Pasca kedatangan Lio. Shilla seolah kehilangan semangatnya untuk memakan daging sapi, yang sudah Pras panggang sejak tadi.
Pras sendiri, sudah menyadari perubahan sikap kekasihnya itu sejak beberapa saat yang lalu.
"Kamu sedih, Shil pak Agus digantiin posisinya?" tanya Pras coba menebak.
"Hah? Oh, iya. Sedikit," bohong Shilla. Ia tak ingin, Pras mengetahui penyebab perubahan sikapnya adalah karna CEO barunya. Sang mantan, yang muncul tiba-tiba setelah dua belas tahun lamanya.
Pras mengusap kepala Shilla penuh kasih. "Kan, kamu masih bisa main ke rumahnya sesekali." Ia coba menenangkan kekasihnya itu.
"Aku cuma takut, CEO yang baru itu ga sebaik pak Agus." Benar, bukan? Dua belas tahun telah berlalu. Mungkin saja, Lio sudah berubah tak sebaik dulu.
Baik?
Apakah kata itu masih cocok untuknya, yang sudah meninggalkan Shilla begitu saja, setelah mengambil hal yang paling berharga dari dirinya.
Pras tertawa mendengar alasan Shilla. Setelah itu, merangkul bahu Shilla agar menempel padanya. "Ya, semoga aja dia juga baik kaya pak Agus."
Shilla mengaminkan ucapan Pras dengan tidak semangat.
Beberapa teman mereka, menyoraki Pras yang selalu mencari kesempatan untuk bisa bermesraan dengan Shilla. Meski begitu, mereka semua sangat mendukung hubungan Pras dan Shilla, agar bisa segera menuju ke pelaminan. Yang sayangnya, belum terpikirkan sama sekali oleh Shilla.
Di sudut lain, Lio mengamati interaksi antara Shilla dan lelaki di sampingnya dengan seksama. Menimbulkan rasa penasaran di hatinya.
"Mereka pacaran?" tanya Lio pada Feby, sang kakak, yang kini duduk di sampingnya.
"Siapa?" tanya Feby balik.
"Itu, sekretaris mas Agus." Lio menunjuk dengan dagunya.
"Oh. Iya. Udah dua tahun mereka pacaran. Romantis, ya." Feby selalu suka melihat cara Pras memperlakukan Shilla. Terlihat sangat hangat dan manis.
Lio hanya mengangguk sebagai responnya.
Melihat respon Lio yang hanya seperti itu. Feby pun, menjadi curiga.
"Kamu jangan macem-macem, loh. Shilla itu karyawan kesayangan mas Agus. Karna dia yang banyak banget bantu mas Agus dulu. Jangan sampai kamu pecat dia." Feby memberi peringatan keras pada Lio. Lio yang Feby kenal beberapa tahun ke belakang, sangat mudah menyingkirkan orang yang tak ia sukai. Terutama, para wanita. Jadi ia takut Lio akan memecat Shilla nantinya.
"Tenang aja, Kak. Ga akan, kok. Lagian kayanya aku juga suka sama dia."
Feby mengerutkan alisnya, saat mendengar ucapan Lio. Ditambah, saat mengatakan kalimatnya, tatapan Lio tak lepas dari Shilla.
"Tahun depan kamu dan Yasmin mau nikah, loh. Mereka berdua juga langgeng banget. Jadi ga usah coba main api."
Lio tertawa mendengar ucapan sang kakak. Bahkan tawanya itu, berhasil menarik perhatian beberapa karyawan. Termasuk, Shilla.
Melihat kondisi seperti itu, Feby memukul bahu Lio, agar adiknya itu menghentikan tawanya. "Berisik banget tau, ga?" kesalnya.
Lio memegang perutnya yang terasa sakit karna terus tertawa. "Lagian, Kakak ada-ada aja, deh. Maksudnya itu, suka sebagai atasan dan bawahan, Kak. Ga lebih."
"Kirain."
Lio masih menertawakan respon kakaknya. Sedang Feby sendiri, sudah mengabaikan adiknya itu dan melanjutkan acara makannya.
Waktu istirahat hampir habis. Para karyawan juga kebanyakan sudah selesai membungkus makanan yang masih tersisa. Bahkan kini, hanya tinggal beberapa karyawan saja, yang tengah asyik menikmati rokoknya.
Shilla sendiri sudah berpamitan untuk kembali ke ruanganya pada Feby tadi. Dan kini, ia sedang menunggu Agus, yang katanya ingin berbicara padanya setelah waktu istirahat habis.
"Aku balik ke meja dulu, ya," pamit Pras pada Shilla.
Shilla hanya mengangguk. Setelah itu, kembali menekuri layar tipis di depannya.
"Shil. Yuk, masuk." Agus yang baru saja sampai, langsung mengajak Shilla untuk masuk ke ruangannya bersama Feby dan juga Lio.
"Duduk, Shil." Feby mempersilahkan Shilla untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia. Sedang ia sendiri, duduk berseberangan dengan Shilla, di samping Lio.
"Langsung aja ya, Shil. Sebelumnya saya mau mohon maaf banget sama kamu, karna ga pernah bilang soal pergantian jabatan ini. Soalnya ini juga dadakan banget. Ayah saya kondisi kesehatannya tiba-tiba drop. Sedangkan saya adalah, anak tunggal. Jadi mau tak mau, saya yang harus mengambil alih bisnis ayah saya."
Shilla terkejut. Karna selama ini yang ia tau, kedua orang tua Agus adalah tipe yang sangat menjaga kesehatannya.
"Terus gimana kondisi ayah Bapak sekarang?" tanyanya penasaran.
"Masih di ICU sejak tiga hari yang lalu. Makanya, dua hari yang lalu juga saya bilang ke kamu ada urusan di luar, kan?"
Iya. Shilla ingat hal itu. Bahkan ia juga ingat bahwa, Agus sedikit sulit dihubungi. Padahal biasanya, saat cuti sekali pun, ia tetap standby dengan ponselnya.
"Saya memohon sama Lio, untuk menggantikan saya di sini. Karna saya tau, Lio punya kemampuan untuk itu. Tenang aja. Lio ini pintar dan sangat cepat belajarnya. Jadi dia ga akan kesulitan dengan pekerjaannya."
Dalam hati, Shilla menyetujui ucapan Agus. Ia paling tau kemampuan Lio sejak dulu.
"Oh, iya. Mungkin sebaiknya kalian berkenalan lagi di sini. Supaya kalian bisa lebih dekat." Saran Feby, langsung disetujui oleh Agus. Jadilah, Shilla kembali berkenalan dengan Lio.
Lio mengulurkan tangannya. Yang langsung disambut Shilla begitu saja, agar tak menimbulkan kecurigaan pada Agus dan Feby.
"Aprilio Mahendra. Tapi kamu bisa panggil saya Lio."
"Saya Ashilla Zalina, Pak. Bapak bisa memanggil saya Shilla."
Lio menaikkan sebelah alisnya. "Shilla? Tidak bisa kah, saya memanggil 'Ashi'?"
Rasanya, Shilla ingin menampar lelaki di depannya saat ini juga. Salah satu alasan kenapa dia mengganti nama panggilannya adalah, karna nama itu selalu mengingatkan ia pada saat malam terkutuk itu. Di mana saat itu, Lio terus mendesahkan nama 'Ashi' dalam setiap helaan napasnya.
"Saya udah mengganti nama panggilan saya sejak lama, Pak."
"Kalian udah saling kenal?" tanya Agus bingung.
"Dia ...."
"Beliau adalah kakak kelas saya semasa SMA, Pak." Cepet Shilla menjawab. Memotong kalimat yang akan keluar dari mulut Lio. Ia tak ingin Lio membahas hubungannya lebih lanjut.
"Wah. Dunia ternyata sempit banget, ya." Agus tersenyum lebar. "Kalau gitu, perkenalan ini harusnya ga perlu, ya. Kalian udah kenal gini."
Shilla mengangguk setuju. "Kalau gitu apa boleh saya pamitan, Pak?" Rasanya ia tak ingin berlama-lama di dekat Lio untuk saat ini. Bahkan sejak tadi saja, ia masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutnya karna kehadiran Lio kembali.
"Silahkan."
Setelah mendapat izin, Shilla pun, berdiri. "Permisi, Pak," pamitnya.
Begitu Shilla menutup pintu ruangan Agus, ia langsung bergegas menuju toilet yang berada di lantai dasar. Sengaja. Karna ia ingin menghindari orang-orang. Karna biasanya, toilet lantai dasar selalu sepi.
Sesampainya Shilla di sana, ia langsung menumpahkan semua tangisnya. Rasa sesak yang ia rasa sejak tadi. Amarah. Semua bercampur menjadi satu. Bahkan saking sesaknya. Tangisnya sampai tak bersuara.
Sungguh. Shilla ingin menuntut penjelasan pada Lio. Ia ingin bertanya banyak hal pada mantan kekasihnya itu.
Mantan?
Apakah mereka sudah putus, hingga bisa disebut mantan? Entah.
Tapi bagi Shilla. Hubungan mereka benar-benar sudah berakhir sejak Lio tak bisa lagi dihubungi.
Selama setengah jam, Shilla menangis tanpa henti. Hingga getar di sakunya, memaksa ia untuk menghentikan tangisnya.
"Mbak Shilla di mana? Saya mau nyerahin laporan buat pak Agus."
Shilla berusaha menormalkan suaranya. Sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan si penelpon.
"Saya lagi di bawah, Mel. Ada urusan sedikit tadi. Taruh aja di meja berkasnya. Ini saya mau ke atas, kok."
"Baik, Mbak."
Panggilan terputus. Shilla akhirnya keluar dari salah satu bilik, setelah beberapa saat ia tenangkan hatinya. Lalu ia menatap pantulan wajahnya di depan cermin.
"Wajah yang menyedihkan," gumamnya sendiri.
Segera, ia membasuh wajahnya beberapa kali dengan air. Agar tak ada yang menyadari bahwa dirinya habis menangis.
Untungnya, make up yang ia gunakan hari ini adalah make up transferproof. Jadi maskara dan bedaknya tak luntur meski terkena air.
Shilla menarik napasnya panjang, sebelum akhirnya ia embuskan secara perlahan. "Ayo, Shil. Kamu pasti bisa. Dia hanya atasan kamu. Ga lebih," ucap Shilla menyemangati dirinya sendiri, sebelum akhirnya ia meninggalkan toilet itu.
***