Perdamaian

1670 Kata

Entahlah, kepala Kaluna masih berdenyut, emosinya habis terseret tangisan yang panjang. Ketika tubuhnya mulai melemah, Dhika tanpa berkata banyak membawanya masuk ke dalam pavillon. Ia menuntun ke sebuah kursi berlapis kain krem di ruang utama, menyuruh Kaluna duduk. “Diem disini, jangan ngapa-ngapain atau aneh-aneh lagi,” ucapnya sebelum melangkah pergi. Udara di dalam ruangan terasa berbeda dari dingin luar sebab lebih hangat, lembut, dan penuh aroma kayu tua. Pavillon ini jelas bukan rumah asing, melainkan properti Montegard yang disulap seperti kediaman pribadi. Langit-langitnya tinggi dengan balok kayu ekspos, jendela kaca besar terbuka ke arah taman, membiarkan cahaya sore menumpuk jadi semburat emas di lantai parket. Perabotannya bukan sekadar mewah, melainkan nyaman seperti sofa

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN