BAB 5

1546 Kata
Hari Senin kembali menyapa. Entah karena emang udah masuk musim penghujan atau emang kebetulan hujan, hari ini hujan lagi sejak pagi. Kali ini aku berangkat bareng Alfa. Berbekal jas hujan yang dipakai berdua plus modus biar bisa meluk dia, aku memeluknya sepanjang jalan. Si Alfa diam aja, sesekali dia berbagi rasa dingin tangannya dengan menggenggam erat tanganku yang melingkar di pinggangnya. (Sumpah entah kenapa aku jadi ngarep jarak rumahku ke sekolah makin jauh.) Karena upacara bendera ditiadakan, jam pelajaran kedua bergeser menjadi jam pertama. Mata pelajaran Fisika pun menyapa, kali ini aku melewatinya dengan aman. Hari Senin yang biasanya hari s**l bagiku, entah kenapa sekarang menjadi hari keberuntungan. Aku rasa hari ini adalah hari kebalikan meski bukan Bikini Bottom, tempat Spongebob hidup tanpa repot-re[ot berkembang biak atau semacamnya. Keberuntunganku berlanjut, aku juga selamat di mata pelajaran Bahasa Inggris. Entah kenapa kali ini aku bisa dengan mudah menjawab pertanyaan dari Mr. Sholeh, guru Bahasa Inggrisku yang super gaul, keren dan kekinian banget. Gayanya yang bak remaja alay itu membuat beliau dijuluki “Mr. Gokil”. Berkat ketenarannya pula, Mr. Sholeh dinobatkan sebagai guru favorit kelas IPA. Meski umurnya udah memasuki setengah abad, bagi kami, dia adalah guru cowok paling ganteng. Ganteng bukan karena wajahnya, tapi lebih kepada ganteng karena nggak pelit nilai. Setelah pelajaran Bahasa Inggris, bel istirahat pun berbunyi. Lucky-nya lagi, Fafi traktiran sebagai tanda syukur untuk hari jadiannya dengan Sauki yang entah keberapa bulan. Dia nggak hanya mentraktir aku aja tetapi juga Alfa, Iqbal dan Agung. Iqbal dan Agung adalah teman dekat Alfa. Mereka sudah seperti trio wek-wek yang ke mana-mana selalu bersama, terutama kalau lomba. Meskipun mata pelajaran untuk lombanya berbeda, mereka sama-sama genius. Bagi kelas unggulan pendamping, bisa dibilang ketiga orang itu adalah jagoan terbaik kami. Jangan masukkan aku sebagai jagoan atau andalan kelas, aku hanya masuk ke kelas ini berkat keberuntungan saja. Otakku masuk kategori biasa, meskipun belum termasuk g****k. Tiba di kantin, kami langsung memesan makanan yang kami mau. Aku memesan sepiring batagor, siomay dan segelas teh manis. Alfa memesan bakso legendaris Bu Siti ditambah dengan segelas jus jeruk. Iqbal memesan mie ayam pakai ceker plus teh botol. Rani, pacar Iqbal—diundang sendiri dan tidak bisa diusir, memesan menu yang sama dengan pacarnya, Iqbal. Mereka emang sehati banget, dah. Sedangkan Agung memesan mie bakso dengan segelas es jeruk. Sementara Fafi memesan hal yang sama dengan Agung. Mereka bukan sehati, cuma kebetulan saja mesennya sama. Setelah menunggu cukup lama, pesanan kami datang. Alfa yang udah kelaparan langsung menyantap baksonya dengan lahap. Kelakuannya itu membuat Iqbal geleng-geleng kepala. “Duh, Fafi baik banget deh mau traktir kami. Beruntung kau punya sahabat kayak dia, Na,” puji Iqbal membuatku hanya nyengir saja. Nggak bisa dipungkiri, perkataannya memang sangat benar. “Kamu dan pacarmu sudah lama jadian kan, ya?” tanya Rani pada Fafi yang dijawab dengan anggukan kepala. “Yang lama udah traktiran, yang baru jadian kapan nih ngadain PJ ( pajak Jadian . traktiran )?” iqbal mulai menyindir Alfa dan aku. Alfa,, sebagai yang disindir nomer satu hanya cuek bebek. Masih mengunyah pentol baksonya dengan nafsu makan tinggi. Dia itu banyak makan, tetapi nggak gemuk-gemuk. Beda banget sama aku, kalau over dikit, badan ini langsung melar. Kadang aku heran, ke mana perginya lemak, karbohidrat dan protein dari makanan yang dikonsumsi sehingga ukuran tubuhnya selalu stabil dan nggak pernah berlebih. Sumpah, iri banget. “Ina, ambilin sambal, dong,” pintanya sambil menunjuk wadah sambal. Aku mengangguk lalu mengambilkan wadah sambal yang ditunjuk. Aku ambilkan beberapa sendok kecil sambal dan meletakkannya di mangkok baksonya. Alfa mencubit gemes pipiku sebagai bentuk terima kasih. “Thanks, ya,” ujarnya lalu lanjut makan. “Najis! Alfa dan Ina, dunia bukan milik berdua, lho. Kau ini suka pamer kemesraan, ya,” protes Iqbal. Alfa hanya menelan hasil kunyahan pentolnya, kemudian mengambil jus jeruknya dan meneguknya hingga tinggal setengah. “Iqbal, aku yang ngelakuin kok kau yang ribet, sih? Kalau iri ya langsung aja tuh sambar si Rani,” balas Alfa santai. Perkataan Alfa segera membuat Iqbal yang emang jail mulai bersiap perang dengan Alfa. “Aku, sih bisa nyamber kapan aja, aku bahkan udah pacaran sejak SMP sama dia. Tetapi aku cowok cool man. Masih punya rasa malu aku.” Iqbal mulai menyerang. Alfa monyongin bibirnya. “Heleh, malu apaan. Aku pernah tuh lihat kau nyium Rani di rental PS.” Mendengar pernyataan Alfa, Iqbal dan Rani langsung salting. Fafi yang mendengar itu pun jadi shock berat. “Anjir, udah chup-chup kalian?” tanya Fafi sambil menguncupkan telapak tangannya membentuk bunga kuncup lalu mendekatkan dua kuncup itu bak dua orang yang lagi kissing. Dia udah kayak orang yang nggak pernah melihat orang ciuman saja. Iqbal dan Rani hanya diam mematung. Wajah keduanya udah merah kayak kacang rebus. “Alfa, jangan sembarangan. Serius, kau lihat beneran?” tanyaku masih nggak percaya. “Ho’oh. Mau nyoba?” tanya Alfa santai. Aku yang ditanya langsung kena serangan jantung. Dia pikir chup-chup itu main-main? Santai amat nanyain begituan ke cewek polos nggak berdosa sepertiku. “Oi, Alfa k*****t. Kira-kira napa kalau nanyain cewek,” ujar Agung protes karena melihatku menganga kayak orang oon. Shock. Fafi ngakak lalu mencubit kecil pinggangku agar sadar. “Ina, sadar! Alfa hanya bercanda. Jangan dimasukin hati,” katanya. Aku tersadar dan segera mengatubkan bibirku agar ilerku nggak netes. “Haha, bercanda rupanya,” ujarku canggung, entah kenapa perasaan ini jadi nggak enak. Kecewa dikit juga. “Jadi, kalian belum chup-chup?” tanya Iqbal jail lagi. Aku segera menggeleng cepat. “Lah, kalau kencan kalian ngapain aja?” tanya Rani kepo. “Kami…” “Mereka keseringan belajar, Ran. Kalau nggak, si Ina ke rumah Alfa, bersihin rumah pacarnya dengan semangat, jagain orang tuanya Alfa plus masakin mereka,” ujar Fafi memotong ucapanku. Rani, Agung dan Iqbal yang mendengar jawaban Fafi langsung ngakak, nggak bisa menahan tawa mereka. “Na, Ina, kau pacar apa pembantu, sih?” celetuk Rani yang langsung membuatku jadi senyum kaku, nggak tahu harus gimana. Mau membantah juga nggak bisa, itu fakta. “Pacar, Anjir, pake ditanya lagi,”tegas Alfa agak sensi.  “Pacarmu multifungsi ya,” pungkas Iqbal lalu ngakak lagi. Alfa nyengir. “Pacar tuh harus bisa diandalkan. Bisa jadi hiburan, bisa jadi penyemangat, bisa jadi penolong sukarela juga,” jawabnya dengan yakin. Sepertinya dia benar-benar berpikir pacar tuh harus banyak fungsinya. Nggak heran dia nyari pacar yang serba rata-rata kayak aku. “Terus, Na. Kau ngerasa nyaman nggak punya pacar model kayak gini?” tanya Rani. Aku diam, berpikir sejenak. “Lah, harus, dong. Kapan lagi punya pacar kayak aku hayo?” Alfa songong nongol lagi. “Emang kau kenapa?” tanya Fafi, nggak terima dengan kesongongan Alfa. “Aku tajir,” ujarnya bangga. “Tapi medit abis,” sanggah Fafi. “Aku ganteng,” ujarnya lagi. “Kata siapa? Gantengan juga pacar aku.” “Itu mah karena dia pacarmu aja. Kalau kata Ina, jelas aku yang paling ganteng,” ujar Alfa membantah argumen Fafi. Dia itu memang cerdik, udah kayak kancil aja. Fafi langsung menoleh ke arahku. Sahabatku itu memandangku dengan wajah serius, matanya melotot bak pistol yang tengah membidikku. “Gantengan Sauki atau Alfa?” tanyanya dengan wajah serius. “Gantengan yang mana? Jujur, Na. Jujur!” ujarnya ngotot. Aku menoleh ke Alfa Pacarku yang ganteng itu memberikan senyuman terbaiknya membuatku jadi makin klepek-klepek. “Alfa,” jawabku sambil senyum. “Heleh, penghianat,” dengus Fafi kesal. Alfa menjulurkan lidahnya pada Fafi, membuat sahabatku itu nyaris melemparkan botol kecap ke arah pacarku yang ngeselin banget itu. Sahabatku itu hanya menggenggam erat botol kecap di tangannya, dia berusaha menahan amarahnya ketika aku menggelengkan kepala untuk menghentikannya agar tidak melanjutkan niatnya. Bagaimana pun Alfa adalah pacarku, aku aja belum pernah mengungkapkan kekesalanku padanya, jadi orang lain jangan. Sebenarnya, saat dia nyebelin, aku pengen, meski cuma sekali, ngebanting dia sampai pingsan. “Udah, sabar. Alfa dari dulu emang nyebelin,” lerai Agung mencoba meredakan amarah Fafi. Fafi mengembuskan napas kuat-kuat. Setelah agak tenang, dia meletakkan kembali botol kecap dan mulai memakan makanannya. Kami pun diam, asyik memakan makanan masing-masing. “Oh ya, Na. Seminggu lagi kejuaraan akan dimulai. Kalau nggak mau dikeluarin dari daftar peserta mending kau mulai aktif latihan, deh,” ujar Fafi mengingatkan. Aku yang lagi makan siomay langsung batuk-batuk. Lupa banget soal kejuaraan. Setiap tahun, aku dan Fafi memang tidak pernah absen memgikuti kejuaraan taekwondo yang sudah kami geluti sejak SMP. “Oh, Cicil ikut juga, tuh. Minggu kemarin dia nitip pesan kalau bakal nungguin kau di kejuaraan, Na,” kata Alfa membuatku makin puyeng. “Waduh, bisa off aja nggak aku, Fi. Nggak siap aku,” rengekku mengiba. Fafi menyipitkan matanya, udah mirip pelototan ibu tiri. Seram. “Kau ya, kalau absen lagi di kejuaraan kali ini kapan kau bisa ningkatin levelmu? Udah nggak usah banyak alasan. Kalah atau menang itu biasa. Ikut aja!” ujar Fafi tegas. Aku manyun. “Lagian kau bisa ketemu Ida, Cicil dan peserta lainnya di kejuaraan doang. Ingat Na, kau udah absen gelar tahun lalu. Kau nggak kangen jadi juara?” omel Fafi panjang-lebar. Memang, tahun lalu aku absen karena cidera di kejuaraan nasional. Walau kakiku sudah sembuh, aku masih tidak ingin kembali menjadi peserta. Namun, kayaknya aku nggak bisa menghindar tahun ini. Sebab, kalau sudah kelas 12, pasti susah untuk ikut. Bisa dibilang, ini adalah kejuaraan taekwondo terakhir di SMA. Sayang banget kalai dilewatkan begitu saja. Aku menghela napas. “Ok, aku ikut.” Fafi langsung senyum. “Nah gitu, dong. Semangat!” katanya happy. Aku hanya mengangguk lemah. “Ina yang aku kenal pantang menyerah, kau kan serba bisa walau hanya satu yang kau nggak bisa,” jawabnya membuat Alfa jadi penasaran. “Dia nggak bisa apa?” tanya Alfa kepo. “Ina nggak bisa renang. Kalau renang, dia bisanya gaya batu. Haha…,” jawab Fafi lalu ngakak. “Maksudmu kalau di air langsung nyemplung ke bawah, nggak balik lagi ke atas gitu?” Rani ikutan nambahin. Aku hanya senyum kecut. Malu. Aibku baru saja dibongkar oleh sahabatku sendiri. Mereka semua tertawa kecuali Alfa. “Pacar, tenang aja. Kalau kau tenggelam, aku lemparin tali buat nyelamatin kamu,” katanya dengan yakin. Aku mendengis, kesal. Dia sama sekali nggak ngerti pemikiran cewek. Kalau udah tenggelam, mana bisa ambil tali, oon? Kalau aku tenggelam, nyemplung dong. Angkat aku dari bawah kayak di film-film. Alfa,, hayati lelah tiap kali kau ngomong konyol kayak gitu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN