2. Bertemu Malaikat

1307 Kata
“Bilqis, tumben sudah pulang?” Bu Lastri, pemilik kos tempat Bilqis tinggal, tiba-tiba muncul di dapur mengagetkan Bilqis saat dia keluar dari kamar mandi. “Eh, kebetulan ada Bu Lastri.” Bilqis tersenyum dan melangkah mendekat ke ibu kos yang terkenal ramah. “Bilqis sengaja pulang cepat karena harus pulang ke Jombang, Bu. Ada nikahan sepupu. Bilqis sekalian pamit ya, Bu.” “Kamu pulang sore ini?” “Iya, Bu.” “Sama siapa?” tanya Lastri. Dia sedikit khawatir. “Naik bis sendiri, Bu. Seperti biasa.” “Tapi biasanya kamu pulang Sabtu pagi. Kenapa sekarang harus Jumat sore seperti ini? Kenapa tidak besok pagi saja?” “Akad nikahnya besok pagi, Bu. Waktunya tidak akan cukup. Insya Allah Minggu sore sudah kembali.” “Kamu berani?” Lastri masih berusaha meyakinkan Bilqis -atau dirinya. Entahlah, dia hanya khawatir. “Insya Allah berani, Bu. Doakan saja lancar. Surabaya-Jombang tidak seberapa jauh kok, Bu. Insya Allah aman.” “Ya sudah kalau kamu yakin. Banyakin baca shalawat biar selamat.” “Iya, Bu. Insya Allah.” Setelah berpamitan pada ibu kos, Bilqis segera berlalu menuju kamarnya untuk berganti baju sebelum berangkat. Bis yang ditumpangi Bilqis menuju terminal Bungurasih terasa sesak. Ada banyak seragam pegawai kantor dan pabrik di dalamnya bercampur dengan penumpang lain. Untung saja masih ada satu bangku tersisa untuk Bilqis. Dia tidak perlu berdiri berdesakan seperti penumpang yang lain. Tidak lama setelah Bilqis duduk, seorang pria renta tiba-tiba naik dan berdiri di dekat Bilqis karena tidak ada lagi bangku kosong. Melihat itu, gadis berjilbab itu segera berdiri. “Monggo, Pak, duduk di sini saja. Biar saya yang berdiri,” ucap Bilqis sopan. Pria tua itu sedikit terkejut dengan ucapan Bilqis yang tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian, rautnya berubah cerah. “Terima kasih, Nak. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, rezeki yang baik, dan anak yang banyak.” Bilqis tertawa dibuatnya, tapi dia tetap mengaminkannya. Siapa tahu doa pak tua ini didengar Tuhan. Sesampainya di terminal, Bilqis segera turun. Dia perlu mengganti bis yang melewati Jombang. Tiba-tiba saja saat berjalan, dia merasakan perbedaan pada tasnya, seperti lebih ringan. Dia segera membuka tasnya dan benar saja, dompet dan ponselnya lenyap. Sebagai gantinya, ada beberapa batu kecil di dalamnya. Dia kecopetan!! Matanya tiba-tiba memanas dan mulai berair. Dia berada di terminal sendirian. Sendirian! Tanpa uang dan ponsel!! Dia tidak bisa melanjutkan ke Jombang. Dia harus ke mana?? Bilqis segera mengingat apa saja yang terjadi di dalam bis yang sesak tadi. Apa pencopetnya duduk di sebelahnya atau waktu dia berdiri? Dia bingung. Bis tadi sangat penuh. Banyak orang berdiri seperti dirinya. Tapi sekeras apa pun dia berpikir, tetap saja dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya sangat kalut. Air matanya sudah berada di ujung, menunggu untuk tumpah. Dia takut, sangat takut. Bagaimana ini? Matanya sudah memerah, tapi dia yakin menangis di sini bukanlah solusi yang baik. Bilqis mengela nafas. Ingin menyesal, untuk apa? Semua sudah terjadi. Bilqis yakin Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuknya. Bilqis terus berjalan. Hatinya tidak berhenti membaca salawat. Demi Tuhan, dia adalah seorang gadis tanpa uang dan ponsel! Dia juga tidak bisa bela diri. Jika ada orang yang berniat jahat, Bilqis jelas kalah. Azan magrib pun terdengar. Bilqis terus berjalan mencari masjid. Dia ingin mengadu pada Tuhannya. Air matanya kembali turun. Kali ini lebih deras dari tadi, tapi dia cepat-cepat menghapusnya. Dia tidak ingin orang lain melihat air matanya. Mata dan hidungnya memerah. Kakinya mulai capek. Ia harus berhenti, tapi dia belum menemukan lokasi masjid. Untung saja, dua ratus meter kemudian dia melihat seorang wanita dengan mukena keluar dari rumah. Sepertinya dia hendak ke masjid. Bilqis segera mengikuti langkah wanita itu. Lama-kelamaan, beberapa wanita dengan aurat tertutup dan pria bersarung mulai terlihat. Bilqis bersorak dalam hati. Benar saja! tidak jauh di sana ada masjid atau musholla. Begitu kakinya melangkah memasuki masjid dengan mulutnya berucap hamdalah. Bilqis pun melangkah menuju toilet, membasuh mukanya berkali-kali lalu mengambil wudhu. Bilqis sengaja tidak segera keluar masjid setelah sholat magrib selesai. Dia menunggu azan isya’ sambil terus memohon agar diberi keselamatan. Bilqis benar-benar berserah pada Tuhannya. Sesekali air matanya kembali menetes tapi dia yakin dengan kebesaran Tuhannya. Allah Yang Maha Baik akan selalu menolongnya, apalagi dia tidak dalam keadaan maksiat. Setelah jamaah sholat isya’ bubar, lampu-lampu di masjid mulai dimatikan. Bilqis harus segera keluar dari masjid. Dia kembali berjalan menuju kos yang masih separuh jalan lagi, mungkin sekitar satu jam lagi. Bilqis meringis, tapi dia harus terus berjalan. Hatinya sedikit tenang setelah sholat. Lafadz sholawat terus bergema di dadanya agar hilang risau di hatinya. Perutnya mulai lapar tapi dia tidak memedulikannya. Bilqis terus berjalan. Kaki yang pegal dan perut keroncongan tidak dirasakannya. Dia berdoa semoga Tuhan memberinya keajaiban. Tiba-tiba gerimis mulai turun. “Ya Allah, malam ini hujan turun di saat Engkau tahu aku tidak mempunyai sepeser uang dan sedang berjalan sendiri. Aku tidak tahu apa yang hendak Engkau takdirkan. Tapi aku yakin itu baik untukku,” batin Bilqis meringis. Dengan penuh keyakinan, dia terus berjalan menembus gerimis. Dan gerimis pun berubah menjadi hujan. Baju Bilqis mulai basah. Mau tidak mau, dia harus berteduh. Dia pun mulai mencari tempat yang tepat untuk berteduh. Kebetulan sekali dia melihat sebuah bangku kayu di depan rumah kosong. Bangku kayu ini menyelamatkannya dari hujan karena ada payung yang menaunginya. Tepat saat hujan baru berhenti, dia dikejutkan oleh suara seorang pria yang muncul tiba-tiba. “Assalamu’alaikum,” sapa Jindan. Dia membuat suaranya setenang mungkin meski dalam hati bertanya-tanya. Gadis berjilbab malam-malam duduk di depan kontrakannya?? “Wa-wa’alaikum salam,” jawab Bilqis ragu. Dia pun berdiri. Rencana ingin sedikit lama melepas penat akhirnya gagal. Seseorang sudah menyapanya. Sebaiknya dia segera pergi. “Maaf, Mbak ini siapa? Kenapa duduk di depan kontrakan saya?” Jindan akhirnya bertanya karena tidak bisa membendung rasa penasaran. “Saya Bilqis, Mas.” “Jindan,” jawabnya singkat. “Maaf, ini kontrakan Mas ya? Ya Allah, maaf banget, Mas. Saya tidak tahu. Tadi hujan. Saya numpang berteduh sebentar. Mas, tenang saja. Saya tidak aneh-aneh. Sebentar lagi juga pergi.” Jindan turun dari motornya. Dia mengamati Bilqis. Saat melihat tas punggung di bawah kakinya, sontak Jindan bertanya, “Kamu mau minggat?” Bilqis langsung mengibaskan tangannya. “Bukan, Mas. Saya tidak minggat, cuma mau pulang, tapi kecopetan.” “Kecopetan di mana?” tanya Jindan penuh selidik. “Di bis.” “Rumahmu mana?” “Jombang, Mas.” “Jauh,” lirih Jindan. “Lalu sekarang mau ke mana?” “Mungkin kembali ke kos saja,” jawab Bilqis lemas. “Memangnya kosanmu di mana?” “Di daerah Ketandan.” “Dekat Tunjungan?” Jindan tampak terkejut. Bilqis mengangguk. Jindan tahu daerah itu. Dan jaraknya lumayan jauh. Pakai motor saja memakan waktu sekitar tiga puluh menit, apalagi jalan kaki. Bilqis mulai mengangkat tasnya, bersiap pergi tapi suara perutnya yang sangat kencang sontak membuat wajahnya memerah. “Astaghfirullah.” Jindan segera memalingkan mukanya. Tidak tega melihat wajah Bilqis yang pasti sudah memerah karena malu. Jindan berdehem untuk menutup kecanggungan dalam hatinya. Dia meraih tas plastik berisi nasi yang tadi dibelinya di Abah Rukhin. “Makan dulu.” “Mm, tidak usah, Mas. Itu ‘kan harusnya milik Mas. Saya tidak apa-apa. Sebaiknya saya lanjut pulang saja. Sudah malam. Mari, Mas. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Jindan menatap punggung Bilqis yang menjauh. Ada rasa iba terselip dalam dadanya. Ingin rasanya dia menawarkan pertolongan. Tapi bagaimana? Ini sudah malam. Dia sangat capek sehabis kerja dua belas jam. Jindan mengedikkan bahu. Gadis itu sudah membuat keputusan. Jindan bisa berbuat apa? Dia pun kembali melangkah menuju kontrakan. Meski kakinya mantap melangkah masuk rumah, tapi pikirannya masih saja tertuju pada gadis berkerudung itu. Bagaimana jika dia bertemu orang jahat di jalan? Dia sudah tidak punya uang dan ponsel. Apa lagi yang akan diminta oleh perampok jika dia sudah tidak punya apa-apa?? Jangan-jangan.... Jindan berdecak. Dia segera meraih kembali kunci motornya. Semoga saja gadis itu belum jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN