Pesta pernikahan adalah salah satu momen terpenting bagi mereka yang ingin berkeluarga. Banyak orang rela mengeluarkan uang banyak demi mewujudkan pernikahan impian. Aku pun punya impian pernikahanku sendiri, terinspirasi dari seringnya aku melihat pesta pernikahan sejak kecil.
Sejak diadopsi pada usia sembilan tahun, aku sering diajak Ibu dan almarhum Ayah ke pesta-pesta pernikahan. Ibu angkatku, yang mengadopsiku sejak SD, adalah seorang perias pengantin di pinggir kota. Ibu tidak hanya merias, tetapi juga menyediakan penyewaan baju pengantin dan pelaminan untuk pesta sederhana bernama Sanggar Kenanga. Meskipun untuk kalangan menengah ke bawah, usahanya semakin berkembang seiring waktu, bekerja sama dengan vendor-vendor seperti catering dan souvenir. Mereka ingin aku terbiasa dengan dunia bisnis ini karena nantinya akulah yang akan meneruskannya. Sayangnya, aku tidak memiliki bakat dalam merias pengantin.
Sebagai anak angkat yang diberi kasih sayang penuh, aku merasa wajib belajar sesuatu yang bisa membantu bisnis keluarga. Aku memilih jurusan manajemen di bangku kuliah, sambil sesekali membantu Ibu dalam hal-hal kecil di sanggar. Di tahun terakhir kuliah, aku mengambil pelatihan wedding planner & organizer dan mulai membantu Ibu mengurus acara pernikahan, terutama karena usia Ibu yang semakin tua.
“Ibu sudah tidak kuat ambil banyak job lagi. Tangan Ibu sudah gemetar,” ujar Ibu suatu malam.
Aku menenangkan Ibu, “Nanti Laras yang teruskan, Bu. Insya Allah, kualitas sanggar tetap terjaga.”
Ibu sempat menawarkan untuk menjual sanggar jika aku ingin melakukan hal lain, tapi aku berjanji akan meneruskannya. Aku juga sudah merencanakan bekerja sama dengan sahabatku, Dania, sebagai perias pengantin utama.
Seminggu setelah percakapan itu, Ibu meninggal dunia. Naning dan Gunardi, sepasang suami-istri yang mengadopsiku di usia pernikahan mereka yang ke lima belas tahun, kini telah pergi, kembali meninggalkan aku seorang diri dengan sebuah rumah sederhana dan Sanggar Kenanga, hartaku yang paling berharga.
***
“Mbak Laras, Ibu pengantin protes minta ganti bunga di pelaminannya. Katanya bunganya warnanya norak.”
Aku yang sedang mengecek list acara menengok ke arah Mia, salah satu anggota timku. Dia tampak lelah dan kesal. “Gimana, Mi?”
“Ibu pengantin minta bunganya diganti. Katanya warnanya gonjreng kayak kincir angin.” Mia mengulang dengan ekspresi frustrasi.
Wajar saja, satu hari sebelum acara pernikahan memang hari yang paling penuh tekanan. Sebagai wedding organizer, aku paling pusing menghadapi semua protes dari berbagai pihak.
“Kan itu request pengantin, sunflower. Masa tiba-tiba ganti? Pelaminannya sudah hampir selesai.”
“Ya, aku tahu, tapi Ibu-nya marah-marah, sampai tukang pelaminannya disuruh berhenti.”
Ini bukan pertama kalinya orang tua mempelai mengganggu rencana yang sudah disusun oleh anak mereka. Sering kali, kami harus mengikuti permintaan orang tua, walau membuat pengantin pasrah dengan sedih.
“Aku yang akan ngomong. Kamu telepon orang wedding cake-nya buat pastikan kapan bisa dipick up.”
“Oke!”
Setelah sedikit perdebatan, aku berhasil membujuk Ibu mempelai. Aku tunjukkan referensi dekorasi lain yang menggunakan sunflower dan akhirnya dia setuju.
Baru saja masalah itu selesai, Mia memberitahuku kalau wedding cake mengalami keterlambatan. Benar-benar hari yang hectic.
“Mi, kamu bisa nyetir kan? Pick up aja kuenya, biar mereka buru-buru.”
Setelah Mia pergi, ponselku berdering. Melihat siapa yang menelepon, aku ragu tapi akhirnya menjawab. “Kenapa, Ris?” tanyaku. Haris, pacarku, meminta uang lagi karena mobilnya masuk bengkel.
“Berapa?” tanyaku, berusaha menghindari konflik.
“Dua juta,” jawabnya.
“Kirimin bon-nya, kalau nggak, nggak aku transfer.”
Aku memutus panggilan. Ini bukan pertama kalinya Haris meminta uang dariku. Dia tahu usaha sanggar pengantin ini ramai, dan sepertinya dia mulai memanfaatkan situasi. Tapi Haris sudah menemaniku sejak lama, sebelum aku sukses. Aku merasa harus tetap membantunya, meski tahu itu bukan kewajibanku sama sekali.
“Ras, gue udah selesai nih–balik duluan ya!” Dania, sahabatku sejak di panti asuhan sekaligus make up artist yang bertanggung jawab untuk merias klienku keluar ruangan menenteng beauty casenya.
“Mau ke mana habis ini, Dan? Apa ada klien lagi?” tanyaku melihat Dania yang memang tampaknya sudah akan bersiap pergi.
“Eh—iya nih, ada kerjaan di tempat lain. Nggak apa-apa kan gue balik duluan?” tanyanya. Entah mengapa aku menangkap sedikit ekspresi panik tetapi hanya sekilas.
Aku menggelengkan kepala. “Hati-hati ya Dan.” Dania tersenyum sebelum mencium pipiku dan kami berpisah.
***
Setelah acara selesai, aku memutuskan mengunjungi Dania di kostannya sambil membawa sisa makanan dari pesta. Saat berjalan melewati area parkir, langkahku terhenti ketika melihat motor yang familiar—motor milik Haris.
“Loh, Haris di kostan Dania? Kok nggak bilang?” tanyaku pada diri sendiri. Aku merogoh ponselku yang hampir kehabisan baterai, tetapi tidak ada pesan atau panggilan tak terjawab dari Haris. Panggilan terakhir yang kuputus saat dia meminta uang tadi juga tidak diikuti oleh usaha memohon seperti biasanya.
Aku mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul. Haris, Dania, dan aku sudah berteman lama, bahkan sebelum aku dan Haris berkencan. Mereka memang dekat, tapi selama ini aku selalu tahu jika Haris mengunjungi Dania. Tidak pernah ada pertemuan di luar sepengetahuanku.
Semakin aku melangkah, hatiku terasa semakin berat. Seolah ada firasat buruk yang terus menghantuiku, meskipun aku mencoba menepisnya. Aku percaya pada Dania dan Haris—mereka adalah orang terdekatku, dan kami saling menyayangi.
Namun, ketika aku semakin dekat dengan pintu kamar Dania, aku melihat sepatu Haris tergeletak sembarangan di depan pintu, seakan dilepas terburu-buru. Mengapa pintu kamar tertutup rapat saat hanya ada mereka berdua di dalam?
Semakin dekat, suara rintihan mulai terdengar. Kepalaku terasa pusing dan kakiku lemas. Aku berhenti, berpegangan pada dinding untuk menahan tubuhku yang bergetar. Seharusnya aku mendobrak pintu itu, atau setidaknya berteriak. Tapi aku hanya bisa berdiri diam, dengan tangan menutup mulutku, tak berani menghentikan apa yang mungkin sedang terjadi di balik pintu itu.
Aku hanya ingin mimpi buruk ini segera berakhir...
“b******k Mbak Dania! n***e apa ngapain sih kenceng banget sialan gue sampai nggak bisa—Mbak Laras?” Tetangga kostan Dania, Radifan, mahasiswa tahun akhir yang sedang struggling dengan skripsinya menyadarkanku dari keterpakuan.
Aku dan Radifan tampaknya sama-sama terkejut dengan keberadaan masing-masing dalam situasi ini.
“It’s not their first time, isn’t it?” tanyaku sambil menahan air mata yang sudah siap mengalir.
Tidak ada jawaban dari Radifan cukup untuk menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum getir.
“Maaf Mbak, lo mau gue dobrak pintunya?” tanyanya dengan ekspresi tidak enak.
“It’s okay, biarin mereka selesaikan urusan mereka. Aku mau muntah,” kataku sambil beranjak pergi. Tetapi sebelum pergi, aku menyerahkan sekantung makanan yang tadinya akan kuberikan pada Dania untuk menjadi makan malam kami kepada Radifan. “Buat kamu makan malam. Soal malam ini, tolong rahasiakan dari Dania.” Tanpa menunggu jawaban Radifan, aku lebih dulu beranjak dari sana.
Malam itu benar-benar terasa berkali lipat melelahkannya dari hari lainnya.