4. Is it your first time?

1278 Kata
“Nice dress,” bisik seorang lelaki dari belakangku di tengah suara musik yang bising. Aku menoleh, melihat seorang lelaki berkemeja hitam dengan segelas minuman di tangannya tersenyum padaku. Aku tidak tahu apakah itu normal di klub. Aku sudah pernah ke klub dengan Dania dan Haris, tapi kami hanya menikmati musik. Biasanya, aku hanya minum soda atau mocktail karena harus tetap sadar untuk menyetir pulang. Ini pertama kalinya aku ke klub sendirian. Itu keputusan impulsif setelah membeli dress hitam ketat yang saat ini melekat di tubuhku. “Sorry?” tanyaku karena tidak menangkap apa yang dia ucapkan. “Nice dress,” ulangnya sambil mendekat, aroma parfumnya tercium jelas. “Sendirian?” tanyanya lagi. Aku mengangguk, berpikir bagaimana cara menolak ajakan berbicara tanpa terkesan kasar. “Wanna have a drink with me? Gue juga sendirian nih,” katanya lagi. Aku setuju. Tidak ada salahnya, pikirku, selama tetap sadar. Kami berjalan ke bar tanpa memesan minuman baru, lalu dia memperkenalkan diri sebagai Alvi, sales manager di perusahaan swasta. Dia juga menyebut punya apartemen dekat sini, info yang menurutku tidak perlu. “Gantian dong, kamu yang cerita,” katanya sambil lagi-lagi mendekat. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan kebiasaannya mendekat setiap kali berbicara. Apa yang harus kuceritakan? Kisah hidupku yang penuh masalah, atau kekasihku yang selingkuh dengan sahabatku? “Namaku—” “MAS ALVI!” Aku menoleh ke suara wanita yang mendekati kami. “Istri lagi hamil di rumah malah dugem sama cewek! Heh, mbak! Gatel banget kamu ya gangguin suami orang!” Wanita itu menunjuk wajahku. Aku terdiam, mencoba mencerna situasinya. Apakah ini benar-benar terjadi? Lalu, tiba-tiba, byur! Wanita hamil itu menyiramkan minumannya ke kepalaku. Tetesan minuman menetes dari rambutku ke lantai. Untung saja yang disiram adalah mocktail, bukan alkohol. Staff klub segera menengahi situasi. Aku menjelaskan bahwa aku tidak tahu dia sudah menikah, dan wanita itu akhirnya menerima penjelasanku. Suaminya pun mengakui kesalahannya. Setidaknya aku tidak perlu menonjoknya. Mereka dibimbing keluar, dan aku pun memilih tidak mau tahu lebih jauh. Sepertinya ini pertanda untuk aku pulang ke rumah karena sejak tadi hariku benar-benar sangat buruk. Datang ke club ini mungkin kesalahan sejak awal. Aku sudah akan pergi ketika seseorang menyodorkanku beberapa lembar tissue padaku. Aku menyambarnya tanpa begitu memperhatikan siapa yang baru saja memberiku tissue itu dan mengelap sisa cairan tadi yang masih menempel di wajah. “Terima ka—” “You know what, you shouldn't accept things from strangers at nightclubs.” Si pemberi tissue berujar membuatku refleks menghentikan gerakanku menyeka wajah menggunakan tissue pemberiannya tadi. Ketika mata kami bertatapan, aku akhirnya sadar siapa lelaki yang memberiku tissue itu. “Saya nggak nyangka akan ketemu kamu di sini.” Kalimat itu mungkin hanya kalimat basa-basi yang diucapkannya padaku. Namun itu terdengar seperti ia sedang mencoba meremehkanku. Kalimatnya jadi terdengar seperti, orang kayak lo ngapain ada di club? Tentu saja semua itu hanya ada di kepalaku saja. “Jangan bilang kamu lupa? Saya—” “Saya ingat. Kamu anaknya Tante Ambar, Juna.” “It’s Argio!” Dia mengoreksiku dengan penuh penekanan lalu kemudian berdeham salah tingkah karena sudah berlebihan hanya karena aku salah menyebut namanya, “Sorry, nama itu panggilan saya di rumah. I don’t really like it when stranger call me by that name.” Dan itu bukan urusanku. Tapi aku tidak mengatakannya dan meresponnya dengan anggukan saja. Bertemu lelaki menyebalkan ini adalah satu dari sekian daftar yang hanya akan membuat hariku makin buruk. Aku seharusnya benar-benar angkat kaki dari tempat ini segera sebelum semua stok kesabaranku habis. “Is it your first time?” tanyanya setelah hanya hening menjeda di antara kami. Aku yang semula masih sibuk membersihkan diri dari tetesan-tetesan air mendongak, kembali menatapnya. Aku tahu lelaki ini tampan sejak awal pertemuan kami. Tapi di bawah kerlip lampu club, entah mengapa ia beberapa kali lipat lebih tampan. “Sorry?” Dia memutar mata. Seolah aku adalah manusia paling bodoh yang pernah ia temui karena nggak mengerti ucapannya. “Kamu pertama kali ke club?” tanyanya lagi. Mungkin ia mulai menyesal sudah mengajakku bicara malam ini. Which is hal yang memang kuinginkan agar dia berhenti mengajakku mengobrol. Tapi kemudian aku merasa pertanyaannya lagi-lagi terdengar meremehkanku. Padahal mungkin, dia memang hanya basa-basi saja. “Nggak, tapi kalaupun iya it’s not your fuckin business.” Dia terkejut dengan jawaban agresifku. Begitupun denganku karena aku bahkan nggak menyangka bisa berkata demikian. Tetapi sepertinya kewarasanku memang sudah benar-benar hilang hari ini. “Interesting.” Aku mendengarnya bergumam. Tetapi suara bising dari musik yang memekakan telinga membuatku tidak yakin dengan apa yang kudengar tadi. “Wanna have a drink? My treat.” Aku seperti dejavu. Ajakan minum ini juga tadi yang membuatku berakhir disiram segelas mocktail. Jadi aku menggeleng. Lagipula aku sudah ingin pulang. “Benar dugaanku, it’s your first time.” Astaga sebenarnya lelaki ini mau cari ribut atau apa sih? Aku menarik napas dan menarik kursi bar. Argio mengikutiku untuk kemudian memanggil bartender dan memesan minuman. Malam itu, untuk pertama kalinya aku kehilangan kesadaran karena minuman. *** Aku terbangun oleh sinar matahari yang menerpa wajahku. Seperti yang kuduga, kepalaku sakit khas orang hangover. Aku tidak tahu berapa kadar alcohol yang masuk ke tubuhku semalam. Yang kuingat hanyalah minuman yang Argio pesankan terasa manis tidak seperti alcohol yang selalu digambarkan orang-orang. Seingatku kami tidak mengobrol banyak. Atau bahkan tidak sama sekali? Aku tidak terlalu ingat. Yang jelas aku langsung kehilangan kesadaranku di gelas kedua. Argio sialan itu sepertinya mengerjaiku dengan memesankan minuman dengan kadar alcohol tinggi karena tahu aku pemula yang tidak mau mengaku. “Didn't I tell you before, you shouldn't accept things from strangers in nightclubs?” Mataku yang semula sudah mau menutup kembali terbuka. Kini aku benar-benar terbangun sepenuhnya. Dan aku akhirnya sadar bahwa aku tidak terbangun di kamarku melainkan di… Ini di mana? “You’re in my hotel.” Hotel yang dimaksud Argio bukan cuma kamar hotel tetapi in literal meaning. Aku pasti sedang berada di The Grand Lavish. Entah bagaimana caranya sampai bisa berada di sini. Namun seketika aku sadar ada hal yang lebih penting dari mengetahui aku berada di mana saat ini. Aku refleks membuka bed cover yang menutupi tubuhku dan nyaris berteriak ketika menemukan tubuhku hanya menggunakan pakaian dalam. “Kamu sendiri yang bilang gaunmu bikin sesak karena terlalu ketat.” Aku menganga. “Terus kamu buka gaunku?” “Of course not! Why would I? Aku cuma bawa kamu ke sini karena nggak tahu harus antar kamu ke mana dan kamu terlalu mabuk buat bisa jawab pertanyaanku.” Aku baru sadar bahwa Argio juga masih menggunakan pakaian yang sama seperti semalam. Berarti lelaki itu juga menginap di sini? “Terus siapa yang buka bajuku?” “Ya kamu sendiri lah.” Aku melotot. “Kenapa kamu bisa tahu?” tanyaku sambil refleks merapatkan lagi bed cover itu menutupi tubuhku. Argio berdiri dari duduknya lalu berjalan ke sudut ruangan di mana sebuah meja kerja yang kini sudah dipenuhi beberapa piring berisi sarapan yang bahkan tak kusadari sebelumnya. Posisi Argio memunggungiku tetapi aku bisa melihatnya yang sedang membuka botol beling berisi air untuk dituang ke gelas. Kupikir itu untuknya sendiri sampai kemudian ia berjalan mendekat ke arahku dan menyodorkan gelas itu padaku. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak dan menerimanya begitu saja. Benar-benar tidak belajar dari pengalaman. “Aku cuma bilang bukan aku yang buka baju kamu.” Argio melipat tangannya di d**a masih sambil memperhatikanku. Di bawah tatapannya itu entah mengapa aku merasa terintimidasi tanpa alasan yang pasti. “Tapi aku nggak bilang kalau aku nggak lihat kamu buka baju.” Air yang kuminum menyembur begitu saja dan bukan hanya membasahi kasur dan bed cover tetapi juga kemeja Argio. What a great morning, I guess.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN