BAB 5

1017 Kata
"Kebohongan tercipta karena kejujuran yang tertimbun dalam ketakutan." Aku terbangun dengan menyentuh pelan pelipisku. Indera tubuhku sudah normal dan samar-samar aku merasakan nyeri di pantatku. Aku baru ingat kalau pingsan saat upacara bendera nyaris bubar—tinggal baca UUD, amanat dari pembina upacara dan doa. Ok, itu buka tinggal tapi masih lama sekali prosesnya untuk bubar. Aku mengeliat dan mulai menguap kuat. Karena terlalu kuat tanpa sadar ilerku ikut, segera kusikat aja dengan tangan. Tiba-tiba aku mendengar suara tawa yang sengaja ditahan walau jebol juga. Aku menoleh ke arah pintu, cowok itu sudah berdiri di sana. Dia menangkap moment memalukan dalam hidupku.Malu banget, sumpah. Aku menautkan alisku, mengenalnya— hanya sekadar tahu saja. "Udah sadar?" tanyanya ramah. Aku hanya mengangguk kecil. Malu. "Udah merasa enakan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi. Saat mencoba bangkit, hendak duduk, cowok itu mencegahku. Dia menggunakan bahasa isyarat yang menyuruhku untuk berbaring. Dia mungkin akan klop dengan Papa untuk bahasa isyarat. Karena kepalaku masih pusing, aku menuruti perintahnya. Hening dan canggung. Dia sama sekali tidak mengenalku dan aku juga tidak berusaha untuk mengenalnya. Keadaan ini sungguh membuatku malas memikirkan sebuah cara untuk membuatnya pergi. Terlebih, aku rasa dia tidak ada untungnya dia tetap di sini. Bagaimanapun upacara bendera aku yakin sudah selesai sejak tadi. "Jam pertama dan kedua boring banget. Matematika dan kimia. Sumpah nggak paham.”” Dia mendadak curhat tanpa diminta. Cowok itu berpindah posisi. Awalnya dia berdiri dekat pintu, kini dia duduk di kursi di depanku. Dia menatapku dan memfokuskan diri pada nametag seragamku. "Us..su..ally?"  Dia mulai mengeja. "Salsabila Usually," tegasku. “Ooh,” katanya membeo sembari menaik-turunkan kepalanya. "Aku Dika Pratama, cowok terganteng nomer dua di kelas X," balasnya sambil ngakak sendiri. Samar-samar aku melihat wajahnya memerah. Dia yang narsis, dia sendiri yang malu. Aneh. "Makasih," kataku lirih membuat Dika memajukan sedikit badannya ke arahku. Dika tersenyum. Manis. Aku tidak bisa menolak pesona itu darinya. Ganteng! "Nggak usah sungkan. Tugas PMR emang nolongin orang pingsan. Untung aku udah curiga kamu nyaris tumbang jadi pas mau jatuh aku tangkep deh ya walau hanya setengahnya sih yang mampu kutangkep, maklum aku kan kurus. Wuih, kalau mau tahu nih, pas aku nangkep kamu udah kayak adegan film lho!" Dika nyerocos. Tingkat pesonanya menurun menjadi 47%. Aku hanya diam, tidak merespon. Nanti dia akan lupa, tidak akan mungkin mengingatku. Karena aku cuma cewek transparan yang mudah dilupakan. "Kamu, hm.. kayaknya canggung. Ally aja deh ya. Ally boleh panggil aku .. apa ya? Prince, Dika-sama atau Hero. Soalnya bagaimanapun aku udah jadi pahlawanmu, ya kan?" katanya dengan senyuman lebar penuh kebanggaan. Terserah kamu.. Dika terus nyerocos, curhat semua aib dalam hidupnya. Seandainya aku stalker-nya, aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari info tentangnya kesana-kemari dan tertawa—bukan lagu booming itu. Karena tanpa melakukan apa-apa, dia sendiri yang memberitahuku dengan lengkap, tajam dan terpercaya. "Jadi?" Dia bertanya. Aku mengernyitkan kening. Mampus! Nggak denger sama sekali. "Jadi Ally, kalau kamu gimana?" tanyanya lagi. Aku hanya bengong. Tripel mudeng udah mirip ekspresi wajah konyol Patrick saat melihat makanan depan matanya. "Owh.. Oke, oke. Slow ajah, enjoy yourlife. Kamu nggak perlu jawab sekarang. Masih ada banyak waktu," kata Dika membuatku mengunci lagi mulutku yang hendak bertanya soal pertanyaannya. "Udah hampir bel, Al. Aku harus buruan ngantre nih. Mending kamu segera balik ke kelasmu. Bye!" pamitnya sambil melambaikan tangan dan berlalu pergi. Aku menghela napas lega begitu Dika sudah pergi. Lega. Adik kelas kurang ajar. Sok akrab-panggil kakak kelas pakai nama doang. Nggak sopan ding! Hatiku mulai mengumpat kesal. Aku memang cewek transparan tetapi soal mengumpat, itu juga bisa aku lakukan tanpa perlu dipelajari. Aku bangun dari tempat tidur, mencoba duduk. Kepalaku sudah tidak terlalu sakit berkat terapi gratis dari Dika. Jadi, aku memutuskan untuk mencari Duta,   Si Cogan sejati. Aku berniat mengembalikan magnetic earrings-nya. Bagaimanapun benda itu udah cukup lama stay bersamaku. Egois jika aku harus membuatnya bersedih hati karena aku sakit hati menerima kenyataan bahwa Duta sudah punya pacar. Walau itu belum terbukti. Hanya asumsi. Sehancur apapun hatiku. Sekuat apapun perasaanku. Dari awal, aku sudah memutuskan untuk mencintainya dalam diam. Artinya aku harus rela melihat, mendengar dan menerima kenyataan kalau dia dengan yang lain. Aku tidak boleh lemah! Ini bukan saatnya merasa menjadi pecundang. Aku memindai daftar antrean mie pentol Pak Cing, di depan kelas dan ruang guru, nihil—tidak ada Duta di sana. Lapangan? Nihil. Tidak ada Duta di manapun. Aku nyaris putus asa tapi akhirnya aku memutuskan untuk pergi mencarinya di Lab, satu-satunya tempat yang belum diperiksa. Di sekolahku terdapat tiga laboratorium (Lab ) yaitu Lab Kimia, Biologi dan Bahasa. Letaknya cukup menyendiri dari deretan kelas—berada di paling ujung setelah perpustakaan. Aku melangkahkan kaki ke lab Kimia, membuka sedikit pintunya lalu memasukkan kepalaku ke dalam. Scanning cepat. Duta tidak terdeteksi di radar pencarianku. Aku melanjutkan ke lab berikutnya. Lab Biologi. Lagi-lagi Duta tidak terdeteksi. Aku menutup kembali pintu Lab, berkeinginan memeriksa ke Lab Bahasa tapi batal. Aku melihatnya berjalan di koridor Lab dengan wajah lesu. Aku berjalan mendekatinya dengan semangat. Duta berjalan dengan muka yang ditekuk, sedih. Dia tidak menyadari keberadaanku walau itu bukan hal yang mengejutkan. Aku terpaksa berdehem agar dia menyadari keberadaanku. Duta sedikit kaget tetapi akhirnya melihatku. “Ah,” serunya lalu tidak ada lagi lanjutannya. Duta hanya tersenyum dengan penuh mendung. Senyumnya palsu. Ada duka di dalamnya dan aku tidak suka itu. Tidak suka! Aku mengeluarkan magnetic earrings yang aku temukan. Duta tersentak kaget begitu melihat apa yang aku pegang di tanganku. Tanpa sadar cowok itu merampas paksa benda itu hingga sedikit melukai jariku. Perih. "Makasih. Udah aku cari-cari lho. Thanks," ujar Duta sambil mencium-cium anting di tangannya. Aku hanya tersenyum kaku. Tidak bisa ngomong. Tenggorokanku mendadak kering. "Anu..." Aku mencoba mengatakan sesuatu agar bisa mengborol dengannya walau hanya sebentar.. "Makasih, Kak. Ini harta berhargaku. Ini pemberian Melly. Aku bisa R.I.P dihajar olehnya kalau beneran ilang." Duta tampak bahagia.   “Ah, iya.” Bibirku kembali mengatub, hanya menyunggingkan senyuman tipis. Ini bukan yang aku harapkan tetapi melihat Duta senang, aku juga senang. Walau itu naif sekali. Tiba-tiba handphonenya bunyi. Duta mengangkatnya dan cengar-cengir bicara dengan seseorang di seberang sana. Ah.. irinya hatiku. Auraku memudar, nyaris tidak ada sampai suara itu terdengar. "Ally."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN