Tak hanya menyatakan menikah karena terpaksa, Gracie sama sekali tidak menyangka jika Alfa akan memberikannya sebuah surat kontrak pernikahan dengan poin yang tertulis di dalamnya. Menurut Gracie, hal itu benar-benar di luar nalar.
"Kak, kamu serius membuat surat kontrak pernikahan ini? Maksudnya apa sih?" tanya Gracie dengan rasa bingung dan kesal.
Alfa menjawab dengan nada dingin, "Kamu ini buta atau apa? Kamu bisa baca 'kan? Dari awal juga sudah aku jelaskan, aku menikah denganmu hanya karena terpaksa. Jadi, aku sengaja membuat surat kontrak pernikahan ini supaya kamu bisa mengikuti semua aturan di dalamnya. Kalau menurut kamu ada yang kurang, kamu juga boleh menambah poinnya."
Mendengar jawaban Alfa, Gracie merasa kecewa dan sakit hati. "Tapi untuk apa, Kak? Oke, aku terima kalau kamu tidak mencintaiku, tapi aku yakin bisa membuat kamu mencintai aku suatu saat nanti. Kenapa harus pakai surat kontrak pernikahan segala?" ujarnya dengan tekad yang mulai membara dalam hati.
Dia bertekad untuk membuktikan pada Alfa bahwa cinta tidak bisa dikendalikan oleh kontrak dan aturan semata, serta yakin bahwa suatu hari nanti Alfa akan jatuh cinta padanya.
"Sudahlah, kamu tidak perlu banyak bicara. Sekarang kamu tanda tangani saja dan ingat, kalau kamu tidak mau kedua orang tuaku atau kakekmu sedih, jangan memberitahu siapapun tentang kontrak pernikahan ini. Cukup kita berdua saja yang tahu," kata Alfa dengan tegas sebelum pergi meninggalkan Gracie menuju ke kamar mandi.
Hati Gracie terasa semakin sesak, ia merasa seperti seonggok daging tak berguna yang hanya mengikuti perintah orang lain. Namun demi keluarga, ia tak punya pilihan selain menuruti keinginan Alfa walaupun terasa mencekik lehernya itu. Tangisannya pun tak tertahankan, deras mengalir menyisakan perih yang terasa hingga ke jiwa.
Setelah mengumpulkan cukup banyak tekad, kembali Gracie mengambil surat kontrak tersebut, melihatnya sekali lagi dan menandatanganinya tanpa mengurangi kesedihannya.
"Ini semua demi kakek, mama dan papa. Aku yakin, aku bisa membuat kak Alfa mencintaiku dan surat kontrak pernikahan ini pasti bisa dibatalkan," batin Gracie, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ia bisa memperoleh cinta Alfa suatu hari nanti.
Beberapa saat kemudian, Alfa keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian. Dia tersenyum sinis, seolah puas melihat istrinya dalam keadaan yang penuh perjuangan, sementara Gracie mencoba menyembunyikan rasa putus asa yang kian menggunung. Hatinya terasa tersayat, tapi demi semua yang dicintainya, ia berjanji akan bertahan.
Kemudian, Alfa berjalan mendekati meja dan meraih surat kontrak yang telah ditandatangani oleh Gracie. Melihat tanda tangan itu, senyuman senang merekah di wajahnya.
"Bagus, kamu sama sekali tidak membantah," gumam Alfa sambil mengambil bantal dan merebahkan diri di sofa.
Peraturan dalam kontrak pernikahan yang Alfa buat mengharuskan mereka tidur terpisah, menjalani kehidupan masing-masing dan hanya berpura-pura mesra di depan orang tua saja.
Gracie hanya bisa pasrah dan tidak menambahkan satu poin pun dalam peraturan tersebut. Dalam hati, wanita itu berharap suatu saat nanti Alfa akan luluh dan menghapus surat kontrak itu, memberi kebebasan pada pernikahan mereka. Namun, hal tersebut membuatnya pada akhirnya mengurungkan niat untuk mengatakan apa yang ingin ia sampaikan tadi.
***
Hanya menghabiskan waktu dua hari liburan saja, yaitu pada hari pernikahan dan satu hari setelahnya, pasangan pengantin baru itu sudah kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Alfa, sebagai CEO di perusahaan milik keluarganya, memiliki banyak tanggung jawab yang harus ia pikul. Sementara Gracie, sebagai pemilik salah satu butik ternama di kota tersebut, juga tak kalah sibuk meski ia memiliki asisten dan orang-orang kepercayaan di sana.
"Bagaimana, apa Perusahaan Xavier Group sudah menerima proposal dari kita dan bersedia untuk bekerja sama?" tanya Gracie kepada asistennya, Dinda.
"Sudah, Bu. Perusahaan Xavier sangat puas dengan proposal yang kita ajukan dan hari ini juga, mereka meminta agar kita langsung datang ke perusahaannya untuk membicarakan soal kerjasama," jawab Dinda.
Gracie tersenyum lebar, ia tahu ini adalah kesempatan yang baik dan tak ingin menyia-nyiakan momentum ini.
"Syukurlah, terima kasih ya, Din. Selama dua hari saya tidak ke butik, kamu bisa menangani semuanya dengan baik," ucap Gracie, merasa sangat bersyukur.
"Sama-sama, Bu. Saya juga sangat senang melakukannya dan ini memang sudah menjadi tugas saya," balas Dinda.
***
Dalam perjalanan menuju Perusahaan Xavier Group bersama asistennya, Gracie merasa cemas dan tidak bisa fokus. Pikirannya kacau, merenungkan nasib pernikahannya dengan Alfa yang entah bagaimana kelanjutannya. Namun di sisi lain, ia sadar bahwa pekerjaan juga prioritas utama dan harus melupakan masalah pribadi atau urusan hati untuk sementara waktu.
Setibanya di perusahaan tersebut, kedatangan kedua wanita cantik itu langsung disambut hangat oleh asisten CEO yang membawa mereka segera menuju ruang rapat.
"Selamat datang di perusahaan Xavier Group, Bu Gracie dan Bu Dinda. Mohon maaf, CEO kami ingin bertemu langsung dengan Bu Gracie, tetapi beliau sedang dalam perjalanan. Silakan menunggu sebentar," ucap Reyhan, asisten CEO tersebut.
Gracie tersenyum dan menjawab, "Oh, tidak masalah, Pak. Kami akan menunggu." Meskipun hatinya masih merasa kalut, dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan utamanya datang ke sini.
Tak berapa lama, pintu ruangan terbuka dan seorang pria tampan masuk ke dalam. Melihat wajahnya, Gracie merasa sangat terkejut. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sosok yang tak asing baginya.
"Kenapa dia di sini?" gumam Gracie dalam hati, tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Cobaan apa lagi ini?" Dalam situasi yang penuh tekanan ini, Gracie berusaha tetap tegar demi menggapai sukses yang diimpikannya.
Sementara pria itu tampak tersenyum misterius menatap ke arah Gracie, lalu ia pun segera saja duduk dan memperkenalkan diri sebagai CEO Perusahaan Xavier Group.
Gracie berpikir dalam hati, "Jadi pria ini adalah CEO?" Dia seakan tak percaya, namun berusaha untuk bersikap tenang.
Bersama asistennya, Gracie segera menjelaskan tentang proposal yang sudah mereka ajukan terkait kerjasama. Pria tersebut pun mengangguk mengerti dan setuju untuk bekerja sama, hingga pada akhirnya rapat pun telah selesai.
"Kalian boleh keluar terlebih dulu, tinggalkan saya dan Bu Gracie karena ada yang ingin saya sampaikan," kata pria tersebut, sehingga Reyhan dan Dinda pun keluar terlebih dulu dari ruang rapat.
Gracie merasa gugup setengah mati saat pria itu mendekatinya dengan tatapan misterius, tak tahu apa yang ingin dibicarakannya.
"Kita bertemu lagi. Kali ini, jangan berharap bisa kabur dariku. Aku tidak akan pernah membiarkanmu lepas seperti malam itu."
Mendengar ucapan pria bernama Drake Galen Xavier itu, Gracie tersentak, tak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini.
Bersambung …