Part 12: Patah Hati

1566 Kata
"A-Aldo?" Alika tercekat, terlihat luar biasa terguncang. Aldo dan perempuan tadi juga terlihat sama kagetnya, iris mata mereka saling bertemu, perlahan Alika melangkah mendekati dua orang di depannya itu. Lelaki di depannya ini nampak gelisah, dan Alika sudah tak peduli dengan itu. "Siapa dia?" Tanya Alika dengan suara dingin seperti ingin menguliti. Aldo melirik gadis disebelahnya yang terlihat kebingungan. "Kenalin namanya-" "Aku gak butuh tau namanya, yang aku tanyakan siapa dia? Apa hubungan kalian?!" Teriak Alika melengking, tak ayal membuat Aldo dan gadis tadi berjengkit kaget. Aldo langsung meringsek maju, memegang bahu Alika cepat. "Kamu tenang dulu." Alika menepis tangan Aldo sarkas. "Gak usah banyak basa-basi, cepat jawab pertanyaan aku tadi!" Gadis yang biasanya memandang memuja pada lelaki itu kini terlihat sangat murka. Aldo meneguk ludah, terlihat bersalah. "Dia pacar aku." Deg! Alika seperti tertampar kenyataan, Aldo langsung berusaha menggapai kembali tangan Alika. "Kamu harus ngertiin aku, Ka. Kalau perasaan tidak dapat dipaksakan. Lagipula selama ini kita tak punya hubungan lebih." Ujarnya menerangkan. Alika benar-benar tak bisa mempercayai kalau lelaki di depannya ini adalah orang yang selama ini ia puja. Ternyata Aldo tak lebih dari sekedar lelaki brengs*k! Lelaki yang sudah ia sukai sejak kecil, lelaki yang selalu membuatnya berdebar, dan lelaki idamannya. Sudah hilang sekarang. "Ka-" "Lepas!" Aldo menghela napas pelan. "Maaf-" "Sekarang kamu bebas, Do." Aldo tersentak, Alika perlahan mengangkat wajahnya, seulas senyum getir terbit di bibirnya. "Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau, aku gak akan pernah gangguin kamu lagi." Aldo mematung, entah kenapa jadi sedikit menyesal. "Karena mulai hari ini, gak akan lagi ada Alika yang menyukai Aldo. Selamat tinggal." Lalu gadis itu berbalik, meninggalkan Aldo yang tercenung di tempat. *** Penyesalan datang di akhir kalau di awal namanya pendaftaran, kiranya itulah ungkapan yang dapat menggambarkan keadaan Alika sekarang. Gadis pendek itu meringkuk di pojok kursi taman, dengan masih memakai masker karena takut ketahuan. Alika tidak menangis, ia adalah gadis yang kuat tapi ia juga tidak bisa munafik. Hatinya sekarang sangat hancur, ada perasaan terluka yang sangat dalam sampai-sampai tak mampu ia utarakan. "Apa aku seburuk itu di mata kamu Do? Sebenarnya apa kurangnya aku?" Alika melirih, pertama kali dalam hidup ia merasakan cinta dan pertama kali juga hatinya dipatahkan. Tes. Alika langsung mengusap kasar pipinya, ia tidak akan menangis demi laki-laki brengs*k macam Aldo. "Lelaki itu sudah punya pacar." Alika membatu, ingatannya tiba-tiba kembali pada saat Arlan memberitahunya tadi. Alika meneguk ludah getir, apa yang sudah ia lakukan? Ia malah memaki-maki Arlan saat Arlan memberitahunya. Perasaan bersalahnya langsung menyeruak ke permukaan. "T-ternyata yang diucapin Pak Arlan bener." Gumamnya merasa sangat malu, ia yang ngotot membela Aldo tapi ternyata ia sudah salah kaprah. "Aku harus minta maaf." Alika berdiri, langsung berlari mencari taxi untuk membawanya ke rumah lelaki itu. Setelah sampai di depan rumah megah Arlan, Alika tidak berani masuk, gadis itu hanya bisa diam sambil mengamati kediaman Arlan. Alika meneguk ludah, pelan-pelan merogoh HP di saku bajunya. Dengan memberanikan diri Alika mendial nomor tersebut. Sambungan pertama tidak dijawab. Alika tak menyerah. Sambungan kedua Arlan mereject panggilannya, Alika tetap tak menyerah begitu saja, ia kembali mencoba. Dan di sambungan ketiga Arlan akhirnya mengangkatnya, Alika hampir memekik, merasa sangat senang. "Hal--" "Mau apalagi kamu hubungi saya?!" Alika terkesiap, senyumannya luntur. "S-saya ... " "Belum puas kamu maki-maki saya? Masih mau lanjut maki-maki di telepon?" "Maaf .. " Cicit Alika lirih. Hening beberapa saat. "Oh, dari nada bicara kamu sepertinya kamu sudah memergoki sendiri kelakuan lelaki itu?" Ada nada menyindir sarkas di ucapan Arlan. Kalau biasanya disaat begini Alika akan marah-marah, kali ini gadis itu cuma diam tak berkutik. "Saya boleh ketemu Bapak?" "Heh." Arlan mendengus kasar. "Saya gak mau nemuin kamu, dan juga untuk seterusnya kamu gak perlu jadi sekretaris saya. Saya akan mengganti posisi kamu jadi karyawan biasa, jadi kita tidak perlu ketemu lagi!" Tandas Arlan sepertinya beneran sangat murka. Alika membatu, merasa semuanya jadi kacau, tapi entah kenapa tiba-tiba gadis itu merasa takut ... takut kalau lelaki ini benar-benar menjauhinya. "Untuk selanjutnya jangan hubungi saya lagi!" Tegas Arlan. Dan tepat sebelum lelaki itu mematikan teleponnya Alika langsung berujar tegas. "Saya ada di luar rumah Bapak!" Hening kembali, Alika harap-harap cemas menunggu balasan. "Saya gak peduli!" Tut! Alika tercenung, tak lama jadi tersenyum miris. Berharap apa ia sebenarnya? Mana mungkin lelaki itu mau memaafkannya. Alika jadi prihatin dengan nasibnya sendiri, cuma karena terbutakan cinta membuatnya sampai sebodoh ini. JDERR!!! Gadis yang memakai masker hitam itu terlonjak, mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung, dan benar saja hujan langsung turun deras beberapa detik setelahnya. Tubuh tanpa pelindung Alika basah kuyup. "H-haha ... " Alika tertawa serak, "Hahahaha! Semesta bahkan tau keadaan aku." Alika terlihat makin mengenaskan dibawah hujan, gadis itu tertawa dan menangis bersamaan. Alika terjatuh, berjongkok menyembuyikan wajahnya diantara lekukan kakinya. Ia tidak berpindah dari tempatnya, memilih menunggu berjam-jam disana. Tubuhnya menggigil, bibirnya memucat putih dengan kantung mata menghitam. Ia percaya Arlan akan kasihan dan mau menemuinya. Karena lelaki itu baik, Alika percaya. Menurutnya semua ini setimpal dengan perlakuan buruknya pada Arlan, ia sangat pantas menerima semua ini. Namun semakin lama kepalanya makin pusing, keadaannya menggigil parah karena sejujurnya Alika paling tidak tahan dengan kedinginan. Bruk! Tubuh mungilnya akhirnya tumbang juga, namun samar-samar ia bisa melihat bayangan seseorang yang berlari mendekat kearahnya. Alika jadi tersenyum tanpa sadar. "B-benar kan, Bapak pasti dateng ... " lirihnya tepat sebelum kesadarannya menghilang. *** Lelaki jangkung bersweater abu-abu itu bersedekap, menurunkan HP dari telinganya dengan tatapan dingin mengarah pada satu obyek. Alika. Arlan menatap gadis itu dengan datar, mata elangnya memicing tajam menatap Alika. Kasian? Nyatanya sekarang yang dirasakannya cuma marah. Lelaki itu benar-benar murka pada gadis bermulut tajam itu. "Cih mau belagak sok tersakiti sekarang?" Decih Arlan beranjak ke ranjangnya, lelaki itu memilih mengecek data-data perusahaan lewat Ipad daripada mengurus masalahnya dengan Alika. Lelaki ini memang workaholic. JDEER!!! Arlan terkesiap, tanpa sadar jadi melirik jendelanya. Terlihat hujan turun dengan begitu derasnya, membuat Arlan sedikit risau. "Gadis itu pasti sudah pergi." Simpulnya menggedik, mencoba tidak peduli. Detik, menit, jam berlalu dengan begitu lama, karena sejujurnya hatinya memang terasa berat. Arlan perlahan beranjak, medekat kearah jendela, terlihat ia beberapa kali menghela napas. "Gak mungkin dia--" iris mata lelaki itu membesar utuh, melihat Alika yang terjatuh lemas di luar sana. "Dasar bodoh!" Desisnya lalu berlari keluar rumah, keluarganya yang kebetulan sedang berkumpul di ruang tengah sampai kebingungan tapi Arlan tidak punya waktu untuk menjelaskan. Arlan langsung menangkap tubuh Alika yang hampir terjatuh, melihat keadaan mengenaskan gadis ini membuat sesuatu di dadanya seperti akan meledak. Gadis itu masih sempat-sempatnya mengigau sebelum pingsan, Arlan langsung mengangkat tubuh Alika dan membawanya masuk rumah, terlalu beresiko jika ia membawa Alika ke Rumah Sakit karena bisa menimbulkan skandal, jadi ia lebih memilih memanggil dokter keuarganya saja. "Loh Alika?!" Keluarganya terlihat sangat kaget, pasalnya Arlan yang jomblo menahun tiba-tiba membawa gadis pulang, udah gitu pake scene gendong-gendongan segala lagi. Semua orang salah kaprah. "Buk tolong panggilin dokter keluarga kita, Alika pingsan!" Arlan berlari terburu-buru ke kamarnya bahkan kaki lelaki itu terlihat berdarah lecet karena Arlan yang lupa memakai sandal. "Kenapa Mas?" Tanya Via karena Agam sejak tadi menatap Arlan. Agam mengangkat alisnya tenang, tersenyum tak terbaca. "Ternyata anak kita sudah dewasa." Ucapnya penuh arti. *** Kelopak mata Alika terasa berat saat gadis itu berusaha membukanya, tubuhnya terasa berat seperti ditimbun berlapis-lapis selimut tapi sangat nyaman karena terasa hangat. "Sshhh!" Alika mendesis merasakan pusing yang sangat parah di kepalanya, sonntak suara itu membuat Arlan yang berada disebelahnya tersentak. Arlan langsung mendekat, membantu Alika yang ingin mendudukkan diri. "Masih pusing?" Alika mengangguk, Arlan menghela napas pelan. "Lagian kamu itu bodoh atau gimana sih! Sudah tau hujan deras kenapa tetep disana?!" Meskipun terdengar keras tapi tak bisa dipungkiri kalau terselip nada kekhawatiran di dalamnya. Alika meneguk ludah, perlahan menggapai tangan Arlan, Alika sedikit lega karena Arlan tidak menepis tangannya. "Maaf." Cicitnya dengan suara merendah, tampilan angkuh yang biasanya gadis itu tunjukkan sirna entah kemana. Arlan diam beberapa saat sambil menatap kearah Alika. "Kenapa kamu sampai segitunya cuma buat dapet maaf dari saya?" Alika terkesiap, menatap Arlan dalam. "Karena saya benar-benar merasa bersalah sama Bapak." Tuturnya jujur. "Saya merasa malu, khawatir, marah. Tapi itu semua juga terjadi karena ulah saya sendiri, jadi saya harus mempertanggung jawabkannya." Alika menunduk lemah. "Yaudah saya maafin." Alika spontan mendongak cepat, "B-beneran Pak?!" Tanyanya terlihat sangat antusias. Arlan diam-diam tersenyum tertahan, merasa senang melihat raut antusias gadis ini. "Hm." Alika ingin meloncat saking senangnya, rasanya baru pertama kali ini ia merasa bahagia karena Arlan. "Makasih Pak." "Ngomong-ngomong mau sampai kapan kamu pegang tangan saya?" Arlan melirik penuh arti pada tangannya yang masih digenggam gadis ini. Alika terkesiap, tapi tetap tak melepaskan genggamannya. "Saya gak boleh pegang Bapak?" "Gak!" Arlan ya tetap Arlan, lelaki bermulut pedas. Namun kali ini tak seperti biasanya, Alika justru tetap bergelayutan manja di lengan Arlan, Alika saat sakit memang akan keluar sifat manjanya. "Pak elus-elusin kepala saya." Pintanya. Arlan mendelik. "Biasanya kalau saya sakit Mamah atau Papah selalu elus kepala saya." "Tapi saya bukan Mamah Papahmu!" Dengus Arlan. Alika merengut, akhirnya melepaskan genggamannya. Arlan entah kenapa tiba-tiba merasa kehilangan, memang lelaki ini sangat aneh. "Yaudah saya tidur Pak, maaf sudah banyak nuntut." Lirihnya sebelum kembali merebahkan diri. Hening beberapa saat. Sampai sebuah usapan pelan terasa di kepalanya, Alika tentu saja langsung terkesiap kaget. Membuka matanya kembali, dan sosok lelaki itu terlihat sedang mengelus kepalanya lembut. Alika meneguk ludah, mereka berdua saling bertatapan dalam diam. "Ekheeem!" Dan keduanya seketika terlonjak, saat mendapati keluarga besar Arlan ternyata sedang memergoki mereka. Mam-pus! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN