Leo 5

1602 Kata
Leo mendekati Johan dan berkata, “Pak, ada yang perlu Anda ketahui.” “Ada apa Leo? Sepertinya serius.” “Ehm!” Leo berdehem membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara. “Kamu kenapa?” tanya Johan lagi. “Tidak ada, Pak. Saya hanya ingin mengingatkan tentang rencana untuk mengakuisisi pabrik kemasan.” “Ah iya, benar. Kita harus membahas itu.” -- Diana sedang berkeliling. Rita setia berada di belakangnya. Diana ingin mempelajari segala sesuatu tentang perusahaan papanya. Sepertinya dia perlu segera masuk kerja. Dia jadi teringat Wina, pelayannya yang ingin kuliah. Semoga dia sudah menemukan kampus yang cocok, batin Diana. Karena kunjungan Diana ini termasuk dadakan, ada beberapa direktur yang sedang tidak berada di tempat. Diana sempat bertemu dengan Direktur Personalia, Direktur Keuangan, dan Direktur Operasi. Sedangkan dua direktur yang lain, Direktur Pemasaran dan Direktur Pengembangan Bisnis sedang berada di luar. Pagi ini Diana akan bertemu dengan Direktur Personalia dan Direktur Keuangan. Setelah makan siang nanti, dia akan berkunjung ke Direktur Operasi. Untuk besok, dia akan bertemu dengan Direktur Pemasaran dan Direktur Pengembangan Bisnis. Diana melirik Mini Cartier dengan taburan berlian di tangannya, sudah pukul 11.25 siang. Dia masih berada di ruangan Bu Ana, Direktur Keuangan, mempelajari segala neraca laba rugi, laporan biaya pengembangan, produksi, dll, termasuk biaya untuk karyawan yang jumlahnya ribuan. Diana sudah sedikit memiliki gambaran tentang keuangan perusahaan dan hak dan kewajiban karyawan. Baiklah, sekarang dia akan ke tempat David untuk mengajaknya makan siang bersama. “Terima kasih atas waktunya, Bu Ana.” “Sama-sama, Nona. Jangan sungkan. Tangan saya terbuka untuk segala masukan dari Anda” “Tidak, saya yang masih harus banyak belajar dari Anda. Anda sudah sangat hafal dengan segala ini. Segala kendala juga ditangani dengan baik. Saya permisi dulu, Bu.” “Baik, Nona. Selamat siang. Hati-hati di jalan.” Diana mengangguk dan keluar dari ruangan itu. Langkahnya mantap menuju kantor David. Saat berada di luar kantor David, meja Susan terlihat kosong. Ke mana dia? Padahal aku ingin bertemu dengannya tapi dia tidak ada, batin Diana. Rita langsung memosisikan diri berjaga di sofa dekat pintu. “Duduk saja, Rit,” kata Diana. “Nanti saja, Nona. Setelah Nona masuk.” Rita menjawab sambil menunduk. “Baiklah, aku masuk dulu.” Tanpa mengetuk, Diana langsung membuka ruangan David. Susan terlihat sedang duduk di sofa bersebelahan dengan David. “Babe!” David tersenyum. Dia berdiri dan menghampiri kekasihnya. Memeluk dan memberinya kecupan di pipi. Diana terkekeh menerima tingkah David. “Hai juga, Babe. Susan, kau di sini? Aku tadi mencarimu di luar.” Diana mengurai pelukan David dan berjalan menuju Susan. Susan berdiri menyambut kedatangan temannya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka berpelukan cukup erat. “Diana, aku sangat merindukanmu.” Sarah berkata sambil terus memeluk Diana. “Aku juga merindukanmu. Setahun kita tidak bertemu ya?” Diana mengeratkan pelukannya. “Sudah, jangan terlalu lama, Babe.” Suara David menginterupsi pelukan Diana dan Sarah. Itu berhasil membuat mereka melepas pelukannya. “Kenapa?” tanya Diana. “Dia masih ada banyak tugas.” David mengangguk pada Susan. Susan mengerti, dia langsung pamit dan berjanji akan mengajak Diana makan suatu saat nanti. “Kau sudah selesai tur di kantor ini?” tanya David. Dia kini kembali duduk di kursinya. Diana melangkah ke sofa dan duduk di salah satunya. “Belum. Tapi ini sudah waktunya makan siang.” “Kau mau makan siang denganku?” tanya David antusias. Belum sempat David menjawab, seseorang mengetuk pintu. “Masuk!” perintah David. Leo terlihat memasuki ruangan David. “Leo? Ada apa?” Diana bertanya dengan keheranan. Pasalnya Leo dan David tidak dekat dan mereka tidak terlibat hubungan kerja secara langsung. “Nona Diana? Saya pikir Anda masih tur ke beberapa direktur di sini.” “Sudah sebagian. Nanti siang dan esok aku akan melanjutkannya lagi.” “Nanti jangan pulang terlalu malam, Babe. Kita ada janji makan malam, remember?” David mencoba mengingatkan Diana dengan janji makan malam mereka. “Tentu saja aku ingat, Babe.” Diana tersenyum menatap David. “So, Leo ada apa?” tanya David. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal tentang pekerjaan pada Pak David sambil makan siang.” “Bicarakan nanti saja setelah makan siang, Leo. David dan aku akan makan siang bersama.” “Tapi ini mendesak, Nona.” Diana tidak mengerti kenapa Leo begitu ingin membahas pekerjaan dengan David. David juga penasaran pekerjaan apa yang dimaksud oleh Leo. “Bagaimana jika makan siang bersama saja? Aku sudah di sini dan aku tidak ingin melewatkan makan siang bersama kekasihku.” Diana memberi usul. “Lagi pula nanti setelah makan, aku juga harus kembali ke sini,” lanjutnya lagi. David mencoba mencerna perkataan Diana. Leo mengernyit. Sepertinya dia harus mengubah rencana awalnya. Tadinya Leo ingin bersama David dan Susan saja. Dia ingin sedikit memperingatkan David dan Susan akan status mereka. Tapi Diana sangat keras kepala. Hingga akhirnya Leo berkata, “Boleh juga. Kita juga bisa mengajak Nona Susan.” Mungkin dengan membiarkan Diana terus berada di antara David dan Susan, membuat mereka akhirnya tersadar tentang status mereka. Leo tersenyum. David mendelik. Menyatukan Diana, dirinya sendiri, dan Susan dalam satu meja bukanlah hal bagus. Susan sudah menunjukkan kecemburuannya sejak kemarin. “Tapi..” kalimat David menggantung. “Setuju! Ayo kita berangkat!” Diana tersenyum lebar. Pasti menyenangkan makan bersama sahabat dan kekasihnya, persis seperti dahulu. Diana segera menggeret lengan David keluar. Susan terpaku melihat bagaimana eratnya tangan Diana memegang David. Hatinya tercubit. “Susan, ayo bersiap. Kita makan siang bersama.” “Maafkan aku, Di. Tugasku masih menumpuk. Aku tidak mungkin meninggalkan mejaku.” Susan memasang wajah melas. “Tenang saja. Kau akan makan siang dengan bosmu, jadi kau tidak perlu khawatir. Lagi pula bukankah begini lebih baik? Leo juga akan ikut. Jadi kita berempat.” “Tapi, Di..” “Tidak apa-apa, Nona Susan. Saya juga ingin membahas pekerjaan nantinya. Mari!” Leo mengulurkan tangannya memberi jalan ada Susan. Susan masih diam di tempat. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa benci pada Diana karena telah memaksanya makan siang bersama. Dulu sewaktu Diana masih di Amerika, setiap siang David akan makan bersamanya. Tapi sekarang, aargghhh...! “Ayo, Susan! Tinggalkan saja pekerjaanmu. Kau hanya perlu membawa ponselmu saja.” Diana masih setia dengan senyum lebarnya. Susan menatap David meminta jawaban. “Babe, apa kau akan memarahinya jika dia meninggalkan pekerjaannya sebentar dan makan siang berama kita?” Diana menatap David keheranan. Kenapa Susan sepertinya enggan sekali ikut makan bersama? “Tidak, Babe. Ayo, Susan. Ikut bersama kami.” David melangkah dulu bersama Diana. Susan menghela nafas. Bahkan David tidak berkutik pada Diana. Susan jadi heran kenapa dulu dia bisa dekat dengan Diana. Di dalam lift, Diana masih menggandeng lengan kekasihnya. Susan dan Leo berdiri di belakang. Diana banyak bercerita pada David tentang kuliahnya di Amerika. Tapi fokus David terbelah dengan wanita di belakangnya. Sesekali David melirik Susan dari pintu kaca lift tapi Susan terus saja membuang pandangan. Tentu saja Leo melihat itu semua. Sepertinya Susan sudah terpancing. Semoga saja setelah ini hubungan mereka memburuk. Tidak masalah jika akhirnya Susan mengundurkan diri karena berpisah dari David. Itu lebih baik, pikir Leo. Dan akhirnya mereka berempat sampai di sebuah restoran. Pelayan segera menghampiri meja mereka dan pergi setelah mencatat pesanan mereka. “Jadi, Pak Leo, apa yang ingin dibicarakan?” David membuka obrolan. “Ini tentang karyawan kita yang terjun langsung ke lapangan, maksud saya yang berhubungan langsung dengan petani sawit di daerah Sumatra.” Leo mencoba berbicara seserius mungkin. Meski dalam hati dia agak gugup. “Ada apa dengan mereka, Pak Leo?” Belum sempat Leo menjawab, pelayan sudah kembali dengan membawa pesanan. “Kita nikmati dulu makan siangnya, Pak David.” Dalam hati Leo bersorak karena sementara terbebas dari pertanyaan David. Karena jujur saja, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan David. Sementara itu, Diana masih saja menunjukkan kemesraan dengan David. David kini terlihat santai dengan semua perlakuan Diana. “Babe, aku ingin bekerja di anak perusahaan papa. Aku tidak ingin langsung bekerja di kantor pusat. Bagaimana menurutmu?” “Terserah kamu saja. Lagi pula, kita masih bisa satu gedung.” “Benar katamu. Semoga kita tidak terlalu sibuk bekerja, Babe. Papa sudah membahas tentang pernikahan.” “Uhuk! Uhuk!” Susan terbatuk dengan keras. Dia mengambil air putih dan meminumnya. “Susan, apa kau baik-baik saja?” tanya Diana. Dia terlihat khawatir pada sahabatnya itu. David hanya terdiam melihat Susan batuk. Leo bahkan masih bisa menikmati makanan tanpa repot menoleh. “Aku baik-baik saja, Di. Sepertinya makananku terlalu pedas.” Susan memaksakan tersenyum meski hatinya serasa ditikam. “Apa kau mau mengganti menu?” Diana benar-benar khawatir pasalnya wajah Susan tampak memerah. “Tidak perlu, Di. Ini tinggal sedikit.” Susan meneruskan makannya. “Jadi bagaimana, Babe?” Diana kembali bertanya. “Hmm, ya nanti aku bicarakan dengan orang tuaku. Memangnya kamu mau kapan?” David berusaha membuat perhatian Diana hanya padanya. Dia tidak ingin Diana memahami perubahan Susan. Itu bisa berakibat buruk. Diana menunduk mendapatkan pertanyaan itu. Wajahnya mulai memerah karena malu. “Secepatnya saja,” jawab Diana. Susan tiba-tiba berdiri. “Aku permisi ke toilet sebentar.” Diana tersenyum dan mengangguk. Setelah Susan pergi, Diana bertanya pada David, “Babe, Susan kenapa ya?” “Dia kenapa? Mungkin ingin buang air," jawab David dengan acuh. “Entahlah. Sepertinya dia berubah.” David memegang tangan Diana. “Itu hanya perasaanmu saja. Ayo lanjutkan makanmu.” Leo melirik tempat Susan. Dalam hati, dia bersorak. Ini memang yang diinginkannya. Semoga Susan segera menyadari posisinya. David sejenak terdiam. Entah kenapa dia kesal pada Susan. Bukankah dari awal Susan tahu kalau Diana adalah kekasihnya? Kenapa tingkahnya semakin menjadi? Dia lalu menatap Leo. Apa ini rencana dia? Batin David.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN