BAB 8

1457 Kata
Hari ini adalah hari ketiga plus terakhir libur, aku mager aja di rumah. Sejak pagi aku hanya tiduran di kamar. Aku nggak bersih-bersih rumah, nggak masak juga meski si ayah dari tadi udah ngomel. Entah kenapa aku malas banget hari ini. Entah ini karena Fafi atau sedang stress, sejak kemarin aku kepikiran Adam. Kalau dipikir-pikir Adam emang jauh lebih ganteng dari Alfa. Dia juga selalu bersikap baik ke aku meski sedikit ngeri dengan tingkahnya dulu sehingga aku ilfeel. Terlebih dia bilang dia mencintaiku. (Sumpah, aku baper.) Aku mengambil handphone. Aku pandangi kontak WA Alfa, pacarku, sejak kejadian aku tendang ke kolam renang, sampai sekarang nggak menghubungiku sama sekali. Waktu itu juga kami pulang dengan diam aja sepanjang jalan. Aku ngambek, dia juga ikutan ngambek. Sungguh pacar yang nyusahin dan nggak ngertiin cewek sama sekali. (Eh? Kok aku mikir gitu ya? Duh, galau. What’s wrong with me?) Aku lempar lemah handphoneku ke kasur. Sebenarnya sejak kemarin wa-ku ramai dengan wa dari Cicil dan Ida yang terus-terusan nanyain biodata dan kontaknya Adam. Meski udah numpuk, pesan mereka nggak aku baca. Awalnya aku tanggapin, tetapi kedua cewek itu malah makin jadi. Akhirnya aku biarin aja pesan mereka. Bodo amatlah, puyeng aku. Tiba-tiba pintu kamarku dibuka, kepala ayah nongol. “Na, Ayah keluar dulu ya. Mau main tenis sama teman Ayah,” ujar Ayah. Aku hanya mengangguk. “Jangan lupa mandi ya,” pesannya. Aku mengangguk sekali lagi. “Terus nggak usah masak. Ayah makan di luar.” Aku mengangguk, lagi. “Trus, Na…” “Apa lagi, Yah? Ngomongnya jangan satu-satu, sekaligus dong,” dengusku kesal. Ayah nyengir, beliau menutup kembali pintu kamarku. Tak lama kemudian si Ayah nongol lagi. “Na,” panggil Ayah. Aku menoleh malas ke arah Ayah. “Apa?” “Alfa udah di depan tuh. Nungguin dari tadi,” ujarnya lalu buru-buru kabur. Aku diam, loading bentar. Aku langsung bangun ketika sadar kalau Alfa udah ada di rumah. Aku menuju kaca yang ada di meja rias. Aku perhatikan penampilanku. Rambut berantakan, muka kucel dan masih pakai piyama. Ditambah lagi belum mandi dari pagi. Parah, anjir. Aku buru-buru ngacir ke kamar mandi. Aku cuci mukaku secepatnya sambil memastikan belek udah minggat. Aku sikat gigiku dan memastikan napasku dengan menghembuskan napasku ke tanganku. Aku cium, udah lumayan karena habis sikat gigi. Aku ambil sedikit air lalu aku basahi rambutku agar nggak berantakan. Tak lupa aku celupin kedua tanganku ke air lalu gosok cepat ke ketiakku, berharap mengurangi bau nggak sedap karena belum mandi. Setelah itu aku cuci tanganku lalu buru-buru ke ruang tamu untuk menemui Alfa yang entah sejak kapan udah ada di ruang tamuku kata ayah. Aku tiba di ruang tamu dan ternyata benar, dia udah duduk di sana dengan tenangnya. Alfa memang sudah tahu rumahku. Aku juga. Jauh sebelum kami pacaran, kelas kami sudah rutin melakukan pengajian setiap bulan yang dilakukan di rumah siswa secara bergantian. Sukarela, bukan berdasarkan absen atau undian. “Fa, kok nggak bilang mau ke rumahku?” tanyaku heran sembari duduk di sofa, sengaja memilih kursi yang agak jauh darinya biar dia nggak tahu aku belum mandi. “Aku kan lagi ngambek,” jawabnya masih dengan ekspresi muka bete. Aku mengernyitkan kening. “Ngambek kok ke sini?” tanyaku setengah menyindir. Alfa menyipitkan mata dan memanyunkan bibirnya. “Pacar ngambek itu dirayu bukan diusir,” dengusnya kesal. “Siapa yang ngusir pacar? Aku hanya nanya. Nanya,” ujarku mulai kesal. Alfa menghela napas berat. “Aku ngambek,” katanya dengan nada manja. Seperti minta dirayu. “Terus maunya diapain?” tanyaku jujur, nggak paham beneran dengan pola pikir Alfa yang absurd. “Ya dirayu, minta maaf atau apa gitu. Kau udah nendang aku didepan umum kemarin. Malu aku,” jawabnya mengeluarkan uneg-unegnya. Aku diam, mikir sejenak. Benar sih apa yang dia bilang. Aku udah keterlaluan padanya. Seharusnya aku nggak nendang dia di depan umum toh Alfa emang udah nyebelin parah selama ini. “Maaf,” ujarku lirih. Alfa menghela napas lega. “Bilang dong dari kemarin, aku nggak akan ngambek lama-lama,” ujarnya sambil mendekat kepadaku. Alfa memudian pindah tempat duduk. Sekarang dia jadi duduk di dekatku. (Semoga dia nggak tahu aku belum mandi. Amin.) “Pacar, ada beleknya tuh!” ujarnya sambil menunjuk wajahku. Aku kaget mendengar ucapan Alfa. Dengan cepat aku gunakan kedua jari telunjukku untuk menyapu belek di mataku, nggak ada. Apes. Aku dibohongin. Nyebelin. “Nggak ada kok beleknya. Tuh, bersih,” ujarku sambil menunjukkan jari telunjukku. Aku bahkan kembali menyapu kembali mataku, memastikan nggak ada belek di sana. “Nggak ada tuh!” ujarku lagi. Alfa hanya mengangguk lalu ngakak. “Bercanda,” ujarnya masih sambil ngakak. Aku manyun. Malu sekaligus kesal dikerjain olehnya. “Ih, jahat!” dengusku kesal. “Bercanda, sayang,” ujarnya sambil mencubit pelan hidungku. Aku menepis tangannya, masih bete. Meski Alfa manggil aku sayang, nggak ada pengaruhnya. Bagiku, dia tetap nyebelin. “Kau marah?” tanyanya tiba-tiba. Dia memang cowok ajaib yang nggak peka-peka. Aku mengangguk. “Aku nyebelin ya?” tanyanya sekali lagi. Aku menganguk mengiyakan. “Aku jahat ya?” tanyanya. Aku diam. Dia emang nyebelin tapi nggak jahat sih. Aku menggelengkan kepalaku. “Na,” panggilnya. Aku menoleh, memandang wajah ganteng pacarku. Alfa tersenyum lembut. Dia mengusap-usap lembut pipiku dengan jari-jari tangannya yang panjang dan jentik. Entah kenapa aku merasa terbawa dengan perlakuannya yang begitu halus dan lembut. Kekesalanku padanya mendadak sirna. “Dulu aku punya sahabat, namanya Zulfan. Kami berteman sejak SMP. Dia punya pacar namanya Dhea. Mereka menjadi pasangan paling serasi di kelas. Zulfan sayang banget ke Dhea. Dia memperlakukan Dhea dengan begitu baik. Tapi Dhea berpaling, dia selingkuh. Zulfan sangat terpukul, dia jadi stress dan pindah sekolah,” katanya mulai bercerita. Aku tertegun, mendengarkan dengan seksama ceritanya. “Karena itu aku nggak mau pacaran, takut kalau cewekku nanti bakal selingkuh. Aku juga nggak suka cewek yang selingkuh. Jadi jangan selingkuh ya. Aku udah memilihmu jadi pacarku, aku berharap kau nggak mengecewakanku,” katanya menimpali. Aku tertunduk lemah. Entah kenapa merasa bersalah karena sempat memikirkan Adam padahal udah punya pacar. Aku mulai terisak. Alfa mengangkat daguku dan melihatku dengan bingung. “Ada apa, Na?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut membuatku semakin merasa bersalah. “Maaf,” jawabku lirih. Tangisku pecah. Dadaku sesak. Tak kuasa aku tahan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul ke permukaan dan membuat pertahananku jebol. (Sumpah, aku ngerasa menjadi cewek paling berdosa sedunia.) “Ada apa, Na?” tanyanya lagi. Alfa mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Dengan lembut dia colek hidungku dengan jari telunjuknya membuatku yang menangis perlahan mulai tersenyum. “Nah, gitu dong. Kalau senyum, jadi cantik banget lho,” pujinya. Aku tersenyum geli mendengar gombalannya. “Ih, udah mulai bisa ngengombal ya,” ujarku sambil mencubit kecil pinggangnya. “Aw!” rintih Alfa kesakitan. Aku mulai menyerangnya dengan kedua tangan-mencubit gemes pinggangnya. Alfa ternyata gampang geli terutama jika disentuh pinggang dan lehernya. Aku yang usil pun mulai menjailinya hingga dia hanya ber-aw-aw membuatku jadi makin semangat untuk mengerjainya. Kami saling tertawa, terbawa dengan suasana yang mulai nyaman di antara kami. Tiba-tiba Alfa menangkap kedua tanganku yang sedang mencubit-cubit pinggangnya. Aku berhenti bergerak, tersihir dengan pandangan matanya yang meneduhkan. Kami beradu pandang. Aku tatap wajah ganteng pacarku yang makin lama terlihat begitu ganteng hari ini. Dia meraih pinggangku membuat tubuhku semakin mendekat ke tubuhnya. Entah karena pengaruh suasana atau memang bergerak alami, aku melingkarkan kedua tanganku dilehernya. Jarak kami yang begitu dekat membuatku samar-samar bisa mencium bau tubuhnya yang bisa dibilang “enak”. Alfa melemparkan senyum membuatku reflek ikut tersenyum. Perlahan cowok ganteng itu mendekatkan wajahnya ke arahku. Sedikit demi sedikit dia maju, mempersempit jarak di antara kami. Aku menelan ludah ketika wajahnya begitu dekat dengan tubuhku. Tiba-tiba dia menggodaku dengan sengaja menabrakkan ringan hidungnya ke hidungku. Membuatku semakin terhipnotis dan merasa enggan untuk beranjak dari posisi kami saat ini. Aku mencoba menahan napas ketika merasakan napasnya yang berhembus ringan di wajahku. Alfa memundurkan wajahnya dengan sengaja, sebagai gantinya digerakkannya jari telunjuknya menuju wajahku. Jari telunjuk itu berhenti tepat di bagian tengah dahiku. Agak lama jari itu diam di sana. Lalu secara perlahan dia gerakkan jarinya menuruni hidungku. Aku menahan napas sekali lagi ketika satu jari itu berhenti tepat di bibir bawahku. Cukup lama jari itu bermain di bibir, mengusap lembut bibirku dari ujung kiri ke kanan. Setelah puas bermain-main, jari itu bergerak lagi, kali ini menuju daguku. Ketika di dagu, jari itu menguat dan menarik wajahku cepat mendekati wajahnya. Kedua pupil mataku langsung melebar ketika merasakan bibir lembutnya menyentuh ringan bibirku. Alfa menarik bibirnya dari bibirku, mengakhiri ciuman singkat itu. Kemudian, dia tersenyum lembut membuat jantungku semakin berdetak nggak karuan. Aku gengam tanganku erat, entah kenapa jadi gemetar. Aku menelan ludah sekali lagi. Dia masih melingkarkan tangannya di pinggangku membuatku jadi makin salting. Entah apa yang harus aku lakukan di situasi seperti ini. Alfa mendekatkan wajahnya kembali membuatku lagi-lagi berhenti bernapas. Dia memajukan bibirnya mendekati bibirku. Aku mematung, hanya bisa memejamkan mata. Aku sudah bersiap dengan ciuman ini. Eh? Dia melepas tangannya dari pinggangku. Aku membuka mataku kembali. Alfa sudah menjauhkan tubuhnya dariku lalu buru-buru berdiri membuatku yang udah “siap” hanya melihatnya dengan pandangan bingung. “Ina, sebelum aku khilaf. Aku pulang aja ya. Bye,” pamitnya lalu menutup pintu rumahku. Blam. Alfa pulang. (Eh? Eh? Apa-apaan itu tadi?) Aku menggaruk-garuk kepalaku. Sedetik kemudian aku mendengar suara orang kesakitan. Aku keluar rumah dan melihat Alfa sudah tersungkur di tanah. Dia jatuh. Aku hanya ngakak melihatnya berusaha bangkit dengan muka merah menahan malu. Aku mulai cengar-cengir kayak orang gila ketika pacarku itu sudah menjauh pergi. It’s can I called as our first kiss right? Ah, sungguh nggak nyangka hal ini terjadi. What should I do when I meet him tomorrow? Help me, please.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN