PART. 2 AKU BUKAN NYONYA RUMAH

1008 Kata
Setelah mandi, Citra masuk ke dapur. "Selamat pagi, Citra," sapa Bi Sulis, kepala pelayan di rumah Cakra. "Selamat pagi, Bi. Apa yang harus saya kerjakan?" Citra tersenyum pada Bi Sulis. Ia kenal Bi Sulis, karena mereka berasal dari kampung yang sama. "Tidak usah, Citra sekarang Nyonya di rumah ini," ucap Bi Sulis. Citra tahu, Bi Sulis tidak bermaksud menyindirnya, tapi ia merasakan sakit di dalam hati, hatinya bak baru ditusuk belati. "Tidak, Bi. Nyonya rumah ini hanya Nyonya Tami. Saya ini hanya orang bayaran saja. Ini saya harus mengerjakan apa, Bi?" Citra berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Bantu siapkan perabot makan di atas meja, untuk sarapan saja ya." "Baik, Bi." Citra menyiapkan perabot makan di atas meja, dengan arahan dari Bi Sulis. Setelah semua siap, Bi Sulis naik ke lantai atas, untuk memanggil Tuan, dan Nyonya rumah. Citra masuk ke ruangan tempat mencuci pakaian. Ia membantu Bi Lulu menyetrika pakaian yang sudah dicuci kemarin. "Sebaiknya kamu istirahat saja, Citra. Kamu bukan pembantu di sini. Sarapan dulu sana, setelah itu istirahat," ucap Bi Lulu. "Nanti saja, ikut sarapan sama-sama dengan Bibi." "Harus banyak bersabar ya, Citra. Tuan, dan Nyonya orangnya ya begitu. Jangan diambil hati kalau ada ucapan, ataupun tingkah kasar mereka." Bi Lulu mengusap lembut punggung Citra. "Aku mengerti, Bi." Citra berusaha tersenyum, meski hatinya terluka. Sikap Tami kepadanya memang jelas terlihat tidak suka. Sedang sikap Cakra, teramat sangat dingin kepadanya. Tadi malam, saat malam pertama, setelah pernikahan siri mereka. Ibu Cakra langsung meminta mereka berdua masuk kamar. Tanpa ada pembicaraan mendalam lebih dulu. "Citra!" "Oh, iya, Bi." "Baju Tuan gosong! Kamu melamun?" "Ya Allah ...." Citra menatap kemeja Cakra yang bolong di bagian punggung. "Bagaimana ini?" Citra menatap Bi Lulu dengan perasaan bingung, dan takut. "Biar nanti Bibi yang mengakui, Bibi akan mengatakan, itu karena Bibi tinggal ke kamar kecil, lupa memindahkan seterika, kamu diam saja ya," Bi Lulu mengusap lengan Citra. "Jangan, Bi. Ini kesalahanku, biar aku yang ...." Kepala Citra menggeleng pelan. Ia tidak ingin berbohong. "Tidak, Citra. Biar Bibi yang mengakuinya." Bi Lulu tetap pada keinginannya. "Bi ...." Kepala Citra kembali menggeleng, air mata sudah menggantung di pelupuk matanya. "Citra, Bibi tahu dari sikap Nyonya, kalau Nyonya tidak menyukaimu. Tanpa kamu berbuat salah, dia pasti akan mencari-cari kesalahanmu. Bibi tidak ingin kamu dimaki." "Tapi nanti Bibi yang kena marah. Biar aku saja, Bi. Ini salahku." Citra memegang kedua lengan Bi Lulu. "Tidak, biar aku yang mengakui ini sebagai salahku. Aku sudah kebal dimaki Nyonya. Percayalah, aku akan baik-baik saja." Bi Lulu yang masih sepupu Bi Sulis meyakinkan Citra. "Bi ...." "Sebaiknya kita sarapan dulu, ini biar aku lanjutkan nanti. Ayo!" Bi Lulu menarik lembut lengan Citra. Sebelum ke luar, Citra menatap lagi kemeja yang sudah bolong karena ulah teledornya. 'Kenapa kamu harus berbuat kesalahan, di hari pertama kamu tinggal di sini, Citra? Ya Allah, semoga Bi Lulu tidak dimarahi. Harusnya aku yang dimarahi, karena ini salahku.' Tiba di dapur. "Aku tadi mencium bau gosong, Lu," ujar Bi Sulis. "Pssst, Citra melamun, kemeja kerja Tuan gosong. Diam saja ya, Lis. Biar aku nanti yang mengakui, kasihan Citra kalau dimarahi Nyonya." Bi Lulu bercerita dengan suara nyaris berbisik. Citra merasa tidak enak hati, karena sudah merepotkan kedua bibi. "Tidak apa, Citra. Jangan dipikirkan ya, ayo kita sarapan dulu." Bi Sulis mengusap bahu Citra lembut. "Maafkan aku, Bi." "Tidak apa-apa." "Bagaimana kalau Tuan, dan Nyonya minta ganti kemejanya?" "Jangan dipikirkan. Ayo sarapan. Kamu harus banyak makan. Biar bisa punya tenaga, untuk meladeni Tuan di atas ranjang," goda Bi Sulis. "Bibi ...." Wajah Citra merona. "Kamu ini, Lis. Disaat begini masih bisa becanda!" Bi Lulu mencubit lengan Bi Sulis. "Kita itu jangan terlalu terus dibawa serius, nanti stress!" Bi Sulis tertawa pelan. Bi Lulu juga tertawa, sedang Citra hanya bisa tersenyum saja. "Ayo sarapan! Sudah aku siapkan, telur mata sapi dengan sambal kecap saja ya." Bi Sulis menunjuk hidangan di atas meja yang ada di dapur. "Ayo, Citra, cuci tangan dulu." "Iya, Bi." *** Saat Bi Lulu bicara tentang kemeja gosong, pada Nyonya mereka. Bi Sulis, dan Citra ikut dipanggil juga. "Ini peringatan untuk kalian semua ya. Bekerja itu jangan sambil melamun. Otak kalian yang tak seberapa pintar itu jangan Travelling! Fokus bekerja! Jangan sampai merugikan saya yang menggaji kalian!" Tami menunjuk satu persatu wajah Citra, Bi Sulis, dan Bi Lulu. Citra merasa lututnya gemetar. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata. "Kalian sudah tahu'kan, konsekuensi dari keteledoran yang kalian lakukan!" "Sudah, Nyonya." "Aku akan potong gaji kalian, untuk mengganti kemeja yang rusak ini!" "Baik, Nyonya," sahut Bi Sulis, dan Bi Lulu. Citra semakin merasa tidak enak hati, karena kesalahannya, bibi berdua yang harus menanggung akibatnya. "Nanti malam, siapkan makan malam yang lebih banyak. Sepupu Mas Cakra akan makan malam di sini. Sekarang, kalian kembali saja ke dapur!" Tami mengibaskan tangannya. "Baik, Nyonya." Tami meninggalkan mereka. Mereka beranjak ke dapur. "Bi, maafkan aku, bagaimana aku harus mengganti uang Bibi. Aku di sini tidak digaji, aku ...." "Citra, jangan dipikirkan. Sebaiknya kamu istirahat, wajahmu sangat pucat." Bi Sulis menggenggam jemari Citra yang gemetar. "Jangan terlalu dipikirkan, Citra. Kamu harus fokus agar bisa cepat hamil. Sehingga kamu bisa segera ke luar dari rumah ini. Ini bukan tempat yang baik untukmu. Kamu pantas mendapat tempat yang bisa membuatmu bahagia." Bi Sulis mengusap lembut pipi Citra. "Sulis benar, Citra. Kamu harus hamil secepatnya. Nanti akan aku belikan kurma muda. Kata orang itu bagus dimakan, kalau ingin cepat hamil," ucap Bi Lulu. "Bi, tidak usah, aku tidak ingin merepotkan kalian berdua." "Kamu tidak merepotkan, Citra. Apa yang dulu sudah dilakukan kakekmu, pada keluarga kami, tak akan bisa kami bayar dengan apapun." "Bi ...." "Sebaiknya sekarang kamu istirahat. Wajahmu pucat, tanganmu dingin sekali." "Baik, Bi. Maafkan aku karena sudah merepotkan kalian. Terima kasih, karena sudah memperhatikan aku." "Ayo ke kamar sana." "Baik, Bi. Aku ke kamar dulu. Kalau butuh bantuan, panggil saja ya, Bi." "Iya." Citra ke luar dari dapur lewat pintu belakang dapur. Karena kamar asisten rumah tangga memang berada di belakang dapur. Perasaan gelisah menghantui Citra, karena ia tidak tahu, akan apa lagi yang terjadi nantinya. Masa depannya masih buram baginya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN