Memilih Acuh

1122 Kata
Seminggu sudah, Lio menggantikan posisi Agus. Selama itu pula, Shilla banyak menghabiskan waktu kerjanya di luar kantor bersama CEO barunya itu. Banyaknya agenda rapat di luar. Membuatnya mau tak mau mengikuti ke mana Lio melangkah. Seperti siang ini, contohnya. Ia tengah merapikan berkas, yang akan dibawanya. Melihat Lio, yang sudah meninggalkan ruangannya. Gegas, ia mengikuti pria itu menuju parkiran. Setelah hari, di mana Shilla tak menjawab pertanyaan Lio. Sejak itu pula, sikap Lio berubah. Ia tak lagi banyak bertanya pada Shilla. Ia hanya akan bertanya soal pekerjaan saja, atau memang jika sedang membutuhkan bantuan Shilla dalam hal pekerjaan. Selebihnya, pria itu memilih untuk diam. "Maaf. Siang ini kita ga berangkat pake mobil kantor. Karna mendadak pak Yudha ijin pulang, tadi. Istrinya yang lagi hamil jatuh di kamar mandi. Jadi saya suruh dia buat bawa mobilnya agar mudah antar jemputnya." Sebenarnya Shilla tak bertanya. Namun entah mengapa, Lio langsung menjelaskan begitu saja, saat mereka sudah tiba di parkiran. Mungkin karna, ia tak ingin Shilla salah paham padanya. "Baik, Pak." Shilla pun, tak bertanya lebih lanjut. Ia memilih untuk membuka pintu mobil Lio. "Kamu ngapain?" tanya Lio, yang melihat Shilla membuka pintu sopir. "Ya, mau nyetir, Pak," jawabnya enteng. "Saya ga nyuruh kamu buat jadi sopir saya." Lio memijat keningnya, yang tiba-tiba berdenyut. "Terus?" Lio tak menjawab. Tapi ia membuka pintu penumpang, dan berjalan mendekati Shilla. Kemudian, menarik wanita itu dan mendudukannya di sana. Setelah memastikan pintu tertutup dengan baik. Lio pun, memutari mobil dan duduk di kursi pengemudi. "Pakai sabuk pengaman kamu." Tanpa banyak bertanya lagi. Shilla melakukan apa yang Lio perintahkan. "Harusnya sebagai sekretaris Bapak.Saya yang bertugas membawa mobil, jika pak Yudha ga ada," ucap Shilla, saat mobil akan keluar gedung. Lio tak menanggapi. Ia hanya fokus pada jalan di depannya. Mendapati respon Lio yang hanya diam saja. Shilla pun, pada akhirnya ikut diam. "Kamu apa kabar?" tanya Lio, setelah hening beberapa saat. Pertanyaan Lio yang tiba-tiba, entah mengapa terasa lucu bagi Shilla. Bukan kah, harusnya Lio bisa lihat sendiri, kalau ia baik-baik saja. Kalau ia sakit, rasanya tak mungkin ia bisa masuk kerja. "Saya sehat, Pak," jawab Shilla enteng. "Maksud saya, kabar kamu selama dua belas tahun ini." Shilla menolehkan wajahnya menatap Lio. Bertepatan dengan Lio yang juga tengah menatap dirinya. Segera, Shilla membuang pandangnya. Menatap kosong pada jalanan padat di luar sana. "Maaf, Pak. Saya harap, Bapak ga bahas masalah pribadi di jam kerja." "Maaf." Entah seperti apa ekspresi Lio kini. Shilla enggan melihatnya. Ia terlalu muak, untuk mengingat masa lalunya dengan Lio. *** Rapat selesai mendekati jam pulang kantor. Artinya, akan lebih baik kalau mereka langsung pulang ke rumah, daripada harus balik ke kantor lagi. Karna jika kembali ke kantor, akan memakan banyak waktu. Juga tenaga. "Di mana alamat kamu? Biar saya anter sampai rumah." Shilla menghentikan gerakan tangannya, yang sedang memasang sabuk pengaman. "Bukannya, kita mau balik ke kantor?" tanyanya. "Ga perlu. Udah mau jam pulang juga, kok. Buang waktu kalau harus balik kantor lagi." Lio mulai menjalankan mobilnya, untuk keluar dari parkiran. Sebenarnya Shilla setuju dengan pemikiran Lio. Tapi sayang, ia tak ingin Lio mengetahui di mana ia tinggal. "Kalau gitu, Bapak bisa nurunin saya di depan. Saya masih harus balik kantor, karna ada barang penting yang tertinggal di sana," ucap Shilla memberi alasan. "Oke. Kita balik kantor kalau gitu." "Ga pa-pa, Pak. Saya bisa balik sendiri, kok." Sebenarnya, Shilla juga memang ingin langsung pulang ke rumah. Jika Lio menurunkannya di depan jalan. Ia akan memesan ojek online nanti. Namun sepertinya, Lio tak setuju dengan permintaan Shilla. Lelaki itu terus melajukan mobilnya, menuju kantor. Meski Shilla berkali-kali berkata untuk menurunkan dirinya di pinggi jalan. Shilla hanya bisa menarik napas, saat ia benar-benar kembali menjejakkan kakinya di kantor. Ia tak menyangka, kebohongannya untuk menghindari Lio agar tak tau tempat tinggalnya, justru membuat ia membuang banyak waktu, yang sebenarnya bisa Shilla gunakan untuk beristirahat. "Loh, kamu kok, balik lagi, Shill?" Pras terkejut, kala mendapati sang kekasih, hendak keluar dari lift. Pasalnya, tadi Shilla sudah mengirim pesan pada Pras, bahwa ia akan langsung pulang setelah dari tempat rapatnya. "Oh, iya. Ada barang aku yang ketinggalan di laci meja," kilah Shilla. "Kan, kamu bisa minta tolong sama aku, Shil buat ambilin barang kamu." Pras mengurungkan niatnya, untuk turun ke lantai bawah. Ia memilih menemani Shilla ke mejanya. Shilla yang tak ingin ketahuan berbohong, akhirnya mengambil barang secara acak dari laci mejanya. "Udah, yuk," ajak Shilla pada Pras. "Ga ada yang ketinggalan lagi?" tanya Pras memastikan. Shilla menggeleng. "Beneran, kok. Jadi, yuk, pulang." Sudah selesai jam kantor. Jadi, Pras dengan bebas menggandeng tangan Shilla. Namun, begitu pintu lift terbuka. Shilla langsung melepas tautan tangan mereka, entah mengapa. Pras sendiri merasa bingung. Namun tak urung, mengikuti gerakan Shilla, yang membungkukkan badannya, saat Lio keluar dari lift dan melewati mereka berdua. "Kok, kamu tiba-tiba lepas tanganku, sih?" tanya Pras heran. "Oh, itu. Ga enak aja, kalau sampe keliatan sama pak Lio." Terlihat Pras mengerutkan alisnya, saat mendengar jawaban dari Shilla. "Bukannya dari dulu, kita biasa aja, ya kalau kepergok mesra sama pak Agus?" Shilla salah tingkah, saat Pras mengatakan hal itu. Otaknya berputar cepat, mencari alasan lain agar Pras tak semakin curiga. "Kalau pak Agus, kan emang udah tau dari dulu. Dia juga tau, kalau kita bisa selalu bersikap profesional, meski pacaran satu kantor. Tapi kalau pak Lio, kan belum tau. Aku ga mau, pak Lio protes nantinya." Mau tak mau, Pras sedikit setuju dengan jawaban Shilla. Namun entah mengapa, masih ada rasa mengganjal di hatinya. Yang ia sendiri tak bisa pahami, apa itu. "Karna sekarang kita jadi pulang bareng. Nonton dulu, yuk. Ada film baru, yang seru banget." Shilla merasa Pras masih curiga. Maka dari itu, ia mencoba mengalihkan pikiran Pras, dengan mengajaknya nonton bioskop. Shilla yakin, kekasihnya itu akan dengan mudah menyetujui ajakannya itu. Karna Shilla tau, Pras sangat suka menghabiskan waktunya dengan menonton film. Entah itu di bioskop, atau pun, di rumah. Segala jenis film ia tonton. Bahkan Shilla tak akan heran jika, waktu libur Pras dihabiskan untuk marathon menonton serial kartun Jepang, yang menurutnya sangat seru. "Yuk," ucap Pras dengan semangat. Seperti dugaan Shilla. Pria itu dengan mudah melupakan perasaan mengganjal, yang ia rasakan tadi. *** Dari balik kaca, Lio mengintip interaksi antara Pras dan Shilla. Entah mengapa, dadanya terasa amat sesak, demi melihat kemesraan kedua sejoli itu. Ia tak suka dengan perasaan, yang kini ia rasakan. Rasanya, Lio ingin keluar dari ruangannya untuk mendekati mereka berdua. Lalu, dengan cepat menarik Shilla ke dalam pelukannya. Serta, menjauhkan Shilla dari kekasihnya kini. Lio menarik napasnya dalam, dan mengembuskannya secara perlahan. "Pikiran lu udah semakin gila, Lio," gerutu Lio, dengan nada yang sangat pelan. Berkali Lio mengusap wajahnya. Berharap, perasaannya bisa sedikit lebih ringan. Nyatanya, bayang Shilla yang tengah tertawa di samping Pras, terus menari di pikirannya. Membuat Lio, semakin merasa frustrasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN