BAB 9 – Safana dan Spontanitasnya

2040 Kata
Safana merona malu, meskipun begitu dia tidak bisa keluar sekarang. Shaka menahan, meminta Safana menunggu beberapa menit di dalam ruangan sambil memegangi kemeja putih. Sementara itu Shaka sibuk mengusapi bagian tubuhnya yang terkena tumpahan minuman, dengan handuk yang tadi Safana bawa. “Ini kesalahan saya, lupa memberitahu kalau yang datang harusnya pelayan laki-laki, bukan perempuan,” ujar Shaka dalam posisi membelakangi Safana. Demi menghindari memberi tontonan gratis, yang bisa saja membuat Safana ngiler jelalatan. “Tapi tidak apa, saya maafkan karena kamu menolong saya sekarang.” “Kenapa nggak ke kamar Tuan Muda saja?” Dia balas bertanya, dengan bibir mengerucut tak kentara. Jujur pas pertama melihat tadi, Safana semacam diberi alat kejut jantung. Kaget sekaligus melongo, karena bagaimana bisa dia menyaksikan seseorang setengah telanjangg di depan mata. “Tadinya saya kira salah satu tamu undangan, soalnya Lidia nggak memberitahu siapa orang yang butuh handuk dan kemeja.” “Saya malas naik tangga. Kalau ada ruang paling dekat yang bisa dimasuki, kenapa tidak? Lagipula jangan banyak tanya, saya masih agak kesal sekarang.” Shaka mendengkus pelan, kemudian dia menoleh untuk menepuk pelan pundak Safana. Membuat perempuan itu terperanjat kaget, tapi tidak berani menoleh. “Tolong ulurkan kemejanya, saya mulai kedinginan.” Sambil memejamkan mata, Safana pelan-pelan mengulurkan tanganya ke belakang. Demi apa pun, tenggorokan Safana terasa kering. Pipinya memanas, padahal ruangan ber-ac. Berbahaya sekali. Efek dari tidak sengaja melihat Shaka, berbuntut panjang membuat Safana kewalahan. Duh! Kalau begini caranya, Safana terancam tidak bisa berdiri. Kepalanya mendadak pening, terindikasi virus roti sobek yang tidak sobek-sobek amat, tapi menggiurkan. “Kalian semua menginap malam ini?” Dia mengajak Safana bicara lagi, karena aneh saja satu ruangan tapi saling diam-diaman. “Biasanya setiap acara di rumah utama selesai, oma dan opa pasti memberi liburan para pelayan. Entah itu dua atau tiga hari, intinya mereka bebas menentukan mau ke mana dan mengunjungi tempat apa saja. Semua biaya ditanggung, sebab mungkin bayarannya setara dengan lelahnya mempersiapkan acara.” “Saya masih kerja. Tuan Muda nggak boleh lupa, saya ini diambil dari masion Tuan Raja. Meskipun di sini diberi libur, di mansion Tuan Raja saya tetap bekerja. Paling-paling yang kami nikmati hanya bonus yang dikasih Tuan Ardian dan Nyonya Fatma. Tuan Raja hanya mentolelir libur kerja di akhir pekan. Karena cukup sulit menangani mansion tanpa pekerja yang lengkap.” “Dia pasti majikan yang kejam. Saya tahu perasaanmu, karena saya memahami sifat sepupu saya. Dia memang tidak memiliki rasa iba pada manusia, karena selalu menatap remeh dan memandang rendah semua orang. Dia pikir dia berkuasa, padahal dia tidak lebih dari si sombong yang kebetulan beruntung.” Safana mengerjap pelan, kemudian menjilat bibir bawah mendengar Shaka menjelek-jelekkan Rajata. Dalam hati dia langsung tidak setuju, karena Rajata tidak sekejam yang dideskripsikan. Malah Safana senang bekerja di bawah pimpinan Rajata, mengingat pria itu tidak pernah mengusik mereka kecuali untuk hal yang berhubungan dengan istrinya. “Saya mengerti, mungkin Tuan Muda masih jengkel, karena gebetan Tuan Muda direbut oleh Tuan Raja. Tapi, apa yang Tuan Muda tadi bilang, semuanya nggak benar. Semua pelayan di mansion, sangat sejahtera memiliki bos seperti Tuan Raja. Beliau nggak banyak bicara, tapi bonus dan gaji selalu lancar jaya.” “Kamu bilang begini bukan karena takut, kan?” selidik Shaka dengan mata menyipit. Kali ini dia sudah selesai dengan urusan kemeja, hingga langsung mengelilingi sofa yang Safana tempati, hanya untuk menatapnya lebih jelas. “Tidak apa, saya bisa menyimpan rahasia. Katakan saja keburukan Rajata, supaya kamu lega. Saya berbaik hati jadi pendengar sekaligus tempat luapan emosi.”  “Tuan Muda ini kenapa? Kok tiba-tiba memaksa. Tolong profesional, jangan mencemarkan nama baik seseorang hanya karena dendam pribadi. Ayo move on, toh Nyonya Kama sudah bahagia dengan Tuan Raja. Nggak ada cela lagi untuk orang ketiga. Kalau Tuan Muda punya niat merebut, saya blak-blakan bilang kalau itu hal yang sia-sia.” Mereka beradu pandangan. Shaka berdiri menjulang tinggi, sementara Safana duduk dengan dagu terangkat. Sepertinya gugup Safana sudah hilang, buktinya dia sudah bisa menatap Shaka terang-terangan. Tidak ada lagi nada canggung atau gerak-gerik gelisah, karena kesongongannya sudah kembali. Lihat saja ekspresinya, penuh dengan cebikan yang mana membuat Shaka kesal. Terlebih, dia dalam posisi membela Rajata. Ch! “Tidak ada sangkutannya dengan Kama dan jangan bilang saya gagal move on. Kamu tahu konsekuensi mengatakan kalimat itu? Ancaman saya di pertemuan pertama kita, bersumber karena racauan dan ejekanmu saat mabuk. Andai saya tidak menghormati anak-anak, perempuan dan orang tua, kamu sudah saya banting detik ini juga.” Safana berdehem, setelah itu bangkit. Dia berusaha tidak terpengaruh, dengan menatap Shaka tepat di matanya. “Su-sudah selesai, kan? Ka-kalau iya, saya pergi sekarang. Yang lain pasti nyari, karena di dapur lagi sibuk-sibuknya. Andai saya dimarahi Megan, Tuan Muda harus tanggung jawab karena membuat saya terjebak di ruangan ini.” “Tanggung jawab seperti apa yang harus saya berikan?” Secara iseng tangan Shaka terangkat, meraih sejumput rambut Safana yang lepas dari ikatan, kemudian menyelipkan di belakang telinga hanya untuk membuatnya tidak bisa berkutik. “Kamu bicara soal move on, gimana kalau kamu yang membantu saya move on? Hitung-hitung kebaikan hati, sekaligus menebus rasa bersalahmu pada saya.” “Saya nggak mau. Mimpi aja sana!” balas Safana spontan, kemudian berlalu dengan menabrak bahu Shaka. Langkahnya terkesan lebar dan dihentak, hingga tiba di pintu, Safana menekan handle, lalu menoleh sesaat. “Saya simpulkan Tuan Muda mabuk, karena omongannya melantur ke mana-mana. Makanya jangan sok berani minum alkohol, nggak jelas begini ‘kan jadinya.” *** Safana menguap lebar kemudian merenggangkan tubuh. Dia melihat sekitar, sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. Perpustakaan cukup sepi, karena memang jam kuliah sedang berlangsung. Kelas mereka dibatalkan hari ini, karena dosen berhalangan hadir. Safana tidak bersama Melly dan Olin, sebab dia butuh tidur karena terlalu mengantuk. Inginnya Safana tadi diam di kelas, tapi Riko membuat semuanya tidak aman. Hingga langkah paling nekat yang Safana ambil, dia rela membuang tenaga menaiki tangga menuju lantai tiga, karena perpustakaan terletak di sana. Kelelahan terbayar pantas, karena selama dua jam setengah, dia tertidur pulas. Dengan kedua tangan terlipat di atas meja, yang dijadikan sebagai bantal. Safana sengaja mengambil tempat paling sudut, karena tidak ingin dilihat orang-orang, apalagi sampai dipergoki petugas perpustakaan. Kalau tidak, resikonya mungkin dibangunkan lalu diusir dengan kejam karena pada hakikatnya perpustakaan adalah tempat untuk mencari buku dan belajar, sedangkan dia menyalahgunakan dengan tidur. Ponsel di dalam tas berbunyi, membuat Safana langsung merogoh mengambil benda tersebut. Didapatinya beberapa pesan, juga jam yang menunjukkan delapan belas menit lagi waktu istirahat tiba. Nanti akan Safana gunakan untuk menuruni tangga, karena begitu tiba di lantai dasar, dia kemungkinan bertemu Kamania di koridor pembatas, untuk ke kantin sama-sama. Di grup kelas ada yang meminta mereka berkumpul, karena ingin menyampaikan hal yang penting. Untuk itu Safana langsung berkemas, kemudian pergi setelah memastikan meja yang dia gunakan sudah bersih. Safana berlalu dengan anggukan sopan pada petugas perpustakaan, kemudian fokus ke luar setelah melewati pintu. Dia menuruni tangga dengan langkah cepat, sambil sesekali melihat chat di grup, juga mengirimi Kamania pesan. Setelah tiba di lantai satu, Safana langsung belok kanan menyusuri koridor menuju kelas. Untungnya hanya melewati lima ruangan, jadi tidak membutugkan waktu lama, dia sudah sampai. Seperti yang sudah diperkirakan, anak kelas F berkumpul patuh. Mereka kompak menatap Safana, karena satu-satunya yang terlambat masuk. Tapi Safana tidak begitu perduli, karena fokusnya sekarang menuju Melly dan Olin yang melambaikan tangan. Di sisi lain ada Riko dengan ajakan yang sama–meminta duduk berdekatan, tapi jangankan menatap, menoleh saja Safana enggan. “Habis dari mana, Mbak?” tanya Olin saat Safana duduk tepat di sebelahnya. “Tadi cek grup, nggak? Aku ada spam chat, karena rencananya mau ajakin beli boba pas istirahat. Tapi Mbak Safa nggak balas, jadi kami uring-uringan sambil nunggu. Kebetulan juga Tessa mau kasih tau sesuatu, jadi kami batal keluar. Kayaknya pengumuman ini nggak ada hubungannya dengan kelas, jadi nggak wajib-wajib amat.” “Kita dengerin dulu, bisa jadi memang penting. Ingat hari Kamis kemarin? Mereka ngasih tau kalau dalam satu minggu wajib ngumpul uang lima ribu, buat kas. Nantinya dipakai kalau ada keperluan bersama, jadi nggak ada salahnya jaga-jaga,” timpal Melly dengan tatapan fokus ke depan. “Soal chat di grup, nggak ada yang penting, Mbak. Kita cuma nanya Mbak di mana tadi.” Safana manggut-manggut paham. Dia juga menatap Tessa yang berdiri di depan, sambil memberitahu keberadaannya tadi, “Aku di perpus, tidur. Ngantuk banget, soalnya beberapa malam ini begadang mulu. Kalau nggak akhir pekan, nggak akan fokus istirahat. Jam tidur belum benar-benar teratur.” “Memang sebanyak itu ya, Mbak, kerjaannya? Susah kalau berhubungan dengan jam tidur, soalnya itu ‘kan nggak boleh kurang. Aku aja bisa pusing misal kurang dari tujuh jam. Ini semacam kebiasaan. Karena dari dulu nggak pernah tidur di atas jam sembilan malam, jadi sampai sekarang nggak pernah kuat begadang.” “Aku sih tergantung. Kalau lagi susah tidur atau lagi ngerjain sesuatu, ya begadang. Kalau nggak ada, ya tidur. Kurang atau lebih, semuanya oke-oke aja. Kecuali kalau memang dasarnya nggak enak badan. Ya mau dipaksa juga nggak akan bisa. Kalau mamaku tahu, bakal keluar tuh rentetan omelannya.” Safana tertawa kecil mendengar curhatan mereka. Begini serunya berteman dengan Melly dan Olin, selalu ada bahan yang mereka bicarakan, membuat obrolan mengalir begitu saja. Pokoknya mereka bertiga sudah cocok, karena memang satu jalur dan nyambung satu sama lain. Safana menyayangkan Kamania yang beda jurusan. Kalau tidak, mereka pasti jadi tim yang kompak. “Enggak banyak, tapi tiga malam yang lalu di tempatku bekerja ada acara. Jadi bersih ini dan itu, bantu ini dan itu. Dan nggak hanya sampai tengah malam aja, karena berakhir nyaris menjelang pagi. Sesama pelayan dibuat sibuk berkali-kali lipat, untungnya saling bantu-membantu jadi bisa diselesaikan dalam waktu yang lumayan cepat.” “Wah, sulit juga, ya. Kupikir bakal ada sewa jasa apa gitu buat persiapin segala hal. Tetapi ternyata mandiri. Memangnya di tempat Mbak bekerja ada berapa pelayan? Acaranya pasti besar, sampai-sampai semua kewalahan. Juga, acara apa memangnya sampai pagi buta begitu? Kalau ulang tahun sepertinya bukan.” “Aku nggak tahu pasti, Lin. Tapi kalau digabungkan, mungkin ada lebih dari tiga puluh orang. Undangan dari relasi bisnis tuan rumah, karena semacam perayaan atau reuni akbar gitu. Aku nggak tahu pasti, karena nggak nanya. Ini resmi, jadi pekerja seperti kami tentu nggak punya hak untuk tahu lebih jauh.” Kompak Melly dan Olin mengangguk, tidak tertinggal tatapan takjub, karena mereka menyimpulkan majikan Safana bukan sembarang orang. Istilahnya mungkin terpandang, pengusaha sukses karena menyelenggarakan acara besar. Reuni akbar bukan istilah kecil, karena ini melibatkan satu organisasi atau satu angkatan. “Guys, gue minta waktunya sebentar!” ujar Tessa sambil menepuk-nepuk tangannya, membuat perhatian seketika terpusat ke depan. Di sana tidak hanya ada Tesa, tapi ada Nina, Levian dan Wanda. Masing-masing dari mereka memegang sesuatu, membuat Safana, Melly dan Olin mengernyit penasaran. “Jadi, nanti malam jam delapan gue ngadain party di salah satu cafe. Ulang tahun ke sembilan belas. Lo semua wajib datang, karena gue udah booking semalaman dan sediain apa yang lo semua sukai.” Seketika kelas heboh, ada yang balas bertepuk tangan bahkan memukul-mukul meja. Terutama dari kalangan cowok, karena mereka seakan mendapat air di tengah gurun yang tandus. Kalimat terakhir yang Tessa ucapkan, sangat menarik. Mereka paham maksud ‘sediain apa yang mereka sukai’. Gairahh muda, tidak jauh dari bersenang-senang semata. “Soal kado, jangan khawatir. Nggak wajib, karena memang gue nggak sebutuh itu. Tapi kalau dikasih, gue nggak akan nolak,” celetuknya jenaka, memancing tawa dari berbagai sisi. Selanjutnya Tessa berisyarat pada Nina, Levian dan Wanda, untuk membagikan undangan. “Syarat wajibnya bawa ini. Kalau nggak, kalian nggak boleh masuk.” “Gampang, Tess.” “Gue bawa dua-duanya, kado dan undangan. Lo tenang aja.” “Oke, kayaknya cukup. Terima kasih udah mau dengerin gue, Guys!” Tessa beranjak dari sana, membuat Safana, Melly dan Olin menatap satu sama lain. Seakan bicara lewat pikiran, mereka saling diam-diaman. Tapi itu hanya berlangsung beberapa menit, karena Riko tiba-tiba datang, membuyarkan semuanya. “Mbak, lo datang bareng gue. Nanti gue jemput. Lo tinggal sebut alamat.” Tentu Safana tidak setuju, karena Riko bukan temannya. Jadi alih-alih menanggapi Riko, Safana justru bicara pada Melly dan Olin, “Gimana kalau pulang kampus kita bareng-bareng nyari kado? Aneh kalau datang dengan tangan kosong.” “Setuju!” sahut keduanya antusias. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN