3. Apa Salahku Pada Mereka?

1181 Kata
“Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.” Seisi ruangan seketika sunyi. Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu. “Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.” Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun. “Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya. “Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kamu harus menghormati keputusannya.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Mariana berbalik dan melangkah menuju kamarnya dengan kepala tegak. Setelah menutup pintu kamarnya, Mariana berdiri mematung di tengah ruangan. Napasnya masih tersengal dan tubuhnya gemetar karena emosi yang meluap-luap. Tangannya mengepal kuat, sekuat tenaga berusaha mengendalikan diri. Namun saat ia melangkah menuju ranjang, lututnya mendadak lemas. Mariana jatuh terduduk di lantai, kepalanya tertunduk, sementara air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Suasana hening sejenak hingga ketukan pelan terdengar di pintu. Tak menunggu jawaban darinya, ibunya kembali masuk. Wanita paruh baya itu menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan mendekat dan duduk di sebelah Mariana. “Mariana …,” panggil ibunya lembut. Suaranya dipenuhi kekhawatiran tetapi juga ketegasan seorang ibu yang ingin memahami putrinya. “Ada apa, Sayang? Kenapa kamu tiba-tiba ingin bercerai dengan Bara?” Mereka bahkan masih dalam suasana berduka. Dan kini kembali dikejutkan dengan keputusan Mariana yang ingin bercerai dengan suaminya. Ada apa gerangan ini? Mariana membungkam mulutnya. Pandangannya kosong menatap lantai. Ibunya menatap Mariana dengan seksama, lalu menghela napas lirih. “Ayahmu mungkin bisa menerima alasanmu yang singkat tadi, tapi ibu tahu ada sesuatu yang nggak kamu katakan.” Jemarinya terulur menggenggam tangan putri sulungnya itu dengan lembut. “Apa yang terjadi, Sayang? Mengapa tiba-tiba ingin bercerai?” Masih tidak ada jawaban hingga beberapa saat. Lalu, ibunya akhirnya bersuara. Nada suaranya pelan namun dipenuhi keraguan. “Mariana … apakah Bara berselingkuh darimu?” Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa ia pikirkan kenapa Mariana ingin bercerai. Tubuh Mariana menegang seketika. Napasnya tercekat dan ia menutup matanya rapat-rapat. Mariana ingin menghindari kenyataan yang baru saja diucapkan oleh ibunya. Gemetar hebat mulai merambat di bahu Mariana. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar. Melihat reaksi putrinya itu, hati ibunya langsung mencelos. Tanpa Mariana mengiyakan, ia sudah tahu jawabannya. Jemarinya semakin erat menggenggam tangan Mariana, memberikan kehangatan di tengah kehancuran yang tak terbantahkan. “Jadi, dia benar berselingkuh,” bisik ibunya lagi, suaranya bergetar menahan tangis. Dengan penuh rasa hancur, Mariana mengangguk. Sekali. Seolah itu saja sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Ibunya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi Mariana belum selesai. “Dia berselingkuh dengan Bia,” suara Mariana begitu lirih. Saat nama itu keluar, ruangan mendadak sunyi. Ibunya membeku, matanya sedikit membesar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Bianca?” suara ibunya hampir bergetar. “Adikmu?” Mariana menelan ludah dengan susah payah, lalu mengangguk lagi. Sejenak, ibunya hanya menatap kosong ke depan. Wajahnya seketika pucat dan tangannya yang tadi menggenggam tangan Mariana kini melemah. “Nggak … itu …” Mata ibunya berkaca-kaca, dan ia menggeleng tak percaya. “Nggak mungkin, Mariana. Dia adikmu … bagaimana bisa?” Mariana ingin menjawab, tapi tenggorokannya terasa kering. Ia menatap ibunya, berharap wanita itu bisa memahami tanpa perlu banyak kata. Dan akhirnya, Mariana mengucapkan kalimat yang menghancurkan segalanya. “Aku mendapati mereka tidur bersama di ranjangku...” Ibunya menutup mulut dengan kedua tangan, matanya membelalak. Tetapi sebelum ibunya bisa bereaksi lebih jauh, Mariana melanjutkan dengan suara bergetar hebat. “… tepat sebelum aku kehilangan anakku.” Hening. Sesaat, ibunya tidak bergerak. Tidak berkedip. Tidak bernapas. Seolah kalimat itu baru saja merobek sesuatu di dalam dirinya. Matanya yang sebelumnya sudah berkaca-kaca kini benar-benar dipenuhi air mata. Tangannya langsung menutup mulutnya, seakan mencoba menahan isakan yang mendesak keluar. “Mariana … Ya Tuhan ….” Tubuhnya melemah, tetapi ia segera meraih Mariana dan menarik putri sulungnya itu ke dalam pelukan yang erat. Tangannya bergetar saat membelai rambut putrinya, seolah ingin menyerap semua rasa sakit yang Mariana rasakan. Air mata Mariana mengalir semakin deras. Tangannya mencengkeram erat lengan ibunya, seperti anak kecil yang mencari perlindungan dari mimpi buruk. Namun seribu sayang, yang Mariana hadapi adalah kenyataan. “Aku kehilangan semuanya, Bu. Bayiku, pernikahanku, keluargaku ….” Ibunya semakin memeluk Mariana dengan erat. “Nggak, Sayang. Kamu masih punya ibu. Masih punya ayah. Kami di sini untukmu.” Mariana tidak tahu harus berkata apa. Yang ia tahu, saat ini, pelukan ibunya adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa sedikit tegar. “Rasanya sakit sekali, Bu,” lirih Mariana disertai isak tangis yang begitu pilu. Ibunya mengusap punggung Mariana dengan lembut, membiarkan putrinya menangis sepuasnya dalam pelukan hangatnya. “Ibu tahu, Sayang … Ibu tahu.” Mariana semakin tenggelam dalam dekapan ibunya, tubuhnya bergetar hebat, dan napasnya tersengal di antara isakan yang tak kunjung mereda. Lalu, dengan suara parau dan tersendat, Mariana berbisik di antara tangisnya, “Apa salah Mariana, Bu?” Ibunya terdiam. Jantungnya seperti diremas kuat saat mendengar pertanyaan putrinya itu. “Kenapa mereka begitu jahat sama Mariana?” Mariana mencengkeram lengan ibunya lebih erat, suaranya dipenuhi kepedihan yang begitu dalam. “Karena perbuatan mereka, aku jadi kehilangan anakku.” Kali ini, tangisnya pecah semakin keras. Ibunya menutup matanya sejenak, menahan isakan yang nyaris keluar dari bibirnya. Luka putrinya adalah lukanya juga. Ia ingin memberikan jawaban, ingin menenangkan, tapi bagaimana bisa? Tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengobati rasa sakit sebesar ini. Dengan suara gemetar, ibunya berbisik, “Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun, Sayang.” “Lalu kenapa, Bu?” Mariana tersedu. “Kenapa mereka melakukan ini padaku? Bara … Bianca … mereka mengkhianatiku, menghancurkan semuanya.” Ibunya menggeleng pelan, matanya penuh dengan kesedihan. “Beberapa orang memang buta oleh ego dan nafsu, Sayang. Mereka menyakiti tanpa berpikir, tanpa peduli bagaimana hancurnya orang lain.” Mariana terisak semakin dalam. Ibunya menarik napas panjang, lalu meraih wajah Mariana dam menangkupnya dengan kedua tangan. Ia menatap putri sulungnya itu lekat-lekat, memastikan agar Mariana mendengar setiap kata yang akan ia ucapkan. “Tapi dengar Ibu baik-baik, Mariana. Kamu nggak boleh hancur karena mereka.” Mariana menatap ibunya dengan mata yang masih dipenuhi air mata. “Kamu boleh menangis sekarang, boleh merasa sakit. Tapi jangan biarkan mereka mengambil lebih dari ini,” lanjut ibunya. “Jangan biarkan mereka menghancurkan sisa hidupmu.” Mariana terisak, hatinya masih terasa begitu sesak. Tapi di dalam tatapan ibunya yang penuh cinta, ia menemukan sesuatu yang hampir ia lupakan— sebuah harapan. Ibunya mengusap air mata di pipi Mariana dengan ibu jarinya. “Kamu berhak bahagia, Sayang.” Suaranya sedikit bergetar, tetapi tetap lembut. “Dan Ibu janji, kamu nggak akan melewati ini sendirian.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN