BAB 12

1746 Kata
Drap.. Drap.. Drap.. Tes.. Tes.. Tes.. Suara langkah kaki dengan suara tetesan air itu terdengar mendekat dengan perlahan. Suaranya semakin lama semakin keras seolah asal dari suara itu tengah mendekat. Splash. Aku mengerutkan sedikit dahiku, kini tampak sebuah ruangan besar. Mirip sebuah ruang tamu dengan lampu yang dipadamkan. Akan tetapi kilat yang sesekali datang tanpa suara dan juga cahaya lampu dari lampu di luar rumah memberikan sedikit penerangan. Sosok itu terus berjalan menyusuri ruang tamu itu seolah itu adalah rumahnya sendiri. Anehnya aku seperti mengenali ruangan itu. Aku pernah melihatnya di suatu tempat walau aku tidak yakin dimana tempat itu. Kriett . Pintu kamar dibuka dan aku mlihat seseorang yang tengah berbaring di kasur. Dia-mengenakan piyama berwarna putih tulang dengan selimut yang terbuka setengah. Rambut panjangnya menutupi wajahnya sehingga aku tidak tahu siapakah dia. Namun, satu hal yang pasti. Dia adalah seorang perempuan! Sosok itu semakin mendekat pada perempuan itu sehingga memacu adrenalinku yang cepat melaju naik dibanding dengan hormon insulinku. Aku rasa menderita sindrom kepanikan yang sudah berada di level parah. Karena cukup melihat sekilas, aku sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Sosok itu kemudian mendekat, berjongkok di depan perempuan itu. Tangannya yang mengenakan sarung tangan berwarna kulit itu menyibak sedikit rambut perempuan itu sehingga terlihatlah leher putihnya yang jenjang dan menawan. Aku melihat sosok itu tersenyum dan suaranya yang samar membuatku tidak bisa berpraduga apakah dia lelaki atau perempuan. Terlalu ceroboh jika aku menyimpulkannya lebih awal dan tanpa bukti yang mendukung dugaanku. Itu hanya akan menjadi sebuah praduga tak beralasan. Sosok itu mengeluarkan sebilah pisau dari saku jaketnya. Dengan tangan kiri dia mengarahkan pisaunya ke bagian samping leher perempuan yang berada di kasur, entah siapakah dia. Aku masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Maaf," bisiknya lirih lalu. Sraat. Croottt. Pisau itu menancap tepat di leher perempuan itu dengan sempurna. Pisau tajam itu telah menembus urat lehernya, kerongkongan hingga menembus kulit leher di sudut yang berbeda. Tubuh itu mengejang beberapa detik, melemas lalu tidak bergerak lagi. Tewas dalam satu serangan. Dengan perlahan sosok itu menarik pisau dari leher perempuan itu, menutupinya dengan sapu tangan dan membungkusnya dengan plastik hitam. Setelah itu dia kembali mengantongi pisau itu. Sosok itu berdiri setelah menutup tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dengan selimutnya lagi. Dia masih berdiri di samping tempat tidur beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan kamar itu. "Nisa," Aku membuka mataku perlahan saat suara itu secara mengejutkan telah membuatku bangun. "Nisa," panggilnya lagi. Aku mencoba menyadarkan diriku sepenuhnya lalu menegakkan tubuhku. "Sat," ucapku lirih saat aku melihat sosok di depanku adalah Satria, teman kampusku. "Kamu ketiduran lagi?" tanyanya. Aku mengangguk. "Bermimpi burukkah kamu?" tanyanya. "Mengapa?" tanyaku. "Kamu menangis," jawabnya sembari menunjuk wajahku. Aku tertegun. Aku memegang pipiku, basah. Aku benar-benar menangis, tetapi kenapa? "Sat," panggilku lagi. "Ya?" sahut Satria. "Apa ada seseorang yang kusentuh sebelum atau saat aku tidur?" tanyaku. Satria tampak berpikir sejenak lalu menggeleng. “Sejauh pengamatanku, kamu tertidur dari pertengahan mata kuliah sampai mata kuliah berakhir. Dan selama itu pula tidak ada yang menyentuhmu," jawab Satria. "Kamu yakin?" tanyaku. Satria mengangguk yakin. "Bagaimana dengan teman yang duduk di sebelahku?" tanyaku. "Ada dua orang yang duduk di dekat kursimu," jawab Satria. "Siapa?" tanyaku. Satria mengerutkan dahinya. "Kamu tidak tahu? Bukankah sebelum kamu tertidur mereka sudah duduk disana?" tanya Satria heran. "Aku tidak memperhatikannya, ada hal lain yang sedang kupikirkan," jawabku menjelaskan. "Oh," Satria tampak mangut-mangut. "Jadi, siapakah mereka?" tanyaku. "Yang satunya Aulia, sedangkan yang satunya lagi Fuad," jawab Satria. "Apa Aulia itu berambut panjang?" tanyaku. Satria mengangguk. "Iya," "Ah, jadi dia yang menyentuhku," gumamku. "Tapi Fuad juga rambutnya panjang," ucap Satria. "Huh?" seruku heran. "Fuad, anak teater, yang suka berambut gondrong itu lho. Kakak tingkat yang tidak lulus-lulus!" kata Satria menerangkan. "Aku tidak tahu," ucapku pelan. Satria menepuk jidatnya ringan. "Aku tahu kalau kamu jarang bersosialisasi tetapi tolonglah kenali setidaknya teman satu ruanganmu, Nisa!" saran Satria. "Jadi, apa kamu tahu info soal mereka?" tanyaku. Satria mengangguk. "Tentu saja," jawab Satria. "Tapi, untuk apa kamu menanyakannya? Apa kamu sudah mendengar gosip itu?" tanya Satria penasaran. Aku menautkan alisku. "Gosip?" tanyaku. Satria mengangguk. "Iya, gosip yang sudah menyebar hingga satu kampus. Kamu belum dengar Nisa?" tanya Satria. Aku hanya tersenyum kaku. "Ck, apakah yang kamu tahu. Mengapa kamu kudet begini," keluh Satria. "Jadi, gosip apa yang sedang menerpa mereka?" tanyaku. "Menurut gosip yang beredar, Aulia dan Fuad itu menjalin hubungan terlarang. Seperti yang kebanyakan orang tahu, Fuad itu adalah tunangan dari Naila. Tetapi Aulia tanpa tahu malu, menyebarkan foto dirinya yang tidur dengan Fuad ke Naila. Akibatnya pertunangan antara Naila dan Fuad berakhir. Dan kudengar, Fuad dan Aulia akan segera menikah karena Aulia hamil." cerita Satria panjang-lebar. "Wanita b******k," umpatku. Satria tergelak mendengar ucapanku. "Kenapa kamu tertawa, Sat?" tanyaku heran. Satria masih tertawa, tak lama kemudian tawanya mereda. "Tidak, aku hanya tidak menyangka seorang Annisa Sofiana mengumpat," jawabnya sembari tertawa. "Hei, aku ini juga bisa mengumpat. Bahkan aku bisa membunuh siapapun yang berniat membunuhku," kataku. Satria bergidik ngeri. "Duh, serem amat Nis!" katanya. "Haha, manusia itu makhluk yang tidak mudah ditebak, Sat. Mereka bisa membunuh bahkan hanya dengan alasan yang sepele," terangku. Satria menggaruk-garuk kepalanya. "Jika begitu, apa menurutmu Naila akan membunuh Aulia dan Fuad karena mereka telah menyakiti hatinya?" tanya Satria penasaran. Aku terdiam beberapa saat. "Yang aku khawatirkan justru sebaliknya," "Sebaliknya? Maksudmu Aulia yang akan membunuh Naila?" tanya Satria. Aku menggeleng. "Bukan, tetapi Fuad yang akan membunuh Aulia," bantahku. "Heh? Mengapa? Bukankah mereka akan segera menikah?" tanya Satria. "Lelaki akan menyingkirkan siapapun yang menurutnya tidak baik. Jika dia meninggalkan Naila demi Aulia dan kenyataannya Aulia itu lebih busuk dari bangkai, dia akan meluapkan semua amarah dan kekecewaannya pada wanita b*****h itu!" ucapku geram. "Nisa, kamu mengumpat lagi," tegur Satria. Aku tersenyum malu. "Maaf," ucapku sesaat kemudian. "Tapi, jika demikian, apakah akan ada yang mati?" tanya Satria. Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah," "Tapi Nisa, aku sungguh penasaran," kata Satria. "Tentang apa?" tanyaku. "Kenapa kamu bisa tahu kalau akan ada kematian? Seperti peristiwa waktu itu, saat insiden kecelakaan," jawab Satria sembari menatapku lekat. "Apa," Satria menghentikan ucapannya. "Kamu adalah dewi kematian?" kata Satria melanjutkan. Aku hanya tersenyum tipis. "Bukan, kamu pikir ini zaman Yunani huh?" elakku. "Atau kamu adalah penyihir?" tebak Satria lagi. "Aku bukan sesuatu semacam itu," elakku lagi. "Lalu, kamu siapa?" tanya Satria. "Hanya seseorang dengan tebakan beruntung," jawabku lalu bangkit dari dudukku. "Mau kemana?" tanya Satria. "Pulang," jawabku sembari berjalan pergi. Satria mengikutiku. "Nisa," panggilnya. "Ya?" sahutku sembari terus berjalan. "Tadi ada yang menitipkan sesuatu untukmu padaku," kata Satria. Aku menghentikan langkah kakiku. "Siapa?" tanyaku saat Satria sudah berada di depanku. "Aku tidak tahu, tapi dia menitipkan ini," katanya sembari memberikan secarik kertas yang telah dilipat membentuk bintang. "Siapa yang memberikannya, Sat?" tanyaku lagi. "Seorang lelaki tampan," jawab Satria. "Pacarku?" tebakku. Satria menggeleng. "Bukan, sorot matanya menunjukkan sebuah tatapan yang mengerikan. Tatapan yang mampu membuatku menunduk takhluk seolah dia itu adalah sang Raja," jawab Satria. Aku terdiam sebentar, mencoba bersikap setenang mungkin saat praduga itu melintas di otakku. "Oh, terimakasih. Tapi jika kamu bertemu dengannya lagi, larilah! Mengerti?" saranku. "Mengapa begitu?" tanya Satria. "Karena dia akan membunuhmu," jawabku. "Heeeeh?" Satria terkejut. "Aku bercanda, pulanglah! Tapi, aku harap kamu tidak bertemu dengannya lagi." ucapku bersungguh-sungguh. "Dia siapa?" tanya Satria. "Mantanku," jawabku. "Oh, dia lelaki yang masih di hatimu itu?" kata Satria setengah menyindirku. “Tidak hanya di hati,” jawabku. “Juga?” “Dalam mimpi,” Satria menatapku lekat. “Kamu masih mencintainya ternyata,” Aku menggeleng. “Bukan begitu,” “Lalu?” “Rahasia,” jawabku yang disambut wajah kecewa Satria. “Pulanglah!” suruhku. "Baiklah! Kalau begitu, aku pulang duluan. Dah," pamit Satria lalu berlalu pergi. Setelah Satria menghilang dari pandanganku, aku membuka kertas yang ada di tanganku. Nisa, kamu cantik hari ini.   Pertemuan selanjutnya, akan kupastikan tubuhmu jadi milikku. Aku mengepalkan tanganku kuat sehingga meremas kertas itu. Kugigit bibir bawahku hingga bisa kurasakan rasa darah sepertinya aku telah melukai bibirku sendiri. Jika memang membunuhmu adalah cara satu-satunya agar aku tetap hidup, aku akan membunuhmu Denis Aditya. *** Aku dan Ferdi telah duduk di ruang tamu. Kami tengah mendiskusikan soal surat yang kuterima dari Denis tadi saat aku di kampus. Ferdi kali ini menyikapi kejadian ini dengan lebih kalem, pacarku itu tampak sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak ceroboh dalam mengambil keputusan. Dia jauh lebih bersikap hati-hati daripada sebelumnya. "Jadi, dia datang dan menitipkan pesan ini melalui temanmu?" tanya Ferdi. Aku mengangguk mengiyakan. "Teman gendut yang selalu saja menempel padamu itu?" tebak Ferdi. Aku mengangguk sekali lagi. "Hm." Ferdi menghela napas panjang. "Mengapa dia selalu saja menempel padamu? Apa dia itu tidak punya teman selain kamu?" tanya Ferdi sedikit merasa kesal. "Atau jangan-jangan dia itu menyukaimu, Nisa?" tanya Ferdi lagi berpraduga. Aku tergelak mendengar dugaan konyol Ferdi itu. "Kenapa kamu malah tertawa? Aku sedang bicara serius sekarang!" protes Ferdi. "Fer, apa kamu lupa? Aku tahu kamu cemburu tetapi mengapa kamu jadi buta ingatan?" kataku setengah meledek. "Buta ingatan? Bukankah seharusnya lupa?" tanya Ferdi heran. "Istilah itu lebih cocok untukmu. Rasa cemburumu telah membutakan ingatanmu. Apa kamu melupakannya? Satria itu tidak mungkin menyukaiku," jawabku dengan sedikit memancing ingatan Ferdi. Ferdi menautkan alisnya. "Mengapa dia tidak mungkin menyukaimu?" tanya Ferdi semakin merasa penasaran. "Karena dia itu homo," jawabku. Ferdi menganga kaget. "Oh, ah, dia yang waktu itu. Yang nyaris terbunuh itu?" pekik Ferdi saat ingatannya tentang kasus Desi, Dana dan Satria kembali muncul. Aku mengangguk. "Huum, jadi mustahil dia menyukaiku. Kalau dia menyukaimu, itu mungkin," kataku setengah menggoda Ferdi. Ferdi bergidik ngeri mendengar candaanku. "Hentikan, itu sungguh menakutkan, Nisa. Lihatlah, bulu kudukku berdiri semua karena merinding!" kata Ferdi sembari menunjukkan kedua lengannya. "Aku bercanda, jangan beraksi berlebihan begitu," protesku. "Homo pun bisa bersikap selektif, lho!" imbuhku. Ferdi mengerucutkan bibirnya. "Dasar, kamu pikir aku akan berusaha keras agar disukai kaum homo? Aku ini normal. Aku menyukai seorang perempuan walau perempuan itu belum menyukaiku sepenuhnya," kata Ferdi pelan membuatku yang mendengarnya menjadi merasa bersalah. "Maaf," Ferdi hanya tersenyum nanar lalu mengacak-acak rambutku mesra. "Tidak masalah, selama kamu hidup dan baik-baik saja, aku sudah bahagia!" ungkap Ferdi dengan tulus. "Baiknya pacarku," pujiku setengah menggodanya juga. Ferdi tertawa geli. "Baru tahu huh?" katanya membalas godaan dariku. Aku hanya tersenyum lebar. "Hm, dan aku rasa kamu cukup tampan, Sayang!" kataku. Ferdi semakin jadi, pacarku itu tertawa terbahak membuatku yang tidak pernah melihatnya begitu menjadi terheran-heran. Baru kuketahui kalau saat Ferdi tertawa, matanya menjadi satu garis lurus dengan garis pipi yang tertarik ke atas dan terlihat jelas. Dalam pose begitu, entah kenapa dia terlihat lebih imut dan mengundang tawa. "Jadi." Ferdi tiba-tiba menghentikan tawanya lalu menatapku dengan lekat. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdi. "Aku akan membunuhnya!" jawabku mantap. "Hah?!" pekik Ferdi terkejut. "Bukankah kamu bilang sebelumnya kalau kita tidak boleh jadi pembunuh lagi Nisa?" tanya Ferdi heran. Aku hanya tersenyum tipis. "Kita pernah membunuhnya sekali, apa salahnya jika sekali lagi kita membunuhnya? Tapi," aku menggantungkan kalimatku. "Kali ini akan kupastikan dia benar-benar mati," ucapku penuh penekanan seolah tidak ada keraguan sama sekali. Ferdi menyeringai pelan lalu mengelus lembut kepalaku. "Terkadang untuk membunuh monster, kita juga harus menjadi monster!" ucap Ferdi setuju dengan rencanaku. "Jadi, apa kamu mau bergabung dengan rencanaku?" tanyaku. Ferdi mengangguk mengiyakan. "Tentu saja," jawab Ferdi yakin. Kami pun saling tersenyum lalu aku dekati Ferdi. Kami saling menempelkan kening dan ujung hidung, seolah sedang berusaha untuk menyamakan pikiran masing-masing. Saat itu aku merasakan debaran jantungku tidak biasa. "Aku merasakannya," ucapku pelan. "Apa?" tanya Ferdi penasaran. "Debaran jantungku," jawabku. "Heh?" "Sudah beralih untukmu," ucapku pelan. Ferdi semakin mendekatkan tubuhnya, kini ia memelukku dengan erat. "Akhirnya," katanya penuh haru. "Aku mencintaimu Nisa," "Aku juga," sahutku sambil membalas pelukan Ferdi. "Juga apa?" tanyanya meminta penegasan. "Aku juga mencintaimu," jawabku yakin. Kami pun larut dalam pelukan hangat yang menandakan bahwasanya kami masih bernyawa saat ini Denis, muncullah. Aku pastikan kita akan bertarung dengan lebih serius daripada waktu itu. Akan aku pastikan kalau kali ini, kamu mati di depanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN