Part 4.

1454 Kata
Ini adalah pernikahan yang diidamkannya. Tidak mewah, namun juga tidak terlalu sederhana. Ibunya menyewakan sebuah aula pernikahan yang bisa memuat 3000 undangan, meskipun undangan yang keluarganya dan keluarga Adam hanya sepertiga dari itu. Ia dirias bagaikan putri raja. Gaun yang ia kenakan saat akad berwarna putih. Ibunya sengaja meminta gaun baru untuk ia kenakan, yang tentunya lebih mahal sewanya daripada gaun yang pernah dipakai orang. Ibunya mengatakan ini pertama kali dan terakhir kali ia akan menikahkan putrinya. Karena memang hanya Sena satu-satunya putri ibunya. Aula di dekorasi dengan warna putih dan emas, sesuai dengan permintaannya. Mewah, iya. Namun memang ini pernikahan sekali seumur hidupnya bukan? Adam, yang kini menjadi suaminya berdiri di sampingnya dengan mengenakan jas warna emas, senada dengan gaun yang dipakainya. Hari ini ia bercukur rapi. Ia tampan, namun hari ini ia terlihat sangat sangat sangat tampan di mata Sena. Sena memuji dalam hati. Hatinya sangat berbunga saat suaminya itu mengucapkan ijab qabul dalam satu tarikan napas. Saat semua orang di masjid mengucapkan kata sah. Ia tahu bahwa sekarang ia sudah menjadi istri sah dari seorang pria bernama Adam Mohammad Ibrahim. Ia tidak bisa menghilangkan senyum di wajahnya saat kerabat, sahabat dan rekan keluarganya menyalaminya dan mengucapkan selamat. Tubuhnya lelah, karena seharian berdiri dan mengucapkan terima kasih pada setiap tamu. Namun hatinya mengatakan sebaliknya. Ia terlalu bahagia sampai ke ubun-ubunnya. "Kamu capek?" tanya Adam saat mereka berada di ruang ganti. Pesta belum selesai, mereka sedang jeda karena ada pakaian lain yang akan mereka gunakan untuk kepentingan pemotretan. Sena menganggukkan kepala, memandang pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya. "Kamu?" Tanyanya ingin tahu. "Sama," jawabnya dengan senyum pula. "Capek, tapi rasanya ilang begitu aja." Jawabnya seraya menerima pakaian ganti yang diberikan oleh penata riasnya. Setelah seselai memekai setelannya, Adam berdiri di depan Sena yang tengah dipoles oleh make-up artis dan tengah dipasangkan tiara di atas rambutnya. "Kamu cantik." Pujinya tulus. Dehaman menggoda dari tim make-up membuat Sena merasakan panas di wajahnya. Ia ingin menunduk karena malu dan menyembunyikan perasaannya yang tengah berbunga-bunga, namun pihak make-up menahan wajahnya supaya tetap mendongak dan membuatnya mau tak mau menatap Adam. "Balas donk pujian ayangnya." Goda make-up artis yang berdiri di belakangnya. Sena berkedip kaget, tapi kemudian, "Kamu juga, ganteng." Ucapnya dengan lirih dan malu-malu yang dijawab sorakan para tim yang ada di dalam sana. Mereka kembali ke aula dan kembali menerima salam dan doa para tamu. Berfoto sesuai arahan fotografer sampai akhirnya resepsi itu selesai dan bubar. "Ini pasti berat." Ucap Adam saat mereka sudah kembali ke ruang ganti. Kali ini mereka tidak akan menggunakan gaun lagi, namun akan mengenakan pakaian mereka masing-masing karena memang acara sudah selesai. "Engga juga." jawab Sena santai. Ia kembali duduk di depan meja rias, menunggu tim make-up untuk melepas semua peralatan yang dipasang di kepalanya. "Mas ke depan duluan aja, sebentar lagi si ibunya bakal datang dan lepasin semuanya." Saran Sena. Namun pria itu malah mendekat dan berdiri di belakang Sena. "Ga apa-apa. Sambil nunggu, Mas bantu lepas sedikit-sedikit." Ucapnya dan dengan lembut tangan pria itu melepas jepitan-jepitan yang dipasang di kepala Sena. Tak lama kemudian, orang dari WO datang dan membantu Sena melepaskan gaun dan semua aksesorisnya. Adam meninggalkan ruangan setelah pamit dan mengatakan kalau ia akan menunggu Sena bersama keluarga di depan. Dan Sena hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Sena selesai hampir satu jam kemudian. Setelah semua perhiasan dan alat-alat di tubuhnya terlepas, Sena memilih untuk mandi dan membersihkan diri di dalam hotel karena ia tidak mau keluar dengan rambut kaku akibat sasak. Di area aula, tempat dimana sisa resepsi mereka sedang dibersihkan Adam tengah duduk bersama dengan Luthfi dan beberapa rekan kerja mereka yang masih ada disana. Melihat Sena, teman-teman Adam dan juga Lutfhi bersiul menggoda. "Cieee... pengantin baru." Sorak mereka serempak yang membuat Sena berdiri salah tingkah. Mereka mengikuti Sena dan mengantarkan Adam sampai ke parkiran. Di sana, Sena mencium tangan Lutfhi dan berpamitan, karena Sena dan Adam tidak akan kembali ke kediaman orangtua Sena melainkan pergi ke rumah yang sudah Adam persiapkan untuk mereka seperti yang sudah pria itu janjikan pada ayahnya saat pria itu melamarnya dulu. Hari-hari yang Sena lewati bersama Adam terasa singkat dan juga indah. Maklum, mereka sepasang pengantin baru yang sedang dimabuk cinta. Adam cuti selama seminggu di awal pernikahan mereka dan mengajak Sena untuk pergi berbulan madu di Yogyakarta. Setelah kembali pada rutinitas masing-masing, setelah Adam kembali bekerja dan Sena tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan, ia meminta ijin pada Adam untuk mencari pekerjaan. Adam mengijinkannya. Suaminya itu mengatakan kalau dia mengerti apa yang Sena rasakan. Sebelum pernikahan mereka, Sena sibuk dengan kuliah dan juga penelitian skripsinya lalu kemudian disibukkan dengan rencana pernikahan mereka, sementara sekarang, Sena hanya bisa duduk di rumah dan menunggu suaminya pulang bekerja. Sena sudah berusaha mengajukan lamaran ke beberapa perusahaan. Namun karena tidak adanya pengalaman kerja dan juga statusnya yang sudah menikah, banyak perusahaan yang menolaknya hingga akhirnya Sena kesal dengan keadaan. "Kalau memang gak ada perusahaan yang mau nerima kamu, fokus aja punya anak." Itulah yang Haira katakan saat Sena menceritakan rasa bosannya suatu sore. Atau gimana kalo lo coba buka usaha sendiri? Apa kek, dagang atau apa gitu. Kan keluarga laki loe punya usaha mebel, loe buka cabang aja disini." Sarannya lagi. Sena sempat memikirkan itu. Dia bermaksud untuk mengatakan rencana itu pada Adam saat nanti suaminya itu pulang bekerja. "Mas setuju aja kalau kamu emang mau buka mebel, nanti Mas bisa bilang sama ayah. Tapi kamu yakin mau buka usaha di bidang itu? Kamu punya passion gak di bidang itu? Minimal untuk jadi pedagang kamu kan harus tahu dulu seluk beluk barang yang kamu jual. Perkayuan itu bukan hal yang mudah loh, Yang." Ucap Adam masuk akal. Sena terdiam. Dia bingung setelah itu harus melakukan apa. Ucapan Adam memang benar, dan karena kebenarannya itu pulalah membuat Sena merasa tidak percaya diri untuk memulai usaha. "Gini aja, kalau kamu memang butuh hal untuk menghilangkan bosan. Gimana kalo kamu kuliah lagi." "Males mikir." Jawab Sena manja. Adam tersenyum, mengusap kepala istrinya dengan lembut dan berkata. "Kamu punya hobi apa? Kenapa kamu gak melakukan hobi kamu aja?" sarannya lagi. "Kamu suka masak, kalo kamu masak kamu tuh kelihatan seneng gitu. Kenapa gak mulai usaha dari sana aja?" sarannya lagi. Sena langsung merasakan sebuah dorongan. Ia memandang suaminya dan menganggukkan kepala antusias. "Kalo kamu mau belajar menu baru, Mas ijinkan kamu masuk ke sekolah masak. Setelahnya bebas kamu mau apa. Mau buka restoran, mau jualan online atau apapun Mas setuju. Asal syaratnya satu, jangan terlalu lelah." Ucap Adam yang dijawab anggukkan antusias oleh Sena. Sena memang tidak memiliki hobi, tapi Adam benar, Sena sangat suka memasak. Dia sangat suka mencoba resep-resep baru karena itulah dengan antusias ia mulai mencari sekolah-sekolah masak yang ada di kota mereka tinggal, tentunya di daerah yang bisa Sena jangkau tanpa harus merepotkan Adam untuk mengantar jemputnya nanti. Keinginan Sena untuk belajar dan menghasilkan uang sendiri semakin kuat saat suatu pagi, saat sedang membereskan rumah ia pernah mendengar sebuah tausiah yang mengatakan bahwa seorang wanita pun harus mandiri. Jangan tergantung pada suami. Tapi bukan berarti meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri ataupun ibu. "Wanita harus bisa punya penghasilan sendiri, karena manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Siapa yang tahu apabila suatu saat Allah menakdirkan kita berpisah dengan pasangan kita. Baik itu dipisahkan dalam keadaan hidup ataupun dipisahkan maut. Sementara wanita harus bisa menafkahi dirinya sendiri dan ataupun keturunannya jika ia sudah punya keturunan." Sena merinding mendengar tausiah itu. Ia tidak pernah berharap, bermimpi atau apapun itu untuk berpisah dari Adam. Tidak, amit-amit. Ucapnya saat itu. Namun hikmah dari semua itu, ia memang harus memikirkan kemungkinan lain. Siapa yang tahu kalau nanti misalkan Adam tidak bisa bekerja lagi, ia harus bisa membantu suaminya. Ia tidak boleh berpangku tangan, bukan? Sena meraih ponselnya dan mencari-cari di internet mengenai bisnis untuk seorang pemula. Setidaknya dia adalah seorang sarjana ekonomi. Ia seharusnya bisa mengaplikasikan hasil sekolahnya di dunia nyata. Apa yang harus dia mulai? Bisnis Online? Tapi apa yang harus ia jual? Sampai seminggu setelah pembahasannya dengan Adam mengenai pekerjaannya, Sena masih belum mendaftarkan diri ke tempat kursus memasak karena saat ia hendak pergi ke tempat kursus tersebut, tiba-tiba Sena merasakan pusing yang sangat hebat sampai tubuhnya berkeringat dingin. Adam yang melihat wajah istrinya pucat, seketika itu juga meminta ijin ke kantornya untuk cuti karena akan memeriksakan Sena ke klinik terdekat. Betapa terkejutnya mereka, ketika dokter puskesmas berkata. "Periksakan lebih lanjut ke dokter kandungan ya, Bu. Soalnya dari tanda-tanda yang saya, sepertinya saat ini ibu sedang mengandung." Mendengar itu, Sena dan Adam hanya bisa terdiam di tempat. Saling memandang tak percaya sebelum akhirnya keduanya memekik girang dan saling berpelukan. Mereka langsung mendaftarkan diri ke poli kandungan dan tak lama setelahnya, mereka mendapat kabar kalau Sena positif hamil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN