7. Berita Duka - Kematian Bella

1061 Kata
Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi. Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan. Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan. Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan. 'Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana. Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya. Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan. Dulu ia berpikir bahwa pernikahan mereka bisa bertahan selamanya. Ia pernah mengorbankan begitu banyak hal demi mempertahankan hubungan ini. Tapi kini, ia sadar … perpisahan adalah yang terbaik. Armand yang sejak tadi menyaksikan semuanya akhirnya berdeham dan mengambil alih situasi. “Talak sudah dijatuhkan dan aku akan memastikan semuanya diurus secara hukum,” ujarnya tegas. “Dan satu hal lagi, Bara. Aku tidak ingin melihatmu lagi di hadapan Mariana. Jangan pernah mencoba kembali, jangan pernah mengusik hidupnya lagi.” Armand berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih mengancam, “Bukan hanya Mariana, tapi juga Bianca. Aku tidak mau kamu mendekati putri-putriku lagi. Mulai sekarang, kamu bukan bagian dari keluarga ini!” Bara terdiam. Namun sebelum ia bisa membantah, suara Bianca terdengar. "Ayah nggak bisa melakukan ini!” Bianca melangkah maju, matanya membelalak penuh protes. “Aku dan Mas Bara—” “Jangan lanjutkan!” Armand langsung memotong, tatapannya beralih tajam pada putri bungsunya itu. “Jangan buat aku semakin muak, Bianca. Kamu telah menghancurkan keluarga ini dengan tanganmu sendiri. Jangan berani-berani membawa lebih banyak kehancuran lagi.” Bianca menggigit bibirnya, wajahnya memerah menahan amarah dan rasa tidak terima. Ia berpikir, setelah Mariana diceraikan maka Bara akan sepenuhnya menjadi miliknya. Tapi sekarang? Ayahnya telah memutus semua kemungkinan itu. Sementara itu, Bara mulai menggertakkan giginya setelah merasa harga dirinya semakin diinjak-injak. Tapi sebelum emosinya bisa meledak, Mariana yang sejak tadi diam justru melangkah mendekati ayahnya. “Nggak apa-apa, Ayah,” ucap Mariana pelan. “Bara sudah bukan siapa-siapaku lagi. Kalau Bianca ingin memungutnya, biarkan saja.” Tatapan Mariana bergeser pada Bianca yang masih berdiri kaku, lalu ke Bara yang terlihat semakin terpojok. Dengan nada datar, ia menambahkan, “Tapi jangan pernah berpikir untuk kembali mendekatiku. Bukan sebagai suami, bukan sebagai mantan, bahkan bukan sebagai seseorang yang pernah aku kenal.” Bara menahan napas, sementara Bianca mengepalkan tangannya. Tanpa menunggu reaksi mereka, Mariana berbalik dan melangkah pergi dengan kepala tegak. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Bara sudah mencengkeram lengannya dengan kuat. Mariana menoleh dan berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan cengkeraman itu dengan emosi yang meluap-luap. “Lepaskan aku!” bentak Mariana. Bara menggeleng, cengkeraman tangannya justru semakin kuat. Melihat itu, Armand bergerak maju dan menarik paksa tangan Bara hingga cengkeramannya di lengan Mariana terlepas. “Jangan berani-berani menyentuh putriku lagi!” ancam pria tua itu sungguh-sungguh. Di tempatnya, Mariana berdiri dengan napas memburu. Matanya menatap Bara penuh kebencian dan rasa jijik. “Kalian berdua nggak hanya mengkhianatiku, tapi kalian juga membunuh anakku. Jangan pernah lupakan itu!” tegas Mariana memandangi Bara dan Bianca bergantian. "Kalau aja kalian nggak berselingkuh dan aku nggak memergoki kalian malam itu, anakku pasti masih hidup sekarang. Kalian membunuh makhluk yang nggak berdosa dengan perbuatan kalian!” Mariana menambahkan. Baik Bara ataupun Bianca, keduanya tidak bisa berkata-kata mendengar kata-kata Mariana barusan. Sementara Armand, pria tua itu hampir kehilangan kekuatannya untuk berdiri usai mendengar fakta itu. “Apa?” ucap Armand dengan mata membulat. “Jadi, kamu keguguran karena ….” Armand tidak sanggup melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Dengan tubuh gemetar, Armand segera berbalik menghampiri Bianca lagi dan menamparnya dengan sangat keras. “Aku benar-benar tidak menyangka akan memiliki putri sepertimu!” teriak Armand. Namun tiba-tiba, napasnya tersengal. Tangannya mencengkeram d**a sementara wajahnya seketika pucat. Tubuh pria itu goyah sebelum akhirnya ambruk ke lantai. “Ayah!” Mariana berteriak panik dan langsung berlari menghampirinya. *** Armand dilarikan ke rumah sakit. Saat menunggu ayahnya dengan cemas di depan ruang tindakan, Mariana tak sengaja melihat sosok pria yang dikenalnya sedang berjalan dengan air mata. “Pak Nate?” gumam Mariana pelan. Ia yakin yang dilihatnya barusan adalah Nathaniel, atasannya sekaligus suami sahabatnya. Karena penasaran, Mariana pun berlari mengejar pria itu. “Pak Nate!” panggil Mariana sedikit berteriak. Pria yang dipanggil seketika menghentikan langkah cepatnya dan berbalik. “Mariana?” Nate tampak terkejut melihat wanita itu berada di sini dengan wajah yang agak memprihatinkan. “Sedang apa Bapak di sini?” tanya Mariana, lalu sedetik kemudian ia teringat sesuatu. “Oh, apakah Bella melahirkan?” Tatapan Nate berubah getir saat akhirnya ia mengangguk. “Iya, tapi… Bella tidak selamat.” Mariana mematung. “A-Apa maksudnya tidak selamat?” tanyanya dengan suara gemetar. Nate terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bella meninggal dunia.” Dunia Mariana seakan runtuh. Tidakkah ini terlalu kejam? Mariana sudah kehilangan banyak hal kemarin, dan sekarang, ia harus kehilangan sahabat baiknya juga? Pandangan Mariana tampak kosong, sementara otaknya berputar mencoba mencerna kenyataan yang baru saja menghantamnya. Kakinya terasa lemas. Rasanya seperti ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat hingga ia sulit bernapas. Bella … sahabat yang selalu ada untuknya, kini sudah tiada. Mariana menggeleng pelan, menolak kenyataan. Namun, tubuhnya masih berdiri di tempat yang sama, kaku dan tanpa daya. Suara langkah kaki Nate yang menjauh terdengar samar di telinganya, tetapi ia tidak mampu bergerak untuk menahannya. Perlahan, Mariana jatuh berlutut di lantai. Pandangannya masih kosong tetapi air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, mengaburkan segalanya. “Ya Tuhan,” lirih Mariana dengan kepala tertunduk. Air matanya merembes dari pelupuk matanya dan jatuh ke lantai. Namun di tengah keterpurukannya, sesuatu segera menarik Mariana kembali ke kenyataan. Dengan napas tersengal, ia segera berlari menyusul Nate. Saat akhirnya mereka tiba di ruangan tempat Bella dibaringkan, langkah Mariana sempat terhenti. Di sana, sahabatnya terbujur kaku di atas ranjang, tubuhnya tertutup selimut putih hingga sebatas d**a. Wajah Bella begitu pucat, seolah semua kehidupan telah benar-benar meninggalkannya. Mariana mendekat dengan tubuh yang gemetar. "Bella …,” bisiknya, suara itu hampir tak terdengar. Ia menjatuhkan diri di sisi ranjang dan meraih tangan sahabatnya yang sudah dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN