Chapter 3

1760 Kata
Lintang merasa bingung dan jenuh berada di rumah semegah istana dengan jumlah penghuni yang banyak tapi dia tak memiliki teman bicara. Rasa-rasanya ia ingin kembali mencari pekerjaan untuk membunuh waktu. Semua anggota keluarga beraktivitas sendiri-sendiri. Devana mengantar anaknya ke TK. Marsha pergi ke salon. Rangga, suami Marsha sudah berangkat bekerja, Ramdhan mengunjungi salah satu anak perusahaan, sedangkan Mirna pergi menemani Marsha. Lintang membuka laptopnya, mengetik huruf demi huruf untuk menuangkan isi hatinya. Sudah menjadi kebiasaan, ia sering kali mengetik untuk menumpahkan segala rasa. Setidaknya ia lega karena telah mengeluarkan unek-uneknya meski cuma sebatas mengetik di layar. Ia tak bisa jika harus membagi dukanya pada orang lain, terlebih ibunya. Ia tak mau ibunya bersedih jika mengetahui kondisinya. Ia juga tak akan menceritakan apa pun pada ayahnya. Sejak kecil ia terbiasa menelan duka itu sendiri. Ia selalu masuk kamar dan mengunci pintu agar bebas menangis lirih tatkala mendengar gunjingan orang tentang ibunya yang dianggap pelakor hingga bisa membuat pengusaha kaya Agung Haryanto berpaling padanya dan menikahinya. Hatinya terluka kala dengan pedasnya orang-orang mencela sang ibu. "Dia mah enak, punya sawah, baju bagus, kosmetik mahal, tiap bulan lancar kiriman. Lha modal kaki ngangkang udah bisa dapat ini itu." "Tapi tetep lah jeng, statusnya lebih rendah dibanding istri pertama. Sampai kapanpun julukan pelakor itu akan tetap melekat." "Modal wajah cantik aja udah keganjenan ngrayu laki orang. Tetep lebih tinggi kita yang nggak ngrebut suami orang." Bagi Lintang, ibunya adalah wanita terbaik, tak peduli apa pun penilaian orang. Ibunya bercerita bahwa dulu ia menerima lamaran ayahnya karena menuruti amanah almarhum kakeknya. Pada masa itu, anak-anak gadis di kampungnya memang tak ada yang berani melawan kehendak orang tua. Sifat penurut ibunya menurun padanya. Ia pun tak berani menolak permintaan ayahnya untuk menikah dengan Langit. Lintang membuka salah satu platform menulis. Ia menyalurkan hobi menulisnya di sana. Ia merasa memiliki teman ketika apa yang ia tulis mendapatkan tanggapan dari orang yang membacanya. Sejenak ia membuka blog psikolog favoritnya. Ia senang membaca curhatan para pembaca dan dibalas langsung oleh psikolog tersebut. Dulu ia kerap mengirim surel pada psikolog bernama Arabel Clara, meminta nasihat. Ia mengenalkan diri dengan nama Redrose. Lintang senang bukan kepalang ketika Arabel meluncurkan blog tempat untuk konsultasi gratis. Entah kenapa ia ingin kembali menghubungi Arabel. Ia butuh motivasi dan semangat. Meski ia tahu, terkadang harus menunggu balasan surel beberapa hari, tapi ia ingin mencoba kembali meminta semangat pada psikolog favoritnya itu. Dear Arabel, gimana kabarnya? Apa masih inget aku? Lama nggak konsultasi, rasanya kangen membaca kata-kata motivasi kamu. Oya, aku sudah menikah. ---- Sebenarnya ada banyak yang ingin ia bagi. Namun ia rasa, cukup untuknya bertanya kabar terlebih dahulu. ****** Menjelang sore, Lintang bergabung dengan para asisten yang mulai sibuk memasak untuk makan malam. Ia bahkan memasak salah satu menu, semur daging sapi. Di kampung ia terbiasa memasak. Ibunya bahkan sudah mengajarinya memasak sejak SD. Dia kampungnya, anak-anak gadis memang terbiasa dididik untuk dapat mengurus pekerjaan rumah tangga dengan baik. Tiba-tiba bola plastik menggelinding dan mengenai kaki Lintang. Gadis itu mengamati bola di ujung telapak kakinya lalu tatapannya menyasar pada Varel, anak laki-laki berusia lima tahun, anak dari Devana. Varel menyunggingkan senyum. "Tante, main bola bareng, yuk," pinta Varel dengan suara cemprengnya. Lintang tersenyum lebar. "Ayo..." Selanjutnya Lintang menatap Bi Ijah yang masih sibuk memasak. "Bi, saya nemeni Varel main dulu, ya." "Oh, iya, Non, nggak apa-apa. Lebih baik Non Lintang nemeni Varel saja." Lintang mengangguk dan tersenyum. Ia menggandeng tangan Varel menuju taman di samping rumah. Keberadaan Varel di rumah itu memberi warna baru pada kehidupan Lintang yang ia pikir akan sangat monoton dan menjenuhkan. Keceriaan Varel dan kecerewetannya mampu membuat gadis itu tertawa, untuk sesaat ia lupa akan penatnya hidup. "Wah, seru banget kayaknya nih main bola sore-sore gini." Suara laki-laki itu sedikit mengagetkan Lintang dan Varel. Varel tersenyum lebar melihat sosok laki-laki yang kerap mengajaknya bermain bersama. "Pakdhe Rangga..." Varel menghambur ke arah Pakdhenya dan memeluknya. Ia senang karena Pakdhenya pulang kerja lebih awal. Rangga tertawa kecil. "Ponakan Pakdhe lagi main bola, ya?" "Iya, Pakdhe ikut main juga ya bareng Varel sama Tante Lintang." Rangga melirik Lintang yang mematung dengan menggenggam bola. Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum. Lintang balas mengangguk. Rangga mengajari Varel menendang bola. Sesekali ia melirik Lintang yang awas mengawasi Varel. Wajah Lintang yang ayu alami khas gadis desa membuat laki-laki 33 tahun itu tertarik. Diamatinya gadis itu lekat-lekat. Badannya langsing, warna kulit kuning Langsat, wajah manis asli Indonesia. Ia yakin gadis itu masih perawan sebelum Langit merenggutnya. Ia berpikir, Langit begitu beruntung mendapatkan istri seperti Lintang. Pikiran kotornya berfantasi, bagaimana Lintang begitu seksi di ranjang. Merasa diperhatikan Rangga, Lintang tak enak sendiri. Sementara Devana yang menyaksikan Lintang dan Rangga bermain bersama Varel merasa muak melihat tatapan Rangga yang tak berhenti menyasar pada Lintang. Ia berjalan menuju ruang tengah untuk menemui Marsha. "Mbak Marsha..." Marsha menoleh ke arah Devana. "Ada apa, Dev?" "Hati-hati Mbak dengan si Lintang itu. Dia lagi main bareng Varel, ditemani Mas Rangga. Jangan sampai Lintang gatel deketi Mas Rangga. Mas Rangga sampai segitunya lihatin Lintang." Mendengar penuturan Devana, Marsha seketika naik pitam. Dari awal ia sudah tak menyukai Lintang, apalagi setelah tahu bahwa Lintang adalah anak dari perempuan yang digosipkan sebagai pelakor. Ia beranjak dan berjalan ke taman samping rumah dengan mengepalkan tangan. Saat itu Rangga tengah mengajak Lintang berbincang. Marsha langsung saja mendekat ke arah mereka. "Mas, ngapain di sini?" tanya Marsha ketus. "Aku lagi main sama Varel." Rangga memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Main atau ngobrol sama Lintang?" Marsha menajamkan matanya. Rangga segera berlalu. Ia tak mau suasana bertambah runyam. Istrinya memang pencemburu. Marsha balik menatap Lintang tajam. "Jangan ganjen jadi cewek!" tegas Marsha dengan raut wajah penuh kebencian. Lintang terpaku. Ia bahkan sama sekali tak berbicara pada Rangga. Rangga yang datang mendekatinya dan Varel. Rangga memang sempat mengajaknya berbincang dan itu perbincangan biasa. Lintang merasa ia harus berhati-hati pada Rangga maupun Marsha. Sebenarnya tinggal bersama keluarga besar itu sangat tak nyaman bagi Lintang. Ia menginginkan bisa tinggal terpisah dan mandiri hanya bersama Langit. Namun, bagaimana bisa ia mengharapkan hal ini jika Langit tak pernah menganggapnya sebagai istri? ****** Malam berselimut gerimis. Langit menerawang ke luar jendela dari balik tirai. Lintang duduk di sofa, menonton acara televisi yang sebenarnya tak menarik di matanya. Ia hanya bingung bagaimana harus bersikap sementara Langit masih saja cuek padanya. Langit merasa jenuh. Ia ingin menemui Panji, sahabat dekatnya yang memiliki usaha rumah makan. Ada banyak yang ingin ia bicarakan pada sahabatnya itu. Langit mengambil jaket dan kunci mobil yang tergeletak di nakas. Lintang terkesiap. Rasanya kali ini ia tak bisa diam. "Mau kemana, Mas?" Lintang beranjak dari posisinya dan memberanikan diri untuk bertanya. Hanya bertanya saja sudah membuatnya gugup tak menentu. Ia sering kali merasa takut untuk berbicara dengan Langit. Kesan galak dan ketus semasa Langit masih menjadi atasannya, masih terasa hingga kini. Langit cukup kaget dengan pertanyaan Lintang. Tak biasanya gadis itu berani bertanya padanya terlebih dahulu. "Ke tempat teman," balas Langit singkat. "Gerimis, Mas..." ucap Lintang lagi. "Aku pakai mobil, nggak akan kehujanan," balas Langit dengan raut wajah yang datar. "Takutnya hujannya makin besar dan jalanan licin..." Perkataan Lintang menggantung saat matanya bertabrakan dengan mata Langit yang menatapnya tajam. "Maksudku... Ehm... Mas... Mas pulangnya jangan malam-malam." Untuk sesaat Lintang merutuki diri sendiri. Ia semakin gugup sementara Langit masih menatapnya tanpa ekspresi berarti. Lintang takut salah ucap. "Maaf... Mas, aku nggak bermaksud melarang. Aku tahu aku nggak punya hak untuk melarang. Mas bebas pulang jam berapa pun..." Lintang meremas jari-jarinya. Wajahnya menunduk. Ia takut Langit marah karena perkataannya. "Aku pulang jam sebelas," ujar Langit segera. Ia menatap Lintang sekali lagi lalu membuka pintu dan melangkah keluar. Lintang tercenung. Ada rasa lega karena Langit mengatakan bahwa ia akan pulang jam sebelas. ****** Seorang laki-laki yang tengah menghidangkan secangkir kopi pada pelanggannya menatap ke arah pintu dan melihat kedatangan sosok yang sudah tak asing lagi. "Woi, Langit..." Panji tersenyum merekah. Langit membalas senyum itu lalu ia duduk di salah satu sudut. Panji mendekat ke arahnya. "Pengantin baru ngapain kamu ke sini? Kirain lagi honeymoon." Panji duduk di depan sahabatnya dan tersenyum meledek. Langit tersenyum miring. "Honeymoon? Kamu sama aja kayak Papa, nyuruh aku honeymoon. Kamu tahu sendiri riwayat pernikahanku kayak apa. Gimana bisa honeymoon?" Panji terkekeh, "Mau sampai kapan kamu bakal bersikap dingin ke istrimu? Menikah juga butuh cinta. Kamu cuma perlu ngasih diri kamu kesempatan untuk jatuh cinta sama istrimu." Selama ini Langit selalu bercerita apapun pada Panji. Hanya laki-laki itu yang Langit percaya untuk menampung semua isi hatinya. "Nggak semudah itu. Dari awal aku nggak mau melibatkan perasaanku. Aku juga minta dia buat nggak melibatkan perasaan dia dalam pernikahan ini. Aku nggak mau ngasih harapan apa pun sama dia atau bikin dia berharap. Karena itu sebisa mungkin aku jaga jarak." Langit mengembuskan napas pelan. "Kamu masih ngarepin Arabel?" Panji menatap Langit serius. Langit tergugu. Rasa itu masih terjaga untuk Arabel kendati perempuan itu tak pernah memberikan hatinya untuknya. "Arabel udah bertunangan. Kamu sekarang udah punya kehidupan baru. Cinta mungkin butuh waktu untuk bisa tumbuh. Tapi seenggaknya kamu mesti respek sama istrimu." Lagi-lagi Langit membisu. Sulit untuknya membuka hati untuk Lintang. Tak ada rasa sedikit pun di hatinya untuk gadis itu. "Entahlah... Aku nggak bisa maksain diri untuk buka hati. Rasanya udah cukup buat aku memenuhi permintaan Papa. Yang terpenting buat aku adalah fokus ke kerjaan. Aku nggak mau mikirin masalah ini lebih jauh. Aku bakal nafkahin dia. Aku nggak akan ngekang dia. Tapi aku nggak bisa ngasih hati buat dia. Aku juga nggak akan nyentuh dia." Panji terdiam sejenak. Senyum miring tercetak di kedua sudut bibirnya. "Yakin? Kamu nggak bakal nyentuh dia? Emang Papa kamu nggak pingin punya cucu dari kamu?" Pertanyaan Panji mengacaukan pikiran Langit. Tentu ayahnya menginginkan cucu darinya. Namun, ia sudah berjanji untuk tak memberi harapan apa pun pada Lintang. Ia tak akan menyentuh Lintang selama di hatinya belum ada cinta untuk gadis itu. ****** Langit baru tiba di rumah pukul dua belas karena jalan yang cukup padat meski sudah larut. Ia melangkah menuju kamarnya. Matanya tertambat pada Lintang yang tertidur di atas sofa. Televisi masih menyala. Matanya sedikit membulat kala ia menyadari Lintang mengenakan gaun tidur yang ia belikan. Gaun itu berbahan satin halus. Roknya tersingkap hingga menampilkan paha mulus yang sedikit mengacaukan pikiran Langit. Segera ia tutup tubuh istrinya dengan selimut. Ia tak mau tergoda untuk menyentuh Lintang. Langit mematikan televisi. Ia membersihkan diri di kamar mandi lalu berganti baju. Langit menatap Lintang sekali lagi. Gadis itu tidur begitu pulas. Langit merebahkan diri di ranjang dan memejamkan mata, berharap waktu cepat bergerak menuju pagi. ****** bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN