BAB 16

2030 Kata
Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam dengan jemari yang diremas. Tanganku terasa dingin bak es, rasanya keputusan yang aku ambil ini adalah yang terbaik walau kemudian jantungku seakan ditikam setiap kali waktu berlalu. “Kamu yakin dengan keputusanmu itu, Nisa?” tanya ayah yang kembali menanyakan keputusanku saat beliau mendengar keputusanku untuk menikahi Denis. Aku yang mengirim ayah pergi, tetapi kemudian menyuruhnya kembali. Aku bilang padanya bahwa aku akan menikah. Rasanya ayahku seperti kena sambar petir di siang bolong saat tiba di rumah dan mendapati aku dan Denis sudah menunggunya. Itu wajar saja karena setahu ayah, Denis sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Aku yang melihat betapa shock-nya ayah mulai mengarang cerita, tentang bagaimana Denis selamat dan selama ini kehilangan ingatannya sehingga dia tidak lekas mengabari tentang keadaannya. Untungnya, ayah tidak begitu menanyakan perasaanku karena ayah tahu, bahwa Denis adalah satu-satunya lelaki yang sudah lama aku cintai. Walau kini sudah tidak lagi. Bukan karena dia seorang psikopat gila, tetapi hatiku bergerak dan meninggalkan perasaanku padanya seiring hadirnya cinta baru di hidupku, Ferdi. Selama ini Ferdi terus menjaga dan menjauhkan aku dari bahaya, sekarang giliranku. Aku harus menyelamatkannya. Sudah cukup dia menderita karena aku, aku tidak mau dia kehilangan nyawanya karena aku. Jika harus mati, maka biar aku saja yang mati. Dengan demikian, semua akan berakhir. Aku berharap Denis akan menepati janjinya untuk membiarkan Ferdi hidup jika aku menikah dengannya. Dia harus menepatinya. Jika tidak, aku akan membunuh diriku sendiri jika terjadi hal buruk pada Ferdi setelah ini. “Nisa,” Panggilan ayah membuat kepalaku yang tertunduk sedikit terangkat. Aku mengangguk pelan. Ayah menggeser duduknya lalu diraihnya tanganku. “Apa kamu sudah bicara dengan Ferdi?” tanya ayah. Aku mengangguk. “Sudah,” jawabku. “Lantas bagaimana tanggapan darinya?” Aku hanya mendesah pelan. “Dia tidak bisa mencegahku, Yah. Aku harus menikahi Denis!” ucapku dengan serius lantas menatap ayah dengan tatapan yakin. Ayah membelai lembut rambutku. “Kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari ayah bukan?” tanya ayah merasa ragu. Aku menggeleng. “Tidak, Ayah!” sahutku berbohong. “Ayah tahu bahwa aku sangat mencintai Denis bukan?” Ayah mengangguk setelah beberapa saat. “Tapi apa kamu yakin dia adalah Denis yang sama dengan yang kamu cintai dulu?” tanya ayah ragu. Aku menautkan satu alisku. “Maksud ayah?” tanyaku tidak mengerti dengan apa yang ayah bicarakan. “Saat bertemu dengannya tadi, ayah merasa bahwa dia bukan Denis yang dulu. Mungkin dia Denis yang dulu ayah tahu, tetapi dia tampak berbeda dengan Denis yang ayah kenal dulu!” jelas ayah yang membuatku merasa bingung. “Ayah,” “Ya?” “Jangan berkata begitu soal Denis,  bagaimanapun dia adalah lelaki yang akan aku nikahi. Lagipula, dia mungkin akan terluka jika mendengar ayah tahu ayah merasa begitu!” ucapku dengan bibir yang dicoba tidak bergetar. Aku harus memastikan ayah tidak melakukan kesalahan sekecil apapun dalam berucap atau bertindak. Bagaimanapun Denis itu seorang psikopat gila. Aku tidak mau dia tersinggung lalu memutuskan untuk membunuh ayahku. Aku tidak mau lagi ada korban yang berjatuhan. Cukup semua berakhir dengan diriku yang menikahi Denis. Setelahnya, aku akan mengajaknya hidup menyepi dan mengisolasi diri kami dari dunia luar, termasuk dari keluargaku. Dengan begitu, meski nantinya Denis membunuhku, tidak akan ada yang tahu bahwa aku telah meninggal dunia. Aku tidak menyerah, hanya berpikir logis. Namun jika ada keajaiban yang membuatku punya kesempatan untuk membunuh Denis, kali akan aku lakukan dengan benar dan memastikan dia benar-benar mati. Kalau perlu, aku akan memotong tubuhnya sampai yakin potongan tubuhnya itu tidak akan menyatu lagi. Intinya, aku atau Denis yang mati, tidak masalah selama kami jauh dari jangkauan orang-orang. Jika aku adalah muse bagi seorang Denis, seharusnya dia juga akan mati saat aku mati. Minimal, semua yang dia lakukan akan berantakan seperti yang dialami raja Gong Min ( Raja Goryeo ke-31 ) saat istrinya, putri No g**k meninggal dunia. “Maafkan ayah,” ucap ayah. Aku hanya menggeleng. “Tidak, Yah! Maafkan Nisa yang tiba-tiba memutuskan untuk menikah,” sanggahku. “Tidak apa-aoa, Sayang! Ayah hanya sedikit shock karena calon mempelainya berganti,” kata ayah setengah bergurau. Aku hanya tersenyum kecil lalu memeluk ayah. “Itu juga di luar dugaan,” kataku. Ayah tertawa kecil. “Tapi terlepas Denis ataupun Ferdi, ayah percaya kamu pasti sudah memikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan, benar bukan?” Aku hanya mengangguk pelan lalu melepas pelukanku dari ayah. “Dengar sayang, ambillah keputusan yang membuatmu bahagia!” pesannya. “Tentu saja, ayah!” sahutku mencoba meyakinkan ayah bahwa keputusan ini adalah keputusan yang tepat untuk semua orang saat ini. “Lantas, bagaimana dengan Ferdi? Apa kamu sudah menemuinya? Jangan sampai hubunganmu dengannya memburuk karena keputusanmu ini,” tanya ayah merasa cemas. “Jangan khawatir ayah, Ferdi sudah menerima keputusanku!” sanggahku. Ayah menaikkan satu alisnya. “Dia yang paling tahu perasaanku, ayah!” ucapku. Ayah menghela napas pelan. “Dia pemuda yang baik,” puji ayah dengan tulus, Aku mengangguk setuju. “Sangat baik,” kataku menimpali. “Namun baik saja tidak mampu membuat hatimu terbuka untuknya,” goda ayah. Aku hanya tersenyum kecut. “Jadi, apa perlu ayah menemuinya?” tanya ayah. “Jangan!” sahutku cepat. “Kenapa?” tanya ayah penasaran. “Dia butuh waktu, ayah! Kita biarkan saja untuk saat ini. Jika sudah merasa baik, tentu dia akan menemui kita!” jelasku. Ayah tampak berpikir sejenak lalu mengangguk mengiyakan. Mungkin dia berpikir apa yang aku katakan barusan masuk akal dan merupakan tindakan yang benar saat ini. “Baiklah, kalau begitu, bagaimana kuliahmu?” “Nisa sudah mengambil cuti, Yah!” Ayah tampak kaget mendengar jawaban dariku. “Kamu sudah merencanakan ini jauh-jauh hari huh sampai ayah tidak tahu kamu cuti kuliah?” tanya ayah penuh selidik. Aku hanya tersenyum kecil. Sebenarnya aku mengambil cuti untuk melenyapkan Denis. Namun kenyataannya, kini aku mengambil cuti untuk menikahinya. Ironis memang, tapi jika ini bisa membuatku bisa menyelamatkan nyawa orang-orang yang aku cintai maka tidak mengapa. Selama ini aku terbiasa melihat kematian orang-orang, sekarang aku melihat kematianku mendatangiku. Aku tidak mau dia kehilangan arah dan bermain-main dengan rasa sakit dan putus asaku. Jika harus mati, biar aku sendiri. Aku tidak mau menjadi pengecut dengan berlindung di balik perlindungi orang lain. Annisa Sofiana yang sekarang, tidak selemah itu. “Oh ya,” kata ayah lalu bangkit dari duduknya. Ayah keluar dari kamarku sebentar lalu kembali dengan sebuah kotak kecil. “Kamu pantas mendapatkan ini,” kata ayah lalu membuka kotak kecil itu. Aku ternganga. Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk kupu-kupu terpatri di lensa mataku. “Ayah, itu,” Ayah mengangguk cepat bahkan sebelum aku menyelesaikan ucapanku. “Ya, ini kalung yang ayah berikan pada ibumu saat kami menikah,” ungkap ayah. “Sekarang ini akan jadi milikmu saat kamu menikah, Nisa!” Air mataku menetes tanpa diminta. Perasaan haru biru dan rasa bersalah karena telah membohongi ayah membuat dadaku terasa sesak. Ayah memasangkan kalung itu di leherku lalu tersenyum setelah kalung itu bertahta indah di leherku sekarang. “Cantiknya,” puji ayah. Aku tak kuasa menahan isak tangis lebih lama lagi. Jadi, aku peluk ayah dan lelaki yang sudah membesarkan aku dengan penuh cinta dan kesabaran seorang diri itu membalas pelukanku. “Jangan menangis, Sayang! Kamu pantas bahagia!” katanya dan perkataan itu menghujam jantungku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika ayah tahu bahwa pernikahan ini adalah untuk membuatku terkurung bersama iblis. Dimana kebahagian akan sangat jauh dariku nanti. Namun, aku tidak peduli. Selama ayah baik-baik saja, aku sanggup berpura-pura selamanya. “Nisa sayang ayah,” ucapku. “Ayah juga sayang Nisa,” balas ayah. Maafkan Nisa, ayah. Nisa terpaksa berbohong karena kebohongan yang Nisa lakukan ini adalah untuk menyelamatkan nyawa kita semua dari ancaman sang iblis bernama Denis Aditya. ***. Sudah dua minggu berlalu sejak rencana pernikahanku dan Denis diutarakan pada ayah. Selama itu pula, segala persiapan untuk pernikahan kami diurus dan diselesaikan secepat mungkin. Tidak mewah, hanya pernikahan yang biasa tetapi memakan banyak waktu untuk mempersiapakan segalanya. Undangan telah disebar, untuk teman-teman dan keluarga terdekat. Aku tidak tahu berapa banyak, yang jelas Denis yang mengurus semuanya, termasuk daftar teman-temanku. Dia tahu banyak soal mereka, seolah dia memang menyelidiki setiap orang yang ada di sekitarku. Sungguh, dia sangat menakutkan. Hal paling menjijikkan dari semua kepura-puraan lelaki itu adalah bagaimana dia bersikap di depan ayah. Dia terlihat baik, santun dan menyenangkan. Tidak ada tanda-tanda dia berpura-pura atau hanya aku yang tidak bisa memprediksi itu? Entahlah. Sikap hangat yang ditunjukkannya bahkan lebih menakutkan daripada saat dia menodongkan pisau di leherku. Beberapa kali dia melakuakn sentuhan padaku, memegang tangan, mengecup pipi atau memelukku untuk meyakinkan setiap orang yang melihat bahwa kami menikah karena cinta, bukan nyawa. Ferdi, kekasihku itu sudah mulai pulih walau belum sadarkan diri. Aku belum pernah menemuinya, atau lebih tepatnya terlarang bagiku untuk bertemu dengannya. Meski begitu aku merasa lega karena Ferdi ditangani dengan baik oleh dokter. Denis memasukkan Ferdi ke ruangan khusus (VIP) dimana Denis membayar uang dalam jumlah besar untuk itu. Setiap hari, dia meminta perawat untuk memberikan video perkembangan Ferdi padaku. Aku rasa, dia benar-benar memenuhi janjinya untuk membiarkan Ferdi hidup. Walau soal dua jarinya yang dipotong, aku tidak bisa melakukan apapun soal itu. Ferdi tetap akan cacat selamanya. Aku akan meminta maaf untuk itu nanti, jika Denis bersedia memberikan izin padaku untuk menemui Ferdi. Sekali saja, aku ingin menemuinya. Walau, itu tidak mungkin terkabul. Akhirnya hari yang ditunggu itu datang. Hari ini adalah hari besarku. Jika sebagian wanita sangat antusias dengan hari pernikahannya, maka ini sungguh membuatku muak. Kenyataan aku menikahi iblis, bukanlah hal yang membuatku menyesal, tetapi betapa tidak berdayanya aku untuk melawan Denis adalah yang aku sesali. Berkali-kali, aku meyakinkan diriku bahwa aku harus melawan Denis. Aku bahkan pernah berpikir bahwa mati secara terhormat setelah berusaha adalah yang terbaik, walau kemudian aku hanya mengiyakan setelah melihat orang yang aku cintai nyaris meregang nyawa di hadapanku. Aku tidak bisa membiarkan Ferdi meninggal dunia. Dia harus terus hidup dan bahagia walaupun tanpa aku. Melihatnya masih bernyawa adalah satu-satunya tujuanku sekarang. Aku tidak boleh egois dengan menginginkan dia di sampingku atau berkorban untukku lagi. Kali ini, biarlah aku yang menanggung kematianku ( Denis ) yang datang dengan penuh suka cita. “Kamu tampak sangat cantik,” puji penata rias setelah selesai merias wajahku. Aku hanya tersenyum kecil lalu mengarahkan pandanganku ke arah cermin besar di depanku. Aku tatap diriku yang sudah dirias sedemikian rupa dengan berbagai kosmetik. Gaun besar berwarna putih yang aku kenakan hari ini, baik motif, warna dan juga bentuknya sangat sama dengan apa yang aku bayangkan dulu. Entah ini hanya suatu kebetulan atau tidak, yang jelas ini benar-benar sama dengan penglihatan yang dulu pernah aku lihat. Dimana, aku, Annisa, memang pernah ‘melihat’ bagaimana aku menikahi Denis dulu—sebelum aku tahu kenyataan yang kejam ini. Tak lama kemudian ayahku datang. Mengenakan pakaian bernuansa merah tua, dimana Denis juga secara kebetulan meminta seluruh keluarga, kerabat dan undangan untuk memakai pakaian bernuansa berwarna merah tua masuk ke ruanganku. Ayah tampak berkaca-kaca saat melihatku berdiri menyambutnya. “Betapa cantiknya putri ayah,” kata ayah penuh haru. Aku tersenyum kecil. “Jangan menangis, Ayah!” cegahku agar ayah tidak menangis. Lelaki tua itu hanya mengangguk dan berusaha tersenyum. “Acaranya sudah mau dimulai?” tebakku melihat ayah sudah mau ke ruangan. Ayah mengangguk. “Ayo kita keluar!” ajakku. Ayah mengangguk lagi. ***                   Pintu ruangan terbuka lebar, semua mata tertuju padaku dan ayah. Dengan tangan yang terkait di lengan ayah serta langkah pelan tapi pasti kami mulai menyusuri altar. Dengan gaun dan tudung putih menutupi wajahku, aku berjalan anggun menyusuri para undangan yang hampir seluruhnya memakai pakaian bernuansa merah tua. Semua pandangan mata itumembuatku semakin dilanda rasa gugup. Namun aku tetap mencoba tersenyum kepada para undangan. Di belakangku seorang penata rias memegangi gaunku yang sangat panjang di bagian belakang sehingga menjuntai ke bawah. Pandangan mataku menyipit pada satu titik, dimana kehadiarannya membuat punggungku menegak dan dadaku membungsung sombong, di ujung altar tampak seorang pria mengenakan pakaian putih yang senada dengan gaun yang aku kenakan saat ini. Dia adalah calon mempelai priaku. Pria itu mengulas senyum tipis dan aku juga membalas senyumannya. Dia memasang wajah seperti biasa, sombong dan penuh percaya diri. Aku tahu wajah itu. Yups, itu adalah wajah si cowok kampret. Sekilas, aku terbuai dari masa lalu. Dalam sudut pandang sekarang, dia tidak terlihat menakutkan. Ayahku menggenggam tanganku dengan erat lalu,”Nisa, tak kusangka engkau menikah secepat ini!” Aku hanya membalas genggaman ayah dengan senyuman. “Nisa sayang ayah,” ucapku dengan tulus. Ayah mengangguk mengiyakan. “Ayah juga sangat menyayangimu, Sayang!” sahut ayah. Perlahan kami mulai mendekati Denis. Jantungku rasanya sudah mau meledak saat melihatnya kemudian memasang wajah serius seolah dia benar-benar menganggap bahwa pernikahan hari ini adalah peristiwa sakral yang harus dijalani penuh kesungguhan. Sungguh, dia memang sangat menganggumkan. Namun, aku seharusnya tidak mengeluh. Karena pada akhirnya, aku sendiri yang memutuskan untuk menikahi sang Iblis. Aku tidak bisa mundur sekarang. Tidak!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN