tidak tahu apa itu. Aku bangun dan terduduk di kasurku dengan malas. Aku menghela napas dan mencoba sekuat tenaga untuk bisa memikirkan apapun yang bisa kupikirkan. Kejadian kemarin masih tercampur aduk dalam ingatan otakku dan itu mengganggu. "Ally," Bisikan pelan dan nyata yang membuat bulu kudukku selalu berdiri walaupun sudah terbiasa itu membuatku menoleh. Seperti biasa, wajah mama telah terpampang nyata di depanku. "Nggak sekolah?" tanyanya masih dengan suara pelan dan lembut yang membuat merinding. Aku menggeleng. "Kenapa?" tanya mama lagi. Aku tersenyum kecil. "Ini hari minggu, ma!" jawabku. "Oh," sahut mama datar. "Ada apa, Ma?" tanyaku saat mama tak juga beranjak pergi dari kasurku. Mama tersenyum kecil tetapi entah kenapa senyumannya tetap saja membuatku merasa ngeri. "Dika datang," kata mama. Aku tersenyum kecut. "Nggak mau ketemu?" tanya mama. Aku menghela napas berat. "Ma," Mama masih diam di tempat dengan pandangan mata yang menampakkan kebingungan. "Bisakah mama bilang pada Dika kalau Ally masih tidur?" pintaku. "Ally capek, Ma!" imbuhku. Mama mengangguk mengerti. "Baiklah," mama mengiyakan. Tak lama kemudian aura kehadiran mama menghilang. Mama telah pergi dengan jurus menghilang yang luar biasa. Aku rebahkan kembali tubuhku di kasur. Kupejamkan mata dan mulai tenggelam dalam tidurku yang lelap. Aku mengernyitkan kening dan mulai terganggu saat kurasakan rasa lembab, basah dan manis di bibirku. Kubuka mata dan sebuah sorot mata indah muncul tepat di depan kornea mataku. Aku tertegun dan dia mulai menjauh. "Dik," Dika senyum. "Ini hanya mimpi, tidurlah!" suruhnya sembari mengusap lembut bagian atas mataku membuatku seolah tersihir. Kupejamkan lagi mataku dan mulai larut dalam sebuah pertanyaan yang perlahan menghilang dalam kantuk yang teramat sangat. Tadi Dika ngapain?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN